Oleh: Toga Tambunan
ANAK-ANAK menempatkan orang dewasa digugu selaku guru, Pak si-guru bertingkah kencing berlari, akan mengarahkan uji nyali si-murid bersiul seraya berak berlari. Si murid itu bertingkah akan liar dari arus utama ketenangan. Jika si-murid waras kritis tentulah gusar menengok keanehan itu. Tatkala si-murid yang gusar mengatai si-guru tersebut, apakah omongan gusar murid itu digolongkan menggerutu, yaitu tabiat tercela? Murid terbiasa diasuh asih larangan menggerutu antara lain didapat murid pepatah nasehat agar otak jangan dikendalikan lidah, perut apalagi pantat. Apakah omongan anak mengatai guru kencing berlari itu disebut menggerutu maka layak dikenai sanksi? Siapa yang mengoyak ketentraman?
Kalaupun murid menggerutu, imbas tahu diluar dugaannya pula, si-orang dewasa penonton film itu peranannya berfungsi bukan level guru bahkan diatas tingkat dosen. Orang dewasa itu menjabat legislator. Di DPR kursinya lebih tinggi dari kedudukan umumnya legislator. Dia nonton film tertentu. Merasa dirinya terusik tonton arus kisah yang mengangkat tokoh kitab suci bukan Kitab yang diyakininya, lantas menyatakan agar distop beredar di Indonesia. Alasannya tontonan itu tidak sesuai keinginannya dalam konteks ibadah agamanya.
Alangkah banyak sekali film bersumber tidak dari Kitab Suci yang diyakini seseorang legislator, tapi diangkat dari cerita rakyat, novel, cerpen, legend, apakah semua produksi itu di stop? Apakah Allah mengatur seragam semua pikiran manusia atau pun manusia itu?
Apresiasinya gesit setop film ditontonannya itu
sangat patut melacak teropong keinginan bersangkutan terhadap korupsi yang masih merajalela bersileweran. RUU Perampasan Aset Koruptor mandeg puluhan tahun di laci legislator hingga hari ini, bukti keinginankah tidak distop? Jika segesit tanggap terhadap film ditontonnya, semestinya RUU Perampasan Aset Koruptor sudah lama disahkan dan korupsi Setya Novanto, yang pernah ketua DPR dan ketua Golkar bukan mustahil tercegah.
Sesuatu nggak sesuai dengan maunya namun mengakui tatanan umum hidup bhinneka tunggal ika itu wajib dipatuhi, apalagi pemangku jabatan legislator.
Peran negara dan pemerintah yang peraturannya ditetapkan dan diawasi legislator tentang ibadah beragama, dinyatakan pada UUD 1945 Amandemen, Pasal 29 Ayat (2), yakni “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama”.
Kemerdekaan beragama ini diakui menjalankannya untuk merealisasi dimensi kerukunan warga yang terdiri bermacam anutan agama pun keyakinan dalam kesatuan berbangsa bernegara NKRI.
Lagi pula legislator atau sebelum ikut kontestan legislator pada pemilu, penonton film disebut diatas, tentunya sudah juga mengerti Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights;
Kemerdekaan RI telah 78 tahun lalu beserta konstitusi UUD 1945, serta diperlengkapi UU dan bermacam peraturan merajut ketentraman kebangsaan yang bersatu. Sampai kini persatuan sebatas untuk pembangunan kepentingan bersama atau sebutlah persatuan minimum itulah pergumulan berat bagi kita.
Aksi asing mengambil peluang memanfaatkan multi anasir pembentuk nation Indonesia itu terutama jalur keagamaan sepihak tertentu yang rentan jadi pelaku ekstrimisme atau terrorist. Pihak asing menghendaki NKRI berantakan, agar mereka dapat leluasa merajah kekayaan bumi yang luar biasa ini.
Pada tahun 2022 Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)Ahmad Ahmad Nurwakhid menyebut terdapat 33 juta penduduk terpapar radikalisme di Indonesia,
ditandai tindak intoleran terhadap perbedaan dan keragaman serta sudah anti Pancasila yang
mereka bakal memerangi kelompok agama tertentu yang berbeda paham dan menjadi anti terhadap pemerintahan yang sah dengan cara menyebar hoaks dan fitnah.
Sering kali kita dikejutkan dengan penangkapan mahasiswa, oknum PNS, oknum polisi, oknum tentara, oknum pedagang sebagai bagian dari jaringan terorisme. Kejadian ini menunjukkan bahwa paparan ideologi radikal terorisme tidak mengenal status dan tingkat pendidikan. Infiltrasi paham ini telah lama masuk dalam semua sektor. Akankah anggota lembaga tinggi negara sekelas DPR juga terpapar?
Seseorang warga dilindungi haknya meyakini agama anutan dengan pengendalian diri oleh suara hati sendiri dibarengi pembatasan peraturan, undang-undang maupun beragam konvensi yang disepakati.
Tentunya diri para legislator pengampu atribut guru yang digugu senantiasa lurus pengendalian langkahnya, sehingga tidak ada lagi pameo guru kencing berdiri batasnya.
Merdeka.
Bekasi – P. Siantar, 21 September 2023.
*Penulis Toga Tambunan, pengamat sosial politik