Rabu, 16 Juli 2025

Komunisme Islam, Mengapa Dipersoalkan?

Oleh Ubaidillah Achmad*

Saya mengamati Presiden Jokowi, adalah presiden Indonesia yang cerdas. Berani melawan neoliberal, dan corong-corong neoliberal yang menghembuskan isu-isu yang tidak bertanggung jawab. Semua isu partai politik yang sudah membusuk pun masih diangkat kembali ke permukaan, seperti isu PKI bangkit kembali. Memang sebuah sikap yang berat yang kini diemban Presiden Jokowi, namun pada akhirnya rakyat dan dunia akan mencatatnya sebagai presiden yang hebat dan pemberani.

Presiden Jokowi telah mengikuti jejak Prsiden Soekarno dan Gus Dur yang tidak mengejar pencitraan, namun benar-benar untuk Indonesia, tumpah darah kita bersama. Presiden Jokowi telah mendatangi mereka yang kini dikatagorikan menjadi ancaman bagi Amerika Serikat. Presiden Jokowi berani harus menghadapi corong neolibaral yang bercokol mengatasnamakan putra Indonesia.

Yang lebih mengherankan, justru mereka yang menyebut putra terbaik ini telah merawat dan memback-up kelompok Islam Garis keras atau Islamis yang kearah radikal melangkah berdasarkan ideologi komunal atas nama Islam. Saya tidak perlu menunjukkan siapa putra Indonesia  yang lagi “sambatan” bekerjasama dengan Amerikat Serikat sebagai kekuatan besar dan juga “sambatan” bekerjasama dengan kelompok Islam radikal sebagai kekuatan kecil.

Karenanya, sebenarnya bukan kekuatan kecil yang disandang oleh kelompok Islam garis keras, namun harapan kelompok kepentingan yang membingungkan masyarakat dan mendapat dukungan negara neoliberal yang menjadi persoalan bangsa ini. Karenanya, rakyat harus hati-hati dan Presiden Jokowi juga harus waspada, sebab tidak ringan rintangan yang dihadapi Prssiden Jokowi untuk mengangkat Indonsia menjadi negara yang besar dan kuat.

Sudah saatnya, Indonesia beranjak dari tidur panjang dan mengembalikan kejayaan nusantara. Indonesia yang berideologi Pancasila, adalah ideologi rahmat bagi alam semesta. Pancasila, adalah ideologi yang mengakomodir teks kewahyuan dan tradisi kenabian. Pancasila, adalah ideologi yang tidak mudah dipengaruhi oleh politik kepentingan sesaat, namun tetap mengakomodir pikiran dan ideologi dunia, serta lokalitas yang dibangun para leluhur bangsa ini.

Sebagai penjaga harkat dan martabat bangsa, Presiden Jokowi telah memahami, bahwa Islam sebagai agama yang suci, Pancasila sebagai ideologi yang harus dipertahankan, namun bukan berarti menutup manata terhadap ajaran yang baik yang selama ini telah direduksi oleh partai dan kelompok kepentingan politik. Misalnya, ajaran ideologi Marxisme-Leninisme. Marxisme-leninisme merupakan ajaran yang memiliki hikmah yang bisa dipetik untuk tujuan analisis kelas sosial dan penguatan pada kepentingan masyarakat. Namun demikiam, karena kepentingan politik, maka telah dijadikan alasan sebagai penyebab konflik komunisme dengan nation state dan Islam. Hal ini bisa dibaca pada peristiwa Madiun 1948.

Sehuhungan dengan peristiwa politis ini, telah diperparah oleh ketidakpahaman mereka terhadap maksud Karl Marx yang mengatakan, bahwa agama adalah candu. Ungkapan agama adalah candu merupakan ungkapan kekesalan Karl Mark terhadap tokoh agama yang sezaman yang membiarkan masyarakat lemah dan terhegemoni oleh kepentingan kapital. Teori Karl Marx versus Kapitalisme yang menekan masyarakat lemah ini, yang kemudian disebut dengan ideologi materialis. Meski terdapat perbedaan dalam konteks hak individu, namun teori Karl Marx ini, bisa diintegrasikan dengan ajaran Islam perspektif hak-hak masyarakat.

Jika Komunisme menekankan hak-hak masyarakat, maka Islam menekankan hak-hak keduanya, berupa hak masyarakat dan hak individu. Dialektika materialis ini dipahami oleh Karl Marx mengacu pada rasionalitas untuk bangunan kehidupan yang adil. Karenanya, teori Karl Marx ini dapat disempurnakan dengan memasukkan pinsip Islam yang menghargai hak masyarakat dan individu. Sehingga KH. Misbah menyebut dengan Komunisme Islam.

Secara historis, Kmunisme Islam ini pernah membentuk masyarakat muslim dalam upaya membentuk kesamaan orientasi antara pandangan kemasyarakat yang bersumber dari kolektivisme dan tradisi kesederhanaan hirarkis dalam masyarakat suku yang membentuk masyarakat Islam pertama di madinah zaman Nabi Muhammad.

Sebagaimana dijelaskan dalam teks kewahyuan, QS. Al Qurays/106 : 1 – 4. Dalam surah ini, Nabi bersama masyarakat proletar qurays melakukan gerakan melawan kapitalisme Arab yang memeras keringat dan membanting tulang para pekerja dengan upah yang tidak sebanding. Hasil dari kerja bersama kelompok kapital ini tidak cukup untuk mengusap keringat dan mengembalikan rasa sakit tulang pekerja atau buruh. Karena itu, Nabi bersama rakyat menguatkan untuk beribadah kepada Allah sebagai Rabb hadzal bait (Ka’bah). Pernah terjadi, Allah telah mengingatkan Nabi yang memilih menemui pemodal dan mengabaikan seorang rakyat kecil namun serius mencari prinsip kebenaran dan keutamaan. Sesudah peringatan ini, Nabi Muhammad segera menemui sosok yang lemah (QS. Abasa/80: 1 – 16).

Dari kedua surat ini, terlihat sikap semangat egalitarianisme dan populisme Nabi Muhammad. Yang menarik, adalah untuk membentuk sikap egalitarianisme, Nabi telah mengajarkan supaya umat Islam melaksanakan rukun Islam. Karenanya, rukun Islam merupakan bukti ajaran Nabi membentuk sikap egalitarianisme dan populisme. Jadi, tidak dapat dipungkiri, sebagaimana dalam tulisan KH. Abdurrahman Wahid, bahwa ajaran Marxisisme-Leninisme tidak diakui oleh gerakan-gerakan Islam secara formal, namun telah diterima secara praktek. Misalnya, yang dilakukan oleh Muammar Khadafi, Abdul Malik BinNabi, dan Ali Syariati. Tentu saja, umat Islam seluruh dunia.

Sekarang ini, umat Islam bersama ideologi ideologi dunia yang berbasis pada rakyat dan masyarakat memiliki musuh bersama yang harus diwaspadai, yaitu imperialisme Amerika Serikat. Yang mengherankan, kenapa mereka dari kalangan islam formalis radikal yang anti barat, justru mendukung merusak kekuatan ideologi Pancasila secara tidak mereka sadari. Mengapa NU dan para santri tidak bisa berpaling dan tetap mempertahankan ideologi Pancasila, karena ideologi Pancasila telah mengakomodir nilai universalitas dan lokalitas. Allahku, Muhammad Nabiku, Islam Agamaku, Pancasila Ideologiku, Indonesia Negaraku, Suluk Kyai Cebolek Tawasulku!

 

*Penulis adalah penulis Buku Islam Geger Kendeng, mengajar di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru