Kembali BPJS Kesehatan bikin peraturan baru lagi yang kontroversial. Bergelora.com mendapatkan kiriman dari Mayjen (Purn) Dr. Supriyantoro, mantan Sekjen Kemenkes sebuah tulisan kritis dari Dr. Roberia, S.H., M.H. dari Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi). (Redaksi)
Oleh: Dr. Roberia, S.H., M.H.
SUDAH beberapa minggu belakangan ini saya sesungguhnya ‘prihatin’ dan baru ini ‘disempat-sempatkan’ menulis (setelah rapat koordinasi resmi tadi siang) mengenai kontroversi terbitnya 3 (tiga) kebijakan baru Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJSK) yang telah diterbitkan dalam bentuk ‘Peraturan’.
Ketiga ‘peraturan’ tersebut yaitu (i) Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Nomor 02 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Katarak Dalam Program Jaminan Kesehatan; (ii) Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Nomor 03 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Persalinan Dengan Bayi Baru Lahir Sehat Dalam Program Jaminan Kesehatan; dan (iii) Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 05 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik Dalam Program Jaminan Kesehatan. Ketiga ‘peraturan’ ini disingkat ‘Perdirektur’.
Keprihatinan saya ini sungguh-sungguh ‘mbatin’, “kog bisa-bisanya terbit ‘kebijakan strategis’ BPJSK dalam bentuk ‘Perdirektur’….? Saya dapat menyebut sebagai ‘kebijakan strategis’ ialah karena setelah mencermati dan menyimpulkan dari isi ‘Berita BPJSK’ yang dimuat dalam website bpjs-kesehatan.go.id itu sendiri, yaitu pada hakikatnya untuk ‘efektifitas pembiayaan’. ‘Ada apa sebenarnya ini’?
Bagaimanapun jua, semoga tulisan ini mampu memberi ‘sedikit’ pencerahan khususnya bagi saya sendiri dan ‘semoga’ bagi para pembaca tulisan ini akan ketaatan kita bersama dalam konteks ‘Negara Hukum’. “Negara Indonesia adalah negara hukum”, demikian yang telah tegas sekali diproklamirkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945, dan UUD ini merupakan hukum tertinggi di negara tercinta ini, juga sebagai kontrak sosial tertinggi pula yang tidak bisa diingkari oleh siapa pun selama masih demikian dalam UUD. Untuk uraian pembahasan yang sesungguhnya dimaksud dengan ‘konsep Negara Hukum’ tentu membutuhkan ruang tulisan tersendiri atau dapat dibaca dari buku-buku yang menulis tentang ‘Negara Hukum’. Selanjutnya, kembali ke soal ‘Perdirektur’, berikut ini uraian pembahasannya.
Peraturan Perundang-undangan dan Perdirektur
Untuk memahami hal yang dimaksud dengan ‘Peraturan Perundang-undangan’ maka Hukum Positif yang menjadi dasar pemahaman adalah ketentuan Pasal 1 angka 2 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011). Selengkapnya dikutipkan yaitu:
“Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.”
Berdasarkan batasan pengertian dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 UU 12/2011 maka dapat ditabulasikan bahwa terdapat 4 (empat) unsur untuk dapatnya sebuah ‘peraturan’ termasuk ‘Peraturan Perundang-undangan’. Keempat unsur tersebut yaitu: a.peraturan tertulis; b.memuat norma hukum yang mengikat secara umum;c.dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang; dan d.melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
Keempat unsur tersebut dapat kita sebut juga sebagai ‘testpenen 1-4’ untuk menguji Perdirektur termasuk peraturan perundang-undangan atau tidak. Mencermati unsur pertama, ‘peraturan tertulis’ maka mengingat Perdirektur sudah dibuat secara tertulis tentu dapat dipahami memenuhi testpenen 1. Tentunya atas terpenuhinya testpenen 1 ini saja tidaklah cukup. Hal ini karena untuk dapat dikategorikan sebagai Peraturan Perundang-undangan harus dipenuhi keempat unsur tersebut secara kumulatif. Satu unsur saja tidak terpenuhi maka tidaklah dapat dikategorikan sebuah ‘peraturan’ itu adalah Peraturan Perundang-undangan.
Lanjut mencermati unsur kedua, ‘memuat norma hukum yang mengikat secara umum’ maka testpenen 2 ini mulai ‘rumit’ memahaminya. Disebut ‘rumit’ karena meski rumusan kalimat dalam pasal-pasal yang tersusun dalam Perdirektur tersebut memenuhi syarat sebuah ‘norma hukum’ namun disebabkan dalam banyak diskursus si pembuat Perdirektur, termasuk staf atau timnya, sering berargumentasi bahwa Perdirektur ini bersifat dan berlaku internal ! Begitukah ?
Jika memang berlaku internal tapi mengapa masalah yang dimunculkan berdampak eksternal/keluar/umum, antara lain ‘tidak dibayarkannya’ jasa pelayanan kesehatan tertentu yang telah diberikan oleh pemberi pelayanan kesehatan kepada pasien yang merupakan Peserta JKN, hanya karena petugas/pegawai BPJSK menaati Perdirektur tersebut, yaitu bahwa dikarenakan materi muatan Perdirektur itu yang telah ‘mengatur’ perihal ‘sertifikasi’ dan ‘jumlah maksimal tindakan operatif untuk masing-masing dokter spesialis mata’, sehingga jika dokter spesialis mata tidak memiliki sertifikasi dari kolegiumnya maka tentu klaim jasa profesi tidak akan dibayarkan. Begitu juga soal ‘jumlah maksimal tindakan operatifnya’. Sedemikian mengaturnya materi muatan Perdirektur tersebut yang dampaknya adalah berdampak eksternal/keluar/umum. Bila demikian halnya maka masihkah disebut berlaku ‘internal’ ? ….
Berdasarkan uraian tersebut maka untuk unsur kedua ini, jika-pun …!… Perdirektur dianggap memenuhi testpenen 2 maka tentu timbul pertanyaan lanjutan, yaitu apakah seorang direktur memiliki wewenang membuat Peraturan Perundang-undangan ? Tentu atas pertanyaan ini adalah juga termasuk pertanyaan yang merupakan unsur ketiga, yaitu ‘dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang’. Terhadap unsur ketiga ini yang sebagai testpenen 3 tentu perlu dicermati lagi UU 12/2011 dan UU 24/2011.
Dalam ketentuan Pasal 7 dan Pasal 8 UU 12/2011 sama sekali tidak ditemukan frasa ‘direktur’, yang ada ditemukan hanyalah ‘badan’ untuk konteks ‘lembaga negara yg BPJSK ini. Kemudian pencermatan kita lanjutkan ke UU 24/2011, UU yang khusus mengatur BPJS atau dengan kata lain, UU 24/2011 inilah yang menjadi dasar hukum yang kuat atas lahirnya ‘BPJS’. Nah, dalam UU 24/2011 inipun tidak ditemukan sama sekali ‘wewenang direktur’ untuk membentuk ‘peraturan’. Sama sekali tidak ada. Bahkan juga tidak ada ditemukan frasa ‘Peraturan Direktur’. Yang ada hanyalah ‘Peraturan Pemerintah’, ‘Peraturan Presiden’, ‘Peraturan BPJS’, ‘Peraturan Direksi’, dan ‘Peraturan Dewan Pengawas’.
Terkait ‘Peraturan Direksi’ maka secara Hukum Tata Negara, ‘direksi’ berbeda dengan ‘direktur’. Kenapa berbeda secara Hukum Tata Negaranya? Jawaban atas pertanyaan/pernyataan ini tentu sebaiknya langsung saja dicermati ketentuan Pasal 23 ayat (1) UU 24/2011, yang telah tegas menyatakan bahwa “Direksi terdiri atas paling sedikit 5 (lima) orang anggota yang berasal dari unsur profesional”. Jadi, ‘direksi’ itu merupakan ‘entitas hukum’ tersendiri, yang terdiri dari ‘minimal’ 5 orang ‘direktur’ dan dipimpin oleh ‘Direktur Utama’ dan bukan dipimpin oleh ‘direktur’. Artinya, jika terbit ‘Peraturan Direksi’ maka yang berhak tanda tangan atau yang berhak menetapkannya hanyalah ‘Direktur Utama’ dan bukan ‘direktur’.
Berdasarkan uraian di atas maka ‘direktur’ tidak memiliki kewenangan ‘mengatur’ dalam konteks ‘peraturan perundang-undangan’. Jadi ‘Perdirektur’ tidak dikenal / tidak diakui oleh UU.
Kemudian, melanjutkan pencermatan ke unsur keempat sebagai testpenen 4 yaitu ‘melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan’ maka untuk dapatnya Perdirektur termasuk kategori ‘Peraturan Perundang-undangan’ tentunya dalam penyusunan dan pembahasan rancangannya harus memenuhi prosedur yang sesuai dengan UU 12/2011, Perpres 87/2014, dan Peraturan Menteri/Badan/Lembaga masing-masing. Pada testpenen 4 ini, tentu akan banyak pertanyaan akan prosedur terbentuknya Perdirektur tersebut, seperti apakah sudah melibatkan kementerian/lembaga terkait ? Apakah sudah pernah diajak ikut membahas dari perwakilan asosiasi atau profesi terkait ? … dan pertanyaan prosedural lainnya ? Atau begitu juga akan pertanyaan atas prosedur ‘pengundangan’nya ? Apakah Perdirektur tersebut diundangkan ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ? (untuk soal ‘pengundangan’ perlu pula pembahasan tersendiri).
Berdasarkan uraian penjelasan testpenen 1-4 tersebut diatas maka dikarenakan kalaupun hanya salah satu unsur yang jelas tidak terpenuhi maka Perdirektur bukanlah Peraturan Perundang-undangan. Jadi, singkatnya: Perdirektur bukan Peraturan Perundang-undangan.
Sedikit kembali ke soal yang meskipun dari uraian di atas telah menyebutkan bahwa ‘Peraturan Direksi’ dan ‘Peraturan Dewan Pengawas’ telah dikenal/diakui dalam UU 24/2011 maka bukan berarti langsung dipahami bahwa ‘Peraturan Direksi’ dan ‘Peraturan Dewan Pengawas’ merupakan ‘Peraturan Perundang-undangan’. Bukan begitu. Namun untuk hal ‘Peraturan Direksi’ dan ‘Peraturan Dewan Pengawas’ termasuk ‘Peraturan Perundang-undangan’ atau bukan perlu ruang pembahasan tersendiri pula nantinya.
Upaya Hukum Atas Perdirektur
Mencermati uraian penjelasan di atas bahwa Perdirektur bukan Peraturan Perundang-undangan maka upaya hukum yang dapat ditempuh atas Perdirektur yang materi muatannya ‘berpotensi’ merugikan pihak lain tentu bukanlah upaya hukum seperti dalam konteks judicial review yang uji materi ke Mahkamah Agung. Sebelum menyarankan upaya hukum yang dapat ditempuh atas Perdirektur yang materi muatannya ‘berpotensi’ merugikan pihak lain maka sebaiknya diperjelas terlebih dahulu ‘legal standing’ Perdirektur ini.
Mengingat BPJSK termasuk kategori ‘organ/lembaga negara’ (uraian pembahasan atas hal ini tentu perlu pula ruang tulisan tersendiri) maka tentu BPJSK secara kelembagaan juga melaksanakan fungsi pemerintahan. Terkait dengan ‘fungsi pemerintahan’ tentu salah satu dasar hukum yang dapat kita cermati untuk dipelajari adalah UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan dalam UU 30/2014 tersebut maka tentu dapat dilakukan pengkajian lebih lanjut apakah Perdirektur dapat dikategorikan sebagai salah bentuk dari ‘Keputusan’ ?
Jika hasil pengkajian dapat mengategorikan Perdirektur sebagai salah bentuk dari ‘Keputusan’ dengan berdasarkan UU 30/2014 maka tentu soal ‘upaya hukum’ atas Perdirektur tersebut sudah tersedia dalam UU 30/2014. Bahkan dalam UU 30/2014 tersebut telah tegas menyatakan soal ‘Keputusan yang tidak sah’ atau bahkan ‘Keputusan yang batal demi hukum’ dan ‘Keputusan yang dapat dibatalkan’.
Begitu pula halnya terdapatnya anggapan beberapa pihak yang menyatakan bahwa Perdirektur ini disamakan dengan ‘SE’ atau sejenis ‘beleidsregel’ lainnya. Namun menurut saya sebaiknya tidak begitu saja kita menyamakan Perdirektur ini dengan SE atau sejenis ‘beleidsregel’ lainnya. Apalagi mengingat ‘format’ Perdirektur ini yang mengikuti format/teknik ‘Peraturan Perundang-undangan. Atas hal ini, sebaiknya juga perlu dilakukan pengkajian tersendiri untuk itu.
Hal yang sudah jelas, yaitu bahwa ‘Perdirektur bukan Peraturan Perundang-undangan’ dan untuk itu sembari/sementara menunggu hasil pengkajian tersendiri untuk itu atas apakah Perdirektur termasuk ‘Keputusan’ dengan berdasarkan UU 30/2014 atau bagaimananya, tentu untuk saat ini dapat diusulkan upaya hukum yang dapat ditempuh atas Perdirektur yang materi muatannya ‘berpotensi’ merugikan pihak lain, sebagai berikut:
- a. menyarankan/mendorong Direktur yang menetapkan Perdirektur tersebut melakukan pencabutan Perdirekturnya, agar meredanya ‘kegaduhan’ berbagai pihak atau agar terhindarnya hal-hal yang kontraproduktif lainnya dalam penyelenggaraan pemerintahan, mengingat ‘tahun politik’;
- b. jika Direktur yang menetapkan Perdirektur tersebut tidak bersedia mencabutnya maka Direktur Utama melakukan pencabutan Perdirekturnya;
- c. jika Perdirektur itu telah dicabut maka dalam hal materi muatannya bermanfaat untuk ‘efisiensi/efektifitas pembiayaan’, tentu dapat diusulkan menjadi materi muatan Peraturan Menteri Kesehatan atau bila perlu menjadi materi muatan Peraturan Presiden, bahkan Peraturan Pemerintah, hingga menjadi materi muatan Undang-Undang;
- d. jika Perdirektur itu tidak ada yang mencabut juga maka atasan dari Direktur Utama yaitu Presiden tentu ‘sangat dapat’ melakukan berbagai hal, seperti melakukan ‘penggantian pejabat terkait’ dengan ‘pejabat baru’ yang segera melakukan pencabutan Perdirektur tersebut; atau
- e. dapat dilakukan mengajukan permohonan kepada Pengadilan (bisa ke PTUN, jika berdasarkan hasil pengkajian bahwa Perdirektur dapat dikategorikan sebagai ‘Keputusan’ sehingga dapat dibatalkan, atau ke PN, untuk kerugian perdata yang ditimbulkan atas ‘keputusan/tindakan’ yang dilakukan BPJSK atas penerapan Perdirektur tersebut).
Saya menyadari bahwa tulisan ini tentu belum komprehensif dalam memaparkan atau memberikan solusi atas kontroversialnya Perdirektur ini. Hal ini mengingat keterbatasan waktu yang saya miliki atau keterbatasan waktu yang masih belum mampu saya kelola disamping tugas-tugas negara lainnya yang juga harus ditunaikan. Selain itu, tak kalah pentingnya bahwa perlu kehati-hatian dan kecermatan dalam menuangkan pikiran dengan terlebih dahulu mempelajari Hukum Positif -nya atau pun landasan teoritis pemikiran -nya, sehingga konsepsi yang disampaikan mampu memberikan kontribusi ‘pencerahan’ meskipun ‘baru sedikit’ atas kontroversialnya Perdirektur ini.
Sebagai penutup pembicaraan ini, perlu dikutipkan pendapat James Bernard Murphy, dalam buku The Philosophy of Positive Law, terkait moral law dan positive law, yaitu bahwa “Moral law tells us not to steal, but positive law must define … what counts as stealing, and what legal consequences flow from stealing.” Semoga kita semua dapat mengambil hikmah atas kontroversialnya Perdirektur ini. Amin.
Janganlah begitu mudahnya kita ‘beralasan’ bahwa terdapat ‘kekosongan hukum’ maka kita sebegitu mudah pula menerbitkan ‘aturan’. Janganlah begitu! (Terkait ‘kekosongan hukum’ ini dalam konteks ‘perlunya mengatur’ maka perlu ruang tulisan tersendiri pula untuk itu). Salam Pancasila