JAKARTA – Militer Korea Utara diyakini semakin kuat. Dikabarkan Korea Utara akan mulai memproduksi berbagai jenis drone berkolaborasi dengan Rusia pada tahun ini.
Sebelumnya, Korea Utara menegaskan senjata nuklir mereka bukan alat tawar-menawar dalam diplomasi, melainkan untuk digunakan dalam pertempuran jika ada ancaman invasi dari musuh.
Pernyataan ini menunjukkan sikap Pyongyang yang keukeuh untuk terus mengembangkan kekuatan nuklirnya meski menghadapi tekanan internasional.
Badan pemikir yang berbasis di Washington, Institut Study of War (ISW) menegaskan Rusia kemungkinan besar telah memberikan teknologi drone dan rudal ke Korea Utara.

Dikutip dari Radio Free Asia, Senin (10/2/2025), pemberian teknologi tersebut merupakan pertukaran dengan pengerahan tentara Korea Utara di Kursk untuk membantu perang Rusia melawan Ukraina.
ISW juga menegaskan tentara Kim Jong-un menjadikan Ukraina sebagai lapangan uji coba bagi kemampuan militernya.
Rudal balistik Korea Utara yang ditembakkan Rusia sejak Desember 2024 dilaporkan sudah menunjukkan peningkatan akurasi yang signifikan.
Menurut ISW pencapaian tersebut bisa dicapai lewat aliansi Rusia dan Korea Utara. Penilaian ISW sendiri didengungkan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy yang pada Sabtu (8/2/2025) mengatakan Rusia telah mentransfer teknologi modern ke Korea Utara, termasuk teknologi drone.
Meski begitu, media Jepang NHK mengutip sumbernya yang mengatakan Rusia masih ragu untuk memberikan dukungan terhadap pengembangan senjata nuklir Korea Utara.
Sumber itu mengatakan Rusia masih khawatir uji coba nuklir Korea Utara akan membuat hubungan dengan Amerika Serikat (AS), dan juga China akan semakin sulit.
Korea Utara sendiri diduga mengirimkan senjata ke Rusia untuk mendukung invasi ke Ukraina.
Korea Selatan pada Oktober lalu mengatakan rezim Kim Jong-un telah mengirim 7.000 kontainer senjata ke Rusia selama dua bulan sebelumnya.
Hal itu membuat jumlah keseluruhan adalah 20.000 kontainer senjata yang dikirim Korea Utara ke Rusia.
Nuklir Untuk Bertempur, Bukan Alat Negosiasi
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Korea Utara menegaskan senjata nuklir mereka bukan alat tawar-menawar dalam diplomasi, melainkan untuk digunakan dalam pertempuran jika ada ancaman invasi dari musuh.
Pernyataan ini menunjukkan sikap Pyongyang yang keukeuh untuk terus mengembangkan kekuatan nuklirnya meski menghadapi tekanan internasional.
Pernyataan itu dikeluarkan melalui kantor berita resmi Korea Utara, Korean Central News Agency (KCNA), setelah Amerika Serikat (AS) di bawah Presiden Donald Trump menyatakan tetap berkomitmen pada kebijakan denuklirisasi penuh.
Pernyataan ini juga meredam spekulasi bahwa Trump mungkin lebih terbuka untuk pengurangan senjata nuklir Korea Utara daripada denuklirisasi penuh.
Dalam komentarnya, KCNA menegaskan kekuatan nuklir Korea Utara bukan untuk mencari pengakuan dari pihak mana pun atau dijadikan alat tukar dalam negosiasi ekonomi.
“Kekuatan nuklir kami bukanlah sesuatu yang dapat diiklankan untuk mendapatkan pengakuan dari siapa pun dan bahkan bukan alat tawar-menawar yang dapat ditukar dengan sejumlah uang,” tulis KCNA, dikutip dari Yonhap, Sabtu (8/2/2025).
“Kekuatan nuklir negara kami selalu digunakan untuk keperluan tempur nyata dalam upaya untuk segera menghentikan asal muasal setiap upaya invasi oleh kekuatan musuh yang melanggar hak kedaulatan negara dan keselamatan rakyat, serta mengancam perdamaian regional.”
Korea Utara juga mengecam pernyataan pejabat-pejabat NATO dan Uni Eropa yang menegaskan tidak akan mengakui Korea Utara sebagai negara bersenjata nuklir.
Pyongyang menyebut pernyataan itu sebagai “omong kosong” dan menegaskan Korea Utara akan tetap memperkuat kemampuan militernya.
Kembalinya Trump ke Gedung Putih memunculkan spekulasi bahwa ia akan mencoba menghidupkan kembali diplomasi tingkat tinggi dengan pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un.
Selama masa jabatan pertamanya, Trump bertemu Kim tiga kali, termasuk dalam pertemuan bersejarah di Singapura pada 2018.
Namun, perundingan di Hanoi pada 2019 berakhir tanpa kesepakatan setelah kedua negara tidak menemukan titik temu terkait langkah denuklirisasi Korea Utara dan pencabutan sanksi ekonomi.
Dalam sebuah wawancara dengan Fox News bulan lalu, Trump menyebut Kim sebagai “orang cerdas” dan menyatakan niatnya untuk kembali berdialog dengan Korea Utara. Akan tetapi, Korea Utara tidak memberikan tanggapan langsung terhadap pernyataan Trump tersebut.
Malahan, media pemerintah justru memuat laporan kunjungan Kim ke fasilitas pengayaan uranium dan menegaskan perlunya memperkuat “perisai nuklir” untuk menghadapi ancaman dari negara-negara yang mereka anggap bermusuhan.
Pada hari pertama kepemimpinannya di Januari, Trump menyebut Korea Utara sebagai “negara nuklir” — sebuah istilah yang jarang digunakan oleh pejabat AS karena dikhawatirkan dapat diartikan sebagai pengakuan resmi terhadap status nuklir Pyongyang.
Namun, Gedung Putih kemudian menegaskan kebijakan Washington tetap mengarah pada denuklirisasi penuh Korea Utara. (Web Warouw)