Sabtu, 18 Januari 2025

KOQ BISA SIH..? Anak Muda Tak Minat Karier Pertanian, Beda Banget Dengan Gen Z Di China

JAKARTA – Anak muda Indonesia disebut tak minat meniti karier di bidang pertanian. Sektor pertanian dipandang bernilai lebih rendah dari sektor lain. Namun, pandangan ini tak hanya sekadar anggapan anak muda.

Nyatanya, akses ke sumber daya pertanian, dari lahan sampai teknologi sendiri tidak terjangkau bagi petani. Tidak jarang di antaranya ditekan tengkulak dan pendapatannya tidak stabil.

Kondisi-kondisi ini membuat anak muda makin enggan terjun ke bidang pertanian sehingga membuat keberlanjutan sektor ini kian rentan.

Hal ini sangat jauh berbeda dengan anak-anak muda di China yang berbondong-bondong terjun ke desa-desa membangun seluruh China.

Tonton anak muda China terjun  membangun desa-desa:

Kondisi si Indonesia menjadi salah satu temuan dari penelitian ekosistem inovasi, bagian proyek penelitian Supporting Holistic and Actionable Research in Education (SHARE). Proyek ini dilaksanakan Unit Kegiatan Khusus Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (UKKPPM) Smart City, Universitas Indonesia (UI) dalam kerja sama dengan University of Notre Dame.

Di Jabar Masih Jadi Tantangan
Penelitian yang didanai United States Agency for International Development (USAID) ini dilakukan di Jawa Barat. Jabar dinilai peneliti sebagai provinsi progresif yang dapat dipelajari dalam konteks ekosistem inovasi agrikultur, salah satunya karena juga memiliki inovasi digital serta memiliki dukungan pemerintah daerah yang cukup agresif.

Kondisi Jabar tersebut dibenturkan dengan kenyataan bahwa Indonesia sebagai negara agraris masih saja belum punya ‘Silicon Valley’ alias ekosistem inovasi di bidang pertanian.

Untuk menggali jawaban soal tantangan dan solusinya, peneliti mewawancarai 2-4 orang responden penelitian dari dari masing-masing 23 perguruan tinggi negeri (PTN), perguruan tinggi swasta (PTS), perguruan tinggi vokasi (PTV), petinggi kampus hingga mahasiswa; 9 lembaga pemerintah termasuk Kemendikbudristek, BRIN, Bappenas, Kementerian Pertanian, dan pemerintah daerah; 6 institusi dari industri dan pihak swasta, dan 5 organisasi nirlaba (NGO).

Penelitian ini juga melalui tahap diskusi kelompok terpumpun (FGD) 5 kali bersama 39 institusi sejak awal 2022.

Hasil penelitian menunjukkan, biaya untuk melakukan inovasi pertanian sering kali lebih besar daripada manfaatnya bagi petani. Penelitian di perguruan tinggi yang tidak cukup menjawab kebutuhan industri dan petani menjadikannya cenderung tidak membantu masyarakat petani dari segi ekonomi.

Sementara itu agar punya dukungan logistik lebih baik, hadir pihak-pihak yang memiliki dana sebagai perantara antara petani yang tidak punya akses infrastruktur dan distributor besar hasil pertanian. Namun, praktik perantara-perantara ini justru kerap menyeleweng dan malah menganiaya kesejahteraan petani.

“Seberapa kuat koordinasi dan kemitraan aktor utama di perguruan tinggi dan aktor lain di agrikultur ekosistem Jawa Barat? Menurut pemerintah sangat kuat, tapi ditelusuri lebih lanjut, peneliti memperlakukan pemerintah sebagai sumber pendanaan,” ucap Ahmad Gamal, Principal Investigator SHARE Indonesia dan Advisor Smart City UI pada diseminasi hasil penelitian di Fairmont Hotel Jakarta, Jumat (26/7/2024).

“NGO nggak tahu apa yang dilakukan peneliti di universitas. Peneliti di universitas menilai sudah lakukan yang terbaik, tapi private sector nggak mau beli (produk inovatifnya). Jadi di permukaan bilangnya bagus, tapi inner work-nya tidak saling berkomunikasi,” sambungnya.

Berangkat dari penelitian tersebut, peneliti salah satunya merekomendasikan perlunya kemitraan dan upaya kolaboratif antara pemerintah, perguruan tinggi, dan sektor swasta dalam mengatasi tantangan generasional pertanian.

Aktor-aktor ekosistem inovasi pertanian menurut peneliti juga perlu merancang solusi untuk berkembangnya ekosistem inovasi pertanian, khususnya di Jawa Barat. Caranya dengan menekankan kelayakan ekonomi, manfaat nyata, dan pertimbangan budaya.

Untuk pemerintah, Gamal mengatakan perlu ada insentif bagi lulusan-lulusan perguruan tinggi untuk dapat bertahan di kampus dan menggeluti penelitian, khususnya di bidang inovasi pertanian.

“Mahasiswa lebih mau masuk ke industri daripada bertahan jadi asisten peneliti dan lain-lain, perlu insentif,” ucapnya.

Tantangan Anak Muda di Cimahi

Dalam acara diseminasi tersebut, Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Cimahi Techno Park, Dinas Perdagangan, Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah, dan Perindustrian Kota Cimahi, Jabar, Jana Hermawan SIP MT, menyoroti rekomendasi peneliti untuk mendorong kegiatan-kegiatan inovasi untuk anak muda.

Jana menuturkan, Cimahi Techno Park kerap mendapati anak-anak muda yang punya inovasi di bidang pertanian melalui program inkubasi dan lainnya. Beberapa tenant di antaranya menghasilkan inovasi pertanian jamur shiitake (Lentinula edodes), kandang ayam, jamur monyet, hingga produksi tepung cassava atau mocaf dengan mesin sendiri.

Ia mencontohkan, startup Egrology yang digawangi anak muda mengembangkan growing chamber jamur shiitake. Tempat tumbuh jamur ini dilengkapi kontrol pintar seperti pengaturan suhu, kelembapan, dan penyiraman otomatis yang diharapkan dapat menurunkan tingkat kegagalan dan meningkatkan efisiensi produksi.

Di sisi lain, Jana mengatakan, masih ada gap antara bantuan ilmu, peralatan, dan fasilitas dari pemerintah pusat.

“Dulu sangat intens. Kita punya MoU (nota kesepakatan) kerja sama dengan BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) sehingga bisa turun ke lapangan. Kemudian science techno park juga sangat banyak dibantu untuk mendapatkan bantuan, baik knowledge sharing ataupun bantuan-bantuan peralatan,” ucapnya.

“Tapi dari komposisinya, mungkin dari lima, dari empat itu lebih banyak ke digital creative ataupun pesan-pesan startup yang bergabung dalam telematika dan digital creative,” imbuhnya.

Ia menambahkan, gap tersebut juga memicu para anak muda kebingungan dengan masalah kekayaan intelektual (intellectual property) dari risetnya. Padahal, upaya mereka telah merespons keterbatasan anak muda, khususnya Generasi Z (Gen Z), akan kepemilikan lahan.

“Misal alat IoT (internet of things) yang growing chamber, yang bisa menumbuhkan jamur shiitake di Indonesia. Mereka sebenarnya harus melakukan riset mandiri secara berjenjang, bertahap dari satu tahun ke dua tahun, sehingga benar-benar bisa menemukan jamur shiitake ini yang memang harganya harganya sangat tinggi,” ucapnya.

“Gen Z itu menurut saya kalau bertani yang masif mungkin karena lahan Cimahi terbatas, mereka tidak lakukan. Tapi dengan harapan bisa menumbuhkan jamur shiitake yang nilai ekonomisnya yang tinggi, begitu mereka bisa produksi masal, mereka akan mendapatkan nilai lebih,” sambung Jana.

Kepada Bergrlora.com di Jakarta dilaporlan, gap lainnya menurut Jana yakni fasilitasi anak muda untuk riset dan memperoleh hasil riset. Ia mencontohkan, para anak muda hendak mengembangkan pertanian jamur monyet yang dikabarkan punya kandungan penting terkait penyakit Alzheimer, tetapi terkendala biaya riset kandungan dan pemasaran lebih lanjut,

“Mungkin jurnal-jurnal yang ilmiah yang ada di perguruan tinggi itu tidak bisa mereka dapatkan, istilahnya tidak ada joint research yang bisa simbiosis mutualisme, riset-riset yang mendorongnya menghasilkan produk yang siap komersialisasi,” imbuhnya.

Ia juga mengungkap kendala anak muda di Egrology dalam memperoleh bibit jamur impor karena masa karantina yang sangat panjang. Sedangkan impor produk pertanian mudah masuk ke Indonesia.

“Jadi mereka harus punya partner yang jelas. Jadi anak-anak muda yang ingin mengembangkan produksinya itu di wilayah Cimahi ataupun Jawa Barat siapa yang bisa membantu baik dari sisi market intelligence-nya, knowledge-nya, ataupun leveling-nya,” ucapnya.

Jana berpendapat, pemerintah pusat dan pemerintah provinsi dalam hal ini juga perlu hadir untuk mendukung Gen Z terjun ke karier, wirusaha, dan menjadi petani. Dukungan dari semua pihak juga menurutnya bantu Gen Z tidak menganggur.

“Nah ini kita masih belum mendapatkan fasilitasi yang memadai. APBD Cimahi juga cukup kecil. Sesungguhnya mungkin dengan dinas sudah sangat intensif; yang perlu itu dengan pusat dan juga provinsi,” ucapnya.

“Kira-kira ke depannya ini, karena Gen Z itu nanti akan banyak pengangguran ataupun tidak bisa menemukan pekerjaan-pekerjaan, dengan begini mereka akan lebih mandiri,” pungkas Jana. (Calvin G. Eben-Haezer)

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru