Senin, 28 April 2025

Korupsi UPS, Karena APBD Disusun Berbasis Proyek

JAKARTA- Mulai terkuaknya dugaan indikasi korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta salah satunya kasus pengadaan Uninterruptible Power Supply (UPS) menandakan penyusunan APBD DKI Jakarta belum sepenuhnya berbasis pada kebutuhan nyata masyarakat, tetapi masih disusun berdasarkan proyek-proyek kepentingan segelintir orang dan kelompok. Penyusunan APBD berdasar proyek inilah yang menjadi persekongkolan dan ladang korupsi oknum, baik di pemerintah daerah (pemda) maupun di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

 

Senator asal DKI Jakarta Fahira Idris mengatakan kepada Bergelora.com, di Jakarta Jumat (8/5) bahwa .banyaknya kepala daerah/wakil kepala daerah beserta pegawai pemda (PNS) dan anggota DPRD di berbagai daerah di Indonesia yang tersangkut kasus korupsi akibat dari APBD yang dirancang untuk memenuhi hasrat mencari keuntungan pribadi melalui berbagai proyek yang sama sekali tidak ada urgensinya bagi kehidupan masyarakat.

Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri sejak 2005 hingga 2014 sebanyak 343 kepala daerah (gubernur, bupati, walikota beserta wakilnya) tersandung kasus korupsi dan 1.221 PNS di tingkat daerah juga terbelit korupsi. Sementara, dalam rentang waktu yang sama sebanyak 3.169 anggota DPRD terlibat dugaan kasus korupsi. Bahkan ada beberapa daerah di mana semua anggota DPRD-nya jadi tersangka korupsi APBD.

“Di daerah-daerah itu, banyak APBD yang isinya program-program pengadaan barang dan jasa yang sebenarnya tidak berdampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat. Kalau di Jakarta seperti pengadaan UPS buat sekolah-sekolah yang sekarang sedang ditangani Bareskrim. Anggaran untuk pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan pengentasan kemiskinan biasanya yang mereka mainkan, kerena memang jumlahnya cukup besar,” ungkap Fahira.

Hingga saat ini, kata Fahira, masih banyak ditemui daerah-daerah di mana di dalam APBD-nya tersebar proyek-proyek yang sama sekali tidak bersentuhan langsung dengan kebutuhan publik.  

“Kalau di Jakarta, saya yakin masih banyak proyek-proyek lain yang dipaksakan masuk APBD, tapi dampak buat publik tidak ada. Padahal, APBD itu satu-satu instrumen atau alat utama pemerintah daerah menyejahterakan warganya. Tapi bagi oknum-oknum ini ABPD jadi lahan empuk untuk mengeruk keuntungan pribadi,” tukas Fahira.

Wakil Ketua Komite III DPD ini mengungkapkan, bahwa ajang persekongkolan antara oknum DPRD dengan oknum di Pemda mencuri uang rakyat dilakukan lewat bebagai modus dan cara sejak awal perencanaan APBD. Pengadaan barang dan jasa menjadi salah satu modus yang sering digunakan. Praktik korupsi pengadaan barang dan jasa, lanjut Fahira, mulai dari suap/sogok, penggelapan, pertentangan kepentingan, pilih kasih, menerima komisi, nepotisme, konstribusi atau sumbangan ilegal, pemerasan, penyalahgunaan wewenang, hingga pemalsuan.

Pengawasan Lemah

Lemahnya pengawasan publik terhadap proses penyusunan dan penetapan APBD, benar-benar dimanfaatkan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab untuk mengakali APBD. Memang, selama ini kebanyakan publik fokus memantau fungsi DPRD-nya dalam bidang legislasi dan pengawasan, sementara fungsi penganggaran sering luput karena dianggap rumit. Publik kebanyakan belum paham bagaimana melihat postur APBD apakah berpihak pada publik atau tidak, apalagi daerah yang belum menerapkan e-budgeting. Sehingga ada kesan, APBD hanya urusan kepala daerah dan DPRD serta mereka yang mengerti anggaran.

Menurut Fahira, Jika APBD benar-benar pro rakyat dan diimplementasikan dengan baik dan benar, dampaknya akan terasa langsung ke masyarakat. Makanya, mau tidak mau masyarakat harus intensif mengawasinya.  

Agar mudah, Fahira menyarankan masyarakat di daerah bisa melihat APBD dari rasio belanja tak langsung (gaji PNS, belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan keuangan, belanja tak terduga) dibadingkan dengan belanja langsung (belanja pegawai atau honorarium, belanja barang dan jasa serta belanja modal). Melihat APBD pro rakyat atau tidak juga dapat dilihat melalui sejauh mana belanja barang dan jasa, program dan kegiatannya diperuntukkan untuk pelayanan publik.

Idealnya, lanjut Fahira, belanja aparat atau belanja tidak langsung harus lebih kecil dari belanja publik atau belanja langsung. Memang belum ada ketentuan rasionya seperti apa, tetapi setidaknya jika masyarakat menemukan anggaran aparat lebih besar, APBD tersebut patut dikritisi.

“Setelah itu publik bisa fokus ke belanja langsung yaitu belanja barang dan jasa. Titik krusial yang harus diamati adalah sejauh mana programnya menyentuh langsung kebutuhan masyarakat.  Ini harus kita lakukan, karena APBD itu uang rakyat daerah yang pengelolaan diserahkan ke Pemda,” saran Fahira. (Calvin G. Eben-Haezer)

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru