Oleh : Eka Pangulimara Hutajulu
BEGITULAH pernyataan, maupun aturan-aturan main yang kerap bermunculan di ranah publik, masyarakat Indonesia belakangan ini.

Tidak hanya di ranah perburuhan, ekonomi, kesehatan, terbaru soal keagamaan. Sensitifitasnya nyaris setipis kondisi perut yang lapar. Tergesek sedikit menyulut, menyala, dan tak mudah dipadamkan.
Ada beberapa hal yang perlu ditelisik mengkonfirmasi sesungguhnya apa yang terjadi. Serba keruh di masyarakat, biasanya terjadi lantaran, rendahnya sosialisasi dan pendekatan pejabat publik dalam menerapkan sebuah peraturan.
Sebuah aturan tentu saja diperlukan jika semua itu berangkatnya berdasarkan sebuah analisa matang, atas sesuatu problem, dan dihasilkan jalan keluar untuk menghilangkan kemudharatan dan menghasilkan kebermanfaatan bagi semua.
Pada issue Toa Masjid misalnya, Menteri Agama sebetulnya bisa berdialog dengan para ahli audio, dan Dewan Masjid. Sehingga secara teknis diberikan mandat agar audio yang bersumber dari sebuah Toa dapat terasa semakin enak didengar.
Sebabnya, sesuatu yang enak didengarkan memiliki sekian rumus audio dengan kekuatan power, pada frekuensi high maupun lownya. Lalu jumlah Toa yang dibutuhkan, dan radius yang hendak dijangkau. Diperlukan sebuah mixer yang dapat mengatur antara nilai treble, mid, bass, reverb, dsb agar penggunaan audio menjadi lebih jernih, jelas dan terdengar ueeenaakkk di telinga normal manusia.
Sehingga ketika suara Toa berbarengan bersahutan, suara dipastikan menghilang di radius jangkau tersebut. Sehingga Toa di daerah A, tidak terdengar di daerah B yang bertetanggaan. Dan sebaliknya.
Apakah kita perlu memahami dan memelajari tentang teknis audio luar ruangan? Tentu saja diperlukan. Sebetulnya di sinilah momentum Kementrian Agama agar kuping kita semua naik kelas. Dapat mendengarkan audio yang semakin baik. Hanya saja soal peralatan baik Toa, Mixer, kabel, juga jangan hanya asal bunyi. Alias bermerk sembarangan. Dan juga secanggih-canggihnya peralatan tersebut, haruslah dikelola seorang operator (paling tidaknya), hingga sound engeniring.
Wahh.. Saya membayangkan jika di satu kelurahan saja terdapat lima sampai 10 masjid, kita sudah punya ribuan orang sound engeniring dari prakteknya menggagas pengeras suara Toa masjid dengan kualitas audio yang terbaik.
Dalam kesempatan itulah Menteri Agama RI semakin terlihat cerdas, dan berpengetahuan lebih.
Namun sayangnya, pernyataan dan analogi Menteri Agama, tidak mewakili sisi teknis mengapa hal tersebut perlu dibuat aturannya. Analogi berkembang liar keluar dari substansi pernyataannya.
Terjadi turbolensi di sana-sini, dan semakin membuat masyarakat Indonesia tidak tentram di negerinya sendiri.
Banyak aturan dan pernyataan yang kerap muncul, agak fals plus keterucut. Namun yang begini semakin jelas menunjukkan wajah pemerintahan Indonesia saat ini, keterucutan tidak sedikit yang berelasi dengan kerapuhan. Sekalinya keterucut justru melampaui 100 desible, pengendalian bunyi audio dan malah menggema jungkir balik di darat dan udara (0).
NOTE : Kalau aturan itu ditakar lewat pemahaman politis, sebetulnya peraturan dilontarkan dan dibarengi dengan penjelasan analogis yang serampangan, itu sama saja tidak seratus persen make sure, untuk dapat dilaksanakan. Jadi dibuat sekaligus di waktu bersamaan diaborsi sendiri. Alias berpotensi gagal!
* Penulis, Eka Pangulimara Hutajulu, seniman Audio Visual, pernah belajar di ArtSonica, dan Institut Kesenian Jakarta Jurusan Musik Fakultas Seni Pertunjukan. Cum aktifis Konfederasi KASBI
***