JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengimbau kepada pemerintah daerah untuk tidak mengijinkan dan memfasilitasi pemberian KTP Indonesia kepada Anak Buah Kapal (ABK) asing. Hal ini menyusul penangkapan terhadap 8 kapal perikanan ilegal di Laut Sulawesi bagian utara pada 22-26 September 2016 lalu.
“Berdasarkan hasil penyidikan tindak pidana perikanan, PPNS Pangkalan PSDKP Bitung, menemukan dugaan tindak pidana lain, yakni dari 8 kapal yang ditangkap, terdapat 2 kapal berbendera Indonesia menggunakan ABK berkebangsaan Philipina, namun memiliki KTP Indonesia yang diduga palsu”, ungkap Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti dalam gelaran konferensi pers di Gedung Mina Bahari III, Jakarta, Rabu (12/10).
Menurut hasil temuan, 11 ABK KM D’VON terbukti telah menggunakan KTP-Elektronik yang dikeluarkan Dinas Catatan Sipil Kota Bitung. Selain itu, ada juga 10 ABK KM Triple D-00 menggunakan KTP yang dikeluarkan oleh Dinas Catatan Sipil Kota Bolaang Mongondow Timur dan 1 ABK menggunakan KTP yang dikeluarkan oleh Dinas Catatan Sipil Kota Sorong.
“Untuk menindaklanjuti hasil penyidikan tersebut, Satgas 115 dan Pangkalan PSDKP Bitung melakukan pendalaman fakta dan ditemukan bahwa para ABK tersebut mengaku sebagai WN Philipina dan berasal dari Saeg Calumpang, General Santos, Filipina”, lanjut Susi.
Untuk langkah berikutnya, lanjut Susi, Satgas 115 dan Pangkalan PSDKP Bitung akan bekerja sama dengan Kepolisian Daerah Sulawesi Utara, melakukan penyidikan bersama. Pangkalan PSDKP Bitung menyidik tindak pidana perikanan. Sedangkan Satgas 115 dari unsur Pol Air dan Polda Sulawesi Utara menyidik tindak pidana pemalsuan KTP Indonesia.
“Hari ini, penyidik Polda Sulawesi Utara telah menetapkan tersangka pemalsuan KTP atas nama DL sebagai pemilik KM. D’VON dan KM Triple D-00 dan NCY sebagai pejabat Pemerintah Kota Bitung yang menerbitkan KTP Indonesia kepada WNA Philipina. DL juga ditetapkan sebagai tersangka oleh Pangkalan PSDKP Bitung”, papar Susi.
Dalam hal ini, tersangka DL disangka melanggar Pasal 93 UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 24 Tahun 2013, dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan/atau Pasal 263 ayat (1) KUHP, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
Tersangka NCY pejabat Pemerintah Kota Bitung disangka melanggar Pasal 98 UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 24 Tahun 2013, dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) ditambah 1/3 (satu pertiga).
Susi pun menginginkan penyidik kepolisian untuk terus bekerja sama dalam mengembangkan kasus ini, (menyidik tindak pidana umum lainnya), menangkap siapapun yang terlibat, terutama pelaku usaha perikanan ilegal yang menggunakan ABK Asing, pemilik kapal, dan petugas pemerintahan seperti Catatan Sipil, jika terlibat.
“Saya minta instansi lain, khususnya Pemda untuk mendukung pemerintah dalam perang melawan kejahatan perikanan”, pungkasnya.
Sebagai informasi, saat ini General Santos, sebagai salah satu pelabuhan perikanan terbesar di kawasan Asia Pasifik, mengalami kemunduran, akibat giatnya Indonesia dalam memberantas Illegal Fishing.
Menurut keterangan para ABK yang diwawancarai Satgas 115, lebih dari 50% perusahaan perikanan yang beroperasi di General Santos, sebagai eksportir utama produk perikanan ke kawasan Eropa dan Amerika telah tutup, dan tidak beroperasi lagi. (Lilly Aprilya Pregiwati)

