Oleh: Prof.Dr. Salim Haji Said, MA, MAIA
Tragedi 1965 tidak bisa dimengerti terpisah dari konteks sejarah Indonesia moderen yang bermula pada awal abad 20. Pertama, haruslah disadari sepenuhnya konsep “Indonesia” adalah konsep baru yang secara berangsur menggantikan konsep “Hindia Belanda”. Konsep “Hindia Belanda” sendiri adalah konsep kreasi Belanda akhir abad ke 19. Sebelum itu Nusantara ini belum suatu kesatuan yang dari padanya ada persepsi diri yang mendasari persatuan yang menciptakan konsep “Kita” bagi penduduk Nusantara. Sejumlah perang melawan kekuasaan kolonial Belanda hanya merupakan perang para raja yang bahkan tidak berdasar konsep suku atau wangsa. Ini sebabnya Belanda dengan mudah melumpuhkan kekuatan para Raja dengan memecah belah mereka.
Sejarah mencatat, konsep pertama tentang “Kita” lahir dari Perang Padri (Sumatra Barat) yang memandang diri mereka sebagai kekuatan Islam melawan Belanda yang kafir. Konsep “kita” sebagai Islam kemudian merambat ke Aceh (Perang Aceh) dan Jawa Tengah (Perang Diponegoro) yang keduanya melihat diri mereka—antara lain — sebagai kekuatan Islam melawan Belanda yang kafir.
Dengan latar belakang inilah kita mudah mengerti jika gerakan massal pertama di Indonesia adalah Sarekat Islam. Waktu itu pada umumnya apa yang kemudian menjadi bangsa Indonesia para warganya lebih mengenal diri mereka sebagai bangsa Islam. Konsep “Indonesia” secara perlahan baru muncul pada dekade ke dua abad ke 20. Puncaknya adalah Sumpah Pemuda 1928.
Jadi apa yang sekarang kita kenal sebagai bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa buatan yang sejarahnya bermula pada awal abad 20. Warga bangsa ini pluralistik dalam hampir semua aspek: suku,bahasa, tradisi,agama dan kecenderungan. Perbedaan dan keadaan pluralistik itu bukan sesuatu yang tidak menjadi tantangtan dalam proses menjadi Indonesia yang bersatu dan rukun. Barangkali menyadari rangkaian perbedaan inilah seruan utama dalam lagu kebangsaan kita adalah ”Marilah Kita Bersatu.”
Menyatukan Nasakom
Ketika Proklamasi dibacakan oleh Ir Sukarno pada 17 Agustus 1945, usia konsep dan bangsa Indonesia belumlah setengah abad. Kesadaran terhadap rangkaian perbedaan yang menjadi ciri terpenting bangsa baru itu menyebabkan metafor sapu lidi sangat menonjol di masa revolusi. Sapu lidi dipakai sebagai contoh bagi perlunya persatuan, sebab lidi di luar ikatannya amat mudah dipatahkan.
Mengingat dan menyadari latar belakang kemajemukan masyarakat Indonesia mudah dimengerti sulitnya persatuan yang tadinya dibayangkan dan didambakan para elit tatkala mereka menghadapi kekuatan Kolonial Belanda atau fasisme Jepang sekalipun. Dalam kenyataanya, bangsa majemuk Indonesia dengan kemakmuran yang rendah dan karena itu peradaban yang belum berkembang menderita “penyakit” fragmented Society. Ciri utama masyarakat yang demikian adalah tidak adanya trust (kepercayaan) antar fragmen-fragmen dalam masyarakat. Salah satu penjelasan kegagalan Dewan Konstituante menciptakan sebuah konstitusi yang disepakati bersama adalah fragmentasi itu. Juga kegagalan sistim parlementer bisa dijelaskan oleh keadaan fragmented tsb.
Dengan latar belakang inilah kita harus mengerti lahirnya konsep Nasakom yang diperkenalkan Presiden Sukarno. Konsep persatuan tersebut bukan konsep baru. Sukarno menciptakannya di masa mudanya (tahun 1926). Latar belakang politik internasional ketika Nasakom diperkenalkan pertama kali amat berbeda dengan kondisi ketika Nasakom didoktrinkan Sukarno pada masa Demokrasi Terpimpin. Pada masa Demokrasi Terpimpin Perang dingin sedang berkecamuk dengan ganas dan Indonesia jelas tidak bebas dari dampak “perang” demikian.
Sebagai respon terhadap Nasakom yang dipaksakan oleh pemerintahan otoriter Presiden Sukarno, masyarakat Indonesia yang fragmented “terpecah” ke dalam dua kubu. Kubu Komunis dan anti Komunis. Kedua kubu yang berseteru secara tajam sadar konflik pisik akan datang dan tak terhindarkan. Kenyataan itu mendorong kedua kubu melakukan mobilisasi. Singkatnya, keduanya bersiap “perang.”
Dan seperti yang telah diperhitungkan dan diantisipasi, pada Satu Oktober 1965 pihak Komunis bertindak lebih dahulu. Sebuah pertumpuhan darah yang amat dramatis terjadi di pagi hari. Yang jadi korban pembantaian adalah para Jenderal pimpinan Angkatan Darat. Mereka menjadi sasaran pembantaian karena dianggap sebagai penghalang utama kemajuan Komunis yang secara berangsur membangun kekuasaan.
Membantai Nasakom
Pada Satu Oktober 1965 pagi itu sebenarnya yang terbantai bukan hanya pimpinan Angkatan Darat, tapi juga konsep Nasakom itu sendiri.Pada sore hari Satu Oktober itu juga, lagu “Nasakom Bersatu” yang selama bertahun-tahun dikumandangkan oleh Radio Republik Indonesia (RRI) secara resmi dinyatakan lagu terlarang, dan sejak hari itu orang-orang Komunis juga mulai ditangkapi.
Singkat cerita, sulit untuk tidak mengatakan Gestapu 1965 adalah bukti kongkrit kegagalan doktrin persatuan nasional berdasarkan Nasakom. Dengan kata lain, konsep dan ajaran persatuan nasional Sukarno gagal mengatasi konflik antara Komunis dan kekuatan anti Komunis. Akibatnya tragis dan bersimbah darah.
Presiden Sukarno berkeras tidak bersedia menerima, apalagi mengakui kegagalan Nasakom. Dan karena itu dia bertahan terhadap tekanan pembubarkan PKI. Sikap mempertahankan PKI (hingga dibubarkan oleh Pangkopkamtib Jenderal Soeharto pada 11 Maret 1966) memperkuat alasan masyarakat bertindak sendiri “menghabisi PKI sampai ke akar-akarnya.” Ini artinya pertumpahan darah, pembantaian massal.
Alasannya, mereka takut PKI bertahan, tidak dibubarkan, dan lalu melakukan aksi berdarah sebagai yang dulu mereka lakukan ketika Pristiwa Madiun 1948. Semboyan yang terdengar di kalangan kaum anti Komunis waktu itu, terutama di Jawa Tengah dan Timur, ”Membunuh lebih dahulu atau dibunuh.”
Seandainya Presiden Sukarno cepat membubarkan PKI, besar kemungkinan pembantaian orang-orang Komunis, bisa dihindarkan. Jenderal Ibrahim Aji, Panglima Siliwangi cepat membubarkan PKI diwilayahnya, hingga Jawa Barat tidak terpaksa mengalami pembantaian Komunis. Jawa Barat juga tertolong oleh struktur masyarakatnya yang dominan Islam (partai politik Islam Masyumi memenangkan pemilu 1955 di Jawa Barat), artinya tidak terpecah antara kaum Abangan dan kaum Santri seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Selain trauma pengalaman berdarah pembantaian Madiun 1948, menjelang Gestapu 1965 masyarakat Indonesia juga dibanjiri tulisan mengenai kekejaman Komunis di Uni Sovyet, Tiongkok dan Eropa Timur. Bacaan-bacaan ini – sumbernya besar kemungkinan dari intel Barat — makin meningkatkan ketakutan publik kepada golongan Komunis. Ketakutan demikian jelas menambah “semangat” memberantas PKI dan orang-orangnya “hingga ke akar-akarnya.”
Sebagai catatan tambahan terhadap pembantaian kaum Komunis pada masa pasca Gestapu, saya melihat dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, PKI memang tidak mempersiapkan dan melibatkan massanya dalam Gestapu. Ini karena kebijakan PKI, khususnya D.N. Aidit, mendesain Gestapu sebagai hanya “masaalah internal Angkatan Darat.” Artinya bukan atau belum gerakan PKI untuk merebut kekuasaan yang mempersyaratkan mereka memobilisasi dan mempersiapkan anggotanya yang konon berjumlah tiga juta dengan simpatisan 20 juta.
Berbeda dengan jalan yang ditempuh Tiongkok, PKI tidak yakin bisa berkuasa lewat jalan kekerasan. Mereka menghadapi Angkatan Darat yang dipimpin para Jenderal yang sangat anti Komunis, karena itu mereka merencanakan menang lewat pemilihan umum (jalan parlementer) yang direncanakan akan diadakan pada tahun 1970.
Gestapu bagi PKI adalah hanya langkah menyingkirkan pimpinan Angkatan Darat yang anti Komunis untuk membuka jalan bagi para Jenderal pengikut Sukarno menguasai Angkatan Darat. Dengan tentara yang tidak anti Komunis (seperti Laksamana Madya Omar Dani yang memimpin AURI waktu itu), perjalanan PKI memenangkan pemilihan umum 1970 diperhitungkan Aidit akan lebih mulus.
Peranan tentara dalam pembantaian orang-orang Komunis juga harus dicatat. Tapi mereka terutama hanya berperan pada daerah-daerah yang masyarakatnya memang mempunyai pertentangan yang tajam antara yang Komunis dan anti Komunis.Keadaan seperti ini terutama terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Seperti sudah kita ketahui pada kedua provinsi ini ada pertentangan yang makin menajam antara kaum Santri –umumnya anti Komunis—dan golongan Abangan yang umumnya pro Komunis.
Di kedua provinsi ini tentara terutama berperan menggalakkan, bahkan kadang secara terbuka mendukung golongan anti Komunis untuk bertindak. Di Solo, misalnya, pada bulan Oktober 1965 RPKAD melatih para pemuda untuk menghadapi PKI, setelah PKI dengan dukungan satu Batalion Kodam Diponegoro di Solo membunuh mereka yang berdemo anti Komunis pada hari-hari awal bulan Oktober.
Pembunuhan massal di Pulau Bali memerlukan pengertian kultural selain penjelasan politik. Tapi selain faktor kultural, di Pulau itu memang juga terjadi kelumpuhan otoritas militer dan sipil hingga tidak bisa bertindak mencegah ketegangan berdarah yang menelan banyak korban. Pembantaian baru dapat diatasi justru setelah tentara (RPKAD) didatangkan dari Jakarta.
Setengah Abad Kemudian
Akhir-akhir ini muncul kesadaran dan usaha rekonsoliasi mengatasi luka masa lama.Tapi pada saat yang sama juga tampak adanya aksi-aksi membatasi gerak mereka yang dipandang bahkan dicurigai sebagai “Kekuatan Kiri” yang mencoba bangkit kembali. Petemuan-pertemuan mereka digrebek, kegiatan kultural mereka dicegah dan diskusi-diskusi mereka dibubarkan.
Komunisme internasional memang sudah bangkrut setelah Uni Sovyet bubar dan Tiongkok menjadi kapitalis. Dulu PKI adalah kekuatan integral dari gerakan Komunis internasional dan selama masa Demokrasi Terpimpin menjadi sangat kuat karena perlindungan Presiden Sukarno di bawah payung Nasakom.
Tapi pengalaman sejarah menunjukkan kemungkinan tampilnya Komunis nasional, sebagai yang terlihat pada gagasan-gagasan Tan Malaka dulu, menakutkan sejumlah orang. Kecemasan terhadap kemungkinan demikian itulah yang mendorong munculnya sikap tidak toleran sebagian anggota masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan yang dipersepsikan sebagai tanda-tanda ancaman kebangkitan kembali kekuatan Kiri.
Tapi harap dicatat, sikap intoleran yang cukup marak sekarang ini bukan melulu tertuju kepada gerakan kiri melainkan juga terhadap sejumlah kelompok lain. Yang terakhir ini bersumber pada perbedaan tafsiran pelaksanaan syariat agama. Dengan latar belakang seperti inilah kita harus mengerti perlakuan kasar dan intoleransi yang dialami golongan Ahmadiah, Syiah dan GPT (Gafatar?) di tanah air kita. Pertanyaannya tentu apakah nasib Ahmadiah dan Syiah sama dan sebanding dengan nasib golongan kiri Indonesia hari-hari ini?
*Judul tulisan ini dari redaksi Bergelora.com. Tulisan ini sebelumnya tanpa judul disampaikan oleh penulis dalam Simposium Nasional, “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan”, di Jakarta, 18-19 April 2016.
**Penulis adalah pengamat militer, wartawan senior dan salah satu tokoh KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang ikut menjatuhkan Presiden Soekarno