Jumat, 4 Juli 2025

Komplotan Saudagar Dan Taipan Dalam Pemerintahan Tanpa Sistim dan Kepemimpinan (Tulisan Keempat)

Oleh: Haris Rusly

 

Kabar tentang maju mundurnya dua projek raksasa, projek kereta cepat Jakarta-Bandung dan projek listrik 35.000 MW adalah bukti nyata tentang sebuah program pembangunan di era Presiden Joko Widodo yg di-“create” tanpa landasan konsepsi dan perencanaan yang mandiri dan terukur. Membuktikan juga bahwa projek tersebut di-create oleh para saudagar dan taipan nasional yang berkomplot dengan investor asing untuk tujuan mengeruk kekayaan negara semata.

 

Setelah MPR dibunuh fungsinya sebagai lembaga tertinggi negara, lalu fungsinya dipreteli semata sebagai event organizer (EO) yang bertugas melakukan sosialisasi empat pilar bangsa yang seharusnya jadi tugas lembaga eksekutif (khususnya Dirjend. Kesbangpol Depdagri), maka lembaga multilateral seperti IMF, WB & ADB mengambilalih fungsi MPR untuk mendikte haluan pembangunan bangsa yg harus dijalankan oleh Presiden selaku mandataris IMF dan WB. Konsep GBHN yang dituduh produk ORBA dikubur dan diganti dengan LoI IMF sebagai haluan negara.

Kini, setelah WB dan IMF tuntas melakukan deregulasi untuk meliberalisasi seluruh sektor kehidupan bangsa, maka saat ini kekuasaan politik berpindah tangan kepada para saudagar dan taipan yang berkomplot dengan korporasi asing. Para saudagar dan taipan nasional adalah kekuatan yang saat ini sangat berkuasa menentukan haluan dan perencanaan pembangunan menggantikan fungsi MPR dalam memutuskan GBHN.

Dalam situasi ketidakmampuan Presiden Joko Widodo memimpin negara merupakan hadiah terindah bagi komplotan saudagar dan taipan yang telah mengkudeta fungsi Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan.

Demikian juga kekacauan sistem negara reformasi adalah karpet merah yang memuluskan para saudagar dan taipan yangg berkomplot dengan investor China dan Jepang untuk merampok malalui berbagai skema projek yang dibiayai utang luar negeri dengan jaminan asset negara.

Keadaan Pemerintahan Joko Widodo saat ini mengingatkan kita pada mendiang sahabat kita Om Franky Sahiliatua yang menulis dan menyanyikan sebuah lagu yang liriknya tentang mental anak jajahan yang tak sanggup hidup bila tak dijajah:

“Kita rindu biasa dijajah, sekarang tidak.

Kita rindu,

Mental kita masih anak jajahan,

Sebagian kita mencari ke barat, Paman Sam engkau tuanku.

Sebagian kita mencari ke timur, Paman Abu engkau tuanku.

Datanglah jajahlah kami, kami tak sanggup hidup sendiri”.

Sejak menjadi Gubernur DKI hingga berkampanye lalu terpilih menjadi Presiden RI, tema sentral yang diangkat Presiden Joko adalah tentang kemudahan investasi asing untuk menanam modal.

Setelah berhasil menjadi “media darling” untuk tujuan memanipulasi keasadaran rakyat, kini tak henti-henti nya Presiden Joko berjuang untuk menjadi “investor darling”, “saudagar dan taipan darling”.

Segala macam cara ditempuh, termasuk bermimpi untuk melakukan deregulasi yang menghambat investasi, mengedarkan Keppres yang mengintervensi penegakan hukum untuk tidak mempidanakan kebijakan. Hingga cara paling konyol yang pernah dilakukan oleh seorang Presiden di muka bumi, yaitu berpidato layaknya seorang “sales marketing” di depan pelaku bisnis World Economic Forum. Kata Presiden Joko:  “If you have any problem, CALL ME”.

Presiden Joko yang bermental “rindu dijajah” berpandangan bahwa masalah ekonomi yang dihadapi bangsa kita hanya bisa ditolong oleh dewa penolong investor asing.

Padahal masalah terbesar yang menghambat pertumbuhan ekonomi bangsa kita sesungguhnya adalah diri kita sendiri yang tak percaya diri dan bermental inlander, diperparah oleh sistem politik negara era reformasi liberalisme yang menciptakan kegaduhan berkelanjutan serta para pemimpin yang korup dan khianat.

Ingatlah, tak ada bangsa di dunia ini yang jadi bangsa besar karena ditolong oleh bangsa lain. (Bersambung)

*Penulis adalah Ketua Presidium Petisi 28

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru