Sabtu, 5 Juli 2025

Komnasham Selidiki Pengepungan Asrama Papua Di Yogyakarta

 

JAKARTA- Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnasham) RI akan memeriksa dan menyelidiki peristiwa pengepungan oleh pihak kepolisian dan ormas terhadap mahasiswa Papua di “Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I” di Jalan Kusumanegara 119, Yogyakarta tanggal 15 dan 16 Juli 2016 berbasis pada Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU Nomor 40 tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnik. Hal ini disampaikan Komisoner Komnasham RI, Natalius Pigai kepada Bergelora.com di Jakarta, Selasa (19/7).

“Hari ini Komnas HAM telah mengirimkan surat kepada gubernur DIY, Kapolda DIY, pihak korban dan pihak terkait. Komnas HAM akan turun ke Yogyakarta pada hari Selasa, Rabu dan Kamis,” tegasnya.

Tujuan penyelidikan ini menurutnya adalah menemukan adanya dugaan pelanggaran HAM juga untuk melihat fakta peristiwa berdasarkan data, fakta dan informasi berdasarkan penyelidikan yang objektif, Imparsial dan transparan bagi terpenuhinya rasa keadilan bagi semua pihak.

Sementara itu, Direktur Riset Setara Institute, Ismail Hasani kepada Bergelora.com di Jakarta, Selasa (19/7) mengatakan sejak setahun terakhir, warga negara Indonesia asal Papua mengalami kekerasan berlanjut, akibat pelarangan menyampaikan aspirasi melalui demontrasi dan kebebasan berekspresi lainnya. Kejadian terakhir adalah peristiwa kekerasan di Yogyakarta (15/7).

“Demonstrasi adalah bentuk kebebasan berekspresi apapun tema yang disampaikannya. Bahkan aspirasi pembebasan Papua juga sah untuk disampaikan dalam sebuah demonstrasi sebagai bentuk protes atas ketidakadilan yang dialami oleh warga Papua. Selama demonstrasi itu disampaikan secara damai dan tidak adanya tindakan permulaan yang menunjukkan adanya makar, maka polisi apalagi ormas tidak boleh membatasi, melarang, dan menghakimi dengan kekerasan,” demikian Pengajar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah itu.

Ia juga mengatakan, penggunaan ormas tertentu atau pembiaran ormas dalam menghadapi aspirasi masyarakat yang berbeda adalah modus lama yang ditujukan untuk membersihkan tangan polisi sebagai aparat keamanan.

“Dengan melibatkan atau membiarkan ormas, maka Polisi terhindari dari tuduhan melakukan kekerasan. Padahal, membiarkan seseorang atau ormas melakukan kekerasan adalah tindakan pelanggaran HAM (violation by omission),” jelasnya

Untuk itu, Kapolri, Jenderal Tito Karnavian harus menjelaskan peristiwa Yogyakarta secara gamblang agar kepercayaan publik tidak segera luntur di masa kepemimpinannya. Memang, Tito punya pandangan agak konservatif perihal pembatasan HAM, seperti dalam kasus teorisme. Tetapi, membiarkan tindakan kekerasan terus menerus terhadap warga Papua adalah tindakan pelanggaran HAM dan bertentangan dengan semangat Jokowi yang berkali-kali menegaskan hendak mengatasi persoalan Papua secara holistik.

“Polri harus bertindak adil dengan menghukum anggota ormas yang melakukan kekerasan. Apapun argumen ormas tersebut, rasisme, hate speech, dan kekerasan telah secara nyata diperagakan. Tindakan main hakim sendiri (vigilantisme) adalah pelanggaran hukum,” tegasnya.

 

Sebelumnya, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), mengecam tindakan represif dan pengepungan asrama mahasiswa Papua oleh aparat kepolisian Polda Yogyakarta pada tanggal 15 Juli 2016. Pengepungan dan pemblokadean asrama mahasiswa Papua ini juga dilakukan oleh aktor – aktor intoleransi.

“Kapolri perlu segera melakukan evaluasi terhadap kinerja Polda Yogyakarta terkait dengan tindakan – tindakan represif dan pemblokadean asrama mahasiswa Papua oleh anggota Polda Yogyakarta, serta memberikan tindakan tegas terhadap anggota – anggota Polda Yogyakarta yang melakukan tindakan – tindakan kekersan dan prilaku – prilaku diskriminatif,” tegas  Koordinator Badan Pekerja KontraS, Haris Azar kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin (18/7)

KontraS mengingatkan bahwa Undang – Undang Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis Pasal 16 menyebutkan “Setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 1, angka 2, atau angka 3, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.

“Kami mendesak Polda Yogyakarta untuk melakukan pengusutan terkait dengan broadcast dan ancaman – ancaman bernada rasis terhadap masyarakat sipil yang berada di dalam asrama Papua yang dilakukan baik oleh kelompok – kelompok intoleran maupun aparat kepolisian pada saat melakukan pemblokadean asrama Papua untuk ditindak dengan tegas sebagai bentuk efek jera dan proses penegakan hukum yang lebih profesional dan berkeadilan,” tegasnya.

Haris Azar mengingatkan peristiwa tersebut terjadi selang beberapa hari setelah dilakukannya pelatikan Jendral Pol Tito Karnavian sebagai Kapolri. Dalam 100 hari kerja Kapolri Jendral Pol Tito Karnavian telah menetapkan 10 program prioritas diantaranya Pemantapan Reformasi Internal Polri; Peningkatan Profesional Polri menuju keunggulan; dan Penegakan hukum yang lebih profesional dan berkeadilan.

“Namun terjadinya peristiwa represif dengan disertai pengepungan dan pemblokadean asrama mahasiswa Papua oleh aparat kepolisian bersama – sama aktor – aktor intoleran menujukan kegagalan dan terlihat hanya sebagai omong kosong belaka,” tegasnya kepada Bergelora.com di Jakarta.  

Ia menjelaskan bahwa bermula ketika pada tanggal 15 Juli 2016, aparat kepolisian melarang aksi long march yang akan dilakukan oleh Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB) yang akan dilaksanakan dari asrama mahasiswa Papua di Jalan Kusumanegara Yogyakarta menuju Titik Nol KM. Selain melakukan pelarangan aksi aparat kepolisian dari Polda Yogyakarta dan beberapa kelompok – kelompok intoleran juga melakukan pengepungan dan pemblokadean asrama mahasiswa Papua di Jalan Kusumanegara karena aksi tersebut dianggap oleh aparat keamanan dan masa akasi intoleran sebagai aksi makar dan berbahaya.

Aksi pengepungan yang dilakukan oleh aparat keamanan dan kelompok – kelompok intoleran  itu menurut Haris Azhar, menyebabkan beberapa warga sipil yang berada di dalam asrama terjebak didalam dan tidak dapat bebas beraktifitas.

Haris Azhar menegaskan, tindakan brutalitas dengan disertai penangkapan sewenang-wenang oleh aparat kepolisian dan kelompok – kelompok intoleran sebagaimana yang dipertontonkan pada saat pengepungan Asrama Papua di Yogyakarta ini tidak hanya mencederai komitmen Indonesia dalam Undang – Undang Dasar 1945 Pasal 28 E ayat 3, Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, Undang-Undang HAM No. 39/1999, Undang – Undang No. 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, jaminan mengemukakan opini di depan umum sesuai dengan UU No. 8/1998 dan termasuk komitmen Polri untuk tunduk pada standar HAM melalui Perkap No. 8/2009 serta mekanisme penggunaan kekuatan sebagaimana yang diatur dalam Perkap No.1/2009 dimana prinsip – prinsip penggunaan kekuatan harus masuk akal (reasonable) yang berarti bahwa tindakan penggunaan kekuatan harus dipertimbangkan secara logis .

“Namun lebih jauh dari itu, tindakan – tindakan represif dengan penggunaan kekuatan yang berlebihan dan disertai dengan penangkapan ini menunjukkan sikap berlebihan, reaksioner, sekaligus diskriminatif serta tidak adanya itikad baik dari pemerintah pusat dalam mengatasi persoalan Papua khususnya terkait dengan hak atas kebebasan berpendapat, berkumpul dan berserikat,” ujarnya. (Calvin G. Eben-Haezer)

 

 

 

 

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru