Senin, 13 Januari 2025

Koq Makin Menjauh Dari Trisakti, Pak Presiden?

JAKARTA- Hingga hari ini, Pemerintahan Joko Widodo- Jusuf Kalla (Jokowi-JK) belum memperlihatkan keseriusannya dalam menjalankan menjalankan Pemerintahan yang berdasarkan pada Pancasila dan Trisakti. Bahkan pemerintahan semakin menjauh dari Trisakti. Ironisnya, saat ini Pemerintahan Jokowi-JK masih sangat bergantung pada modal asing dari korporasi multi-nasional maupun Lembaga-lembaga keuangan internasional seperti World Bank, Asian Development Bank (ADB), maupun International Monetary Fund (IMF) yang sejak awal telah mengintervensi seluruh kebijakan di Indonesia. Hal ini diingatkan oleh Ketua Umum Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (LMND), Vivin Sri Wahyuni kepada Bergelora.com di Jakarta, Rabu (12/8).

 

“Bagi kami, ada hal yang seharusnya lebih penting dilakukan oleh Pemerintah saat ini, yakni menjalankan Pemerintahan yang berdasarkan pada Pancasila dan Trisakti,” tegasnya.

Jokowi-JK juga menurutnya mengalihkan tata-niaga sejumlah barang publik, seperti BBM, listrik, gas elpiji, tarif transportasi, dan lain-lain, kepada mekanisme pasar yang sejatinya makin menyengsarakan kehidupan rakyat dan semakin menjauhkan rakyat dari kesejahteraan dam kemakmuran. Hal itu semakin menghilangkan kedaulatan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka, semakin jauhnya bangsa Indonesia dari cita-cita kemandirian ekonomi, dan semakin pudarnya kepribadian bangsa, serta semakin biasnya cita-cita Pancasila dan UUD 1945, masyarakat yang berkehidupan adil dan makmur.

“Bahkan bagi kami, penghinaan sesungguhnya terhadap bangsa Indonesia adalah ketika kedaulatan sebuah bangsa untuk menentukan kebijakan-kebijakannya sendiri diintervensi oleh pihak-pihak lain, dalam hal ini korporasi multi-nasional maupun lembaga-lembaga internasional yang hanya beorientasi pada akumulasi keuntungan untuk segelintir orang,” ujarnya.

Ia mengingatkan bahwa Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada saat kampanye telah merumuskan bahwa problem pokok bangsa Indonesia saat ini adalah merosotnya kewibawaan bangsa Indonesia, melemahnya sendi-sendi kemandirian ekonomi Indonesia, dan kepribadian bangsa.

“Jokowi-JK juga sudah merumuskan bahwa solusi untuk mengatasi problem pokok bangsa tersebut adalah kembali pada filosofi bangsa, yakni, Pancasila, UUD 1945, dan menjalankan Pemerintahan berlandaskan Trisakti dan Nawacita,” ia meningatkan.

Penghinaan Presiden

Belakangan ini, disaat revisi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diajukan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang juga masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019 masih berlangsung, banyak kalangan yang menyoroti tentang wacana masuknya pasal penghinaan Presiden dalam usulan revisi KUHP tersebut.

Sejatinya, pasal mengenai penghinaan terhadap presiden tersebut, yakni, pasal 134, 136 bis, 137, 154, dan 155 KUHP sudah tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat karena Mahkamah Konstitusi (MK)  mereduksi pasal-pasal tersebut dan menyatakan bahwa pasal-pasal yang dimaksud bertentangan dengan konstitusi.

“Merupakan sebuah anomali jika saat ini Presiden Jokowi memasukan kembali pasal mengenai penghinaan tersebut ke dalam KUHP. Keputusan yang sudah dilakukan oleh MK merupakan keputusan final,” ujarnya.

Meskipun menurutnya Presiden Jokowi memberikan klarifikasi bahwa di dalam pasal yang akan diajukan tersebut akan lebih detail dalam ketentuan-ketentuan hukumnya sehingga menghindari terjadinya pasal “karet”.

“Tetapi, esensi dari usulan tersebut adalah memberlakukan kembali pasal penghinaan Presiden. Dengan kata lain, apa yang telah diusulkan oleh Presiden Jokowi tersebut adalah melanggar konstitusi,” ujarnya.

Menurutnya, hal ini merupakan dekadensi demokrasi di Indonesia. Meskipun berbeda dengan UU Subversif orde baru, tetapi, esensinya adalah sama, pasal penghinaan Presiden ini bisa dipastikan ke depan akan menjadi landasan hukum bagi Pemerintah untuk merepresi dan memberikan hukuman pidana bagi siapa saja yang berani mengkritik dan bertentangan dengan penguasa, dalam hal ini Pemerintah.

“Bisa dipastikan juga, jika pasal ini disahkan, akan banyak aktivis yang selama ini selalu mengkritisi kebijakan Pemerintah yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat akan dipidanakan dan besar kemungkinan untuk ‘dihilangkan’ seperti saat di bawah kekuasaan rezim otoriter—orde baru,” ujarnya. (Calvin G. Eben-Haezer)

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru