Rabu, 13 Agustus 2025

KONTRAS BANGET NIH..! Hakim MK Sebut Tugas Guru Lebih Berat dari Dosen: Di PAUD Nyebokin Murid

JAKARTA – Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat memandang tugas guru lebih berat daripada dosen karena terkadang harus menceboki muridnya. Pernyataan ini disampaikan Arief Hidayat saat menanggapi keterangan Staf Ahli Bidang Regulasi dan Antar Lembaga dari Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, H. Biyanto, dalam sidang gugatan terkait batas usia pensiun guru di MK.

Permohonan diajukan oleh guru Bahasa Inggris SMA Negeri 15 Semarang, Sri Hartono, yang keberatan dengan usia pensiun guru yang ditetapkan 60 tahun, sedangkan dosen 65 tahun.

Arief Hidayat menyebut keterangan Biyanto yang menyatakan bahwa tugas dan kewajiban dosen lebih berat daripada guru mengandung paradoks.

Menurut Arief, berdasarkan pengalamannya menjadi dosen selama 40 tahun, tidak ada tuntutan untuk membuat mahasiswa harus paham, karena mereka dituntut untuk mandiri.

“Tapi kalau guru mendidik sejak awal, apalagi guru PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), ngajari termasuk nyewoki, nyebokin, itu lebih berat daripada dosen. Kalau dosen, masa nyebokin segala, kacau balau nanti, ya,” ujar Arief di Gedung MK, Jakarta, Selasa (12/8/2025).

Selain itu, paradoks lainnya adalah seorang guru yang tugasnya dinilai lebih ringan karena hanya menyiapkan materi di rumah dan mendidik di kelas, tetapi batas usia pensiunnya 60 tahun.

Sementara, dosen dengan tugas lebih berat memasuki usia pensiun pada 65 tahun dan 70 tahun untuk guru besar yang produktif

“Kan sebetulnya, kenapa yang lebih berat malah boleh sampai di usia yang lebih tinggi? Sedangkan ini yang hanya pendidikan kok, enggak boleh? Itu kan paradoks sebetulnya penjelasan itu,” ujar Arief.

Beban Kerja Beda

Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, pemerintah menyebut, hak, kewajiban, dan beban kerja guru sekolah sangat berbeda dengan dosen yang harus melaksanakan tridharma perguruan tinggi. Pernyataan ini disampaikan Staf Ahli Bidang Regulasi dan Antar Lembaga dari Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, H Biyanto, saat dihadirkan sebagai perwakilan pemerintah di Mahkamah Konstitusi (MK).

Biyanto diminta menyampaikan keterangan dari pemerintah dalam sidang Perkara Nomor 99/PUU-XXIII/2025 di MK yang diajukan guru Bahasa Inggris SMA Negeri 15 Semarang, Sri Hartono, yang keberatan dengan usia pensiun guru di 60 tahun, sedangkan dosen 65 tahun.

“Dalam hal ini, hak, kewajiban, dan beban kerja bagi dosen yang secara mendasar berbeda dari guru adalah terkait perannya dalam Tridharma perguruan tinggi, yaitu pendidikan atau pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat,” kata Biyanto, di MK, Jakarta, Selasa (12/8/2025).

Biyanto mengatakan, tidak seperti dosen, tugas guru fokus pada tugas pendidikan dan pembelajaran. Mereka tidak dibebani tugas melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat sebagaimana dosen.

Menurut Biyanto, meskipun ketentuan profesi guru dan dosen sama-sama diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005, kualifikasi, hak, dan kewajiban mereka sangat berbeda.

Pihaknya pun mempertanyakan argumentasi Sri yang mendalilkan bahwa guru dan dosen sama dalam aspek pendidikan.

“Apakah logis menyamakan kualifikasi dan sertifikasi dosen, hak, dan kewajiban dalam bidang penelitian dan pengabdian kepada masyarakat bagi dosen dengan guru?” ujar Biyanto.

Ia menyebut, upaya Sri mencampuradukkan kedua profesi pendidik itu justru mempertentangkan profesi guru dan dosen.

“Padahal keduanya secara mendasar memang memiliki persyaratan serta corak tugas yang berbeda,” tutur Biyanto.

Sebagai informasi, dalam permohonannya, Sri menggugat ketentuan Pasal 30 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pasal itu mengatur, seorang guru memasuki masa pensiun pada usia 60 tahun.

Sementara, Pasal 67 undang-undang tersebut menyatakan batas usia pensiun dosen 65 tahun. Sri merasa, aturan tersebut diskriminatif, sebab guru kehilangan hak untuk bekerja dan menerima gaji atau tunjangan profesi selama 5 tahun jika dibandingkan dengan dosen.

“Padahal dosen pada usia yang sama masih berhak bekerja,” kata Sri, dalam permohonannya. (Enrico N. Abdielli)

Artikel Terkait

[td_block_social_counter facebook="bergeloradotcom" twitter="bergeloralah" youtube="channel/UCKbE5la4z_J_DLH03Le8RzA" style="style8 td-social-boxed td-social-font-icons" tdc_css="eyJhbGwiOnsibWFyZ2luLWJvdHRvbSI6IjM4IiwiZGlzcGxheSI6IiJ9LCJwb3J0cmFpdCI6eyJtYXJnaW4tYm90dG9tIjoiMzAiLCJkaXNwbGF5IjoiIn0sInBvcnRyYWl0X21heF93aWR0aCI6MTAxOCwicG9ydHJhaXRfbWluX3dpZHRoIjo3Njh9" custom_title="Stay Connected" block_template_id="td_block_template_8" f_header_font_family="712" f_header_font_transform="uppercase" f_header_font_weight="500" f_header_font_size="17" border_color="#dd3333"]

Terbaru