JAKARTA- Organisasi masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Sipil untuk UU PPRT, Asosiasi LBH APIK Indonesia, CEDAW Working Group Indonesia, LBH Masyarakat
serta berbagai organisasi lainnya mendesak DPR segera membahas dan mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja
Rumah Tangga (UU PPRT) sebagai bagian dari komitmen menghapus diskriminasi terhadap posisi pekerja rumah tangga dan jaminan kesetaraan di muka hukum.
Dibawah ini pernyataan dan tuntutan lengkap yang diterima Bergelora.com di Jakarta Jumat (28/7):
Pada Hari Senin 24 Juli yang lalu, Putusan atas kasus SK, seorang Pekerja Rumah Tangga
yang mengalami penganiayaan, penyiksaan, eksploitasi, dan kekerasan seksual disampaikan
majelis hakim PN Jakarta Selatan dengan pidana yang dijatuhkan di antara para terpidana
paling tinggi 4 tahun, dengan total restitusi sebesar 275.042.000 rupiah.
Dari sekian penderitaan yang telah dialami oleh Korban dan dampaknya jangka panjang ke depan, Putusan tersebut sama sekali tidak mencerminkan rasa keadilan sama sekali. Putusan tersebut telah menunjukkan perspektif dan sikap aparat penegak hukum yang masih belum tuntas memperhatikan pengalaman, diskriminasi dan ketimpangan relasi sosial yang dialami oleh perempuan yang telah dimandatkan PERMA No. 3 tahun 2017 tentang Penanganan
Perkara Perempuan berhadapan dengan Hukum.
Termasuk dalam kasus ini adalah
perempuan pekerja rumah tangga yang menghadapi relasi kuasa timpang sehingga pemberi
kerja bersikap sewenang-wenang serta tidak menghormati harkat dan martabat pekerja rumah tangga.
Perspektif dan sikap aparat penegak hukum tersebut juga mencerminkan bahwa setelah 39
tahun CEDAW diratifikasi melalui Undang-undang No. 7 tahun 1984, masih terdapat berbagai
diskriminasi terhadap perempuan yang belum dihapuskan, yang dalam hal ini adalah diskriminasi dalam proses peradilan.
Pasal 2 CEDAW secara jelas memandatkan bahwa negara harus melakukan upaya penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuknya, diantaranya pada huruf (c) untuk menegakkan perlindungan hukum terhadap hakhak perempuan atas dasar yang sama dengan kaum laki-laki dan untuk menjamin melalui pengadilan nasional yang kompeten dan badan-badan pemerintah lainnya, perlindungan
kaum perempuan yang efektif terhadap setiap tindakan diskriminasi, dan huruf (d) yaitu tidak melakukan suatu tindakan atau praktik diskriminasi terhadap perempuan, dan untuk menjamin
bahwa pejabat-pejabat pemerintah dan lembaga-lembaga negara akan bertindak sesuai dengan kewajiban tersebut.
Dalam kasus yang dihadapi SK dan juga yang dialami pekerja rumah tangga lainnya, aparat penegak hukum juga belum memperhatikan mandat CEDAW Pasal 14, yaitu negara wajib memperhatikan masalah-masalah khusus yang dihadapi oleh perempuan di daerah pedesaan dan peranan yang dimainkan perempuan pedesaan demi kelangsungan hidup keluarga
mereka di bidang ekonomi, termasuk pekerjaan mereka pada sektor ekonomi bukan
penghasil uang, dan wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menjamin penerapan ketentuan-ketentuan. Para pekerja rumah tangga mayoritas perempuan yang berasal dari pedesaan atau kelompok miskin kota telah mengalami diskriminasi ganda sepanjang hidupnya, tidak hanya pada aspek akses sumberdaya ekonomi yang timpang
namun juga diskriminasi gender.
Berbagai kasus lain yang kami cermati menunjukkan bahwa masih banyak perspektif dan sikap aparat penegak hukum yang belum mencerminkan dilaksanakannya mandat CEDAW untuk menjadikan pengalaman ketidakadilan struktural baik berbasis gender maupun berbagai bentuk relasi sosial lainnya yang dialami oleh perempuan berhadapan dengan
hukum yang berpengaruh pada situasi dan posisinya dalam suatu perkara.
Dalam kasus anak AG, misalnya, hakim masih mengabaikan posisi AG sebagai perempuan anak dalam
mempertimbangkan Putusan sehingga menempatkannya pada Lapas anak sehingga sama
sekali tidak mencerminkan pemahaman terhadap kepentingan terbaik bagi anak juga tidak
memperhatikan situasi perempuan anak yang rentan mengalami kekerasan dalam Lapas anak.
Begitu pula mengabaikan kekerasan seksual yang dialami AG dari aspek adanya faktor relasi kuasa antara orang dewasa dengan perempuan anak yang jelas-jelas sesuai dengan
hukum di Indonesia merupakan tindak pidana kekerasan seksual dan melanggar Undang-undang Perlindungan Anak, dimana adanya kerentanan anak menjadi korban eksploitasi orang dewasa sehingga tindakan hubungan seksual orang dewasa terhadap anak adalah
pidana yang tidak perlu dibuktikan adanya persetujuan atau tidak (statutory rape).
Kasus-kasus di atas adalah kasus yang telah menjadi perhatian publik, belum termasuk berbagai
kasus yang tidak terpublikasi di media massa yang tidak dikawal oleh masyarakat yang minim
dukungan untuk memperoleh proses hukum yang adil dan non diskriminatif.
Bahwa jaminan kesetaraan sebagai warga negara, termasuk di muka hukum, bebas dari kekerasan dan ketidakadilan, telah dijamin dalam UUD 1945 serta berbagai peraturan
perundang-undangan lain setelah ratifikasi CEDAW antara lain UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, UU No. 12 tahun 2005 tentang ratifikasi hak sipil dan politik.
Berbagai peraturan perundang-undangan yang dapat memperkuat akses keadilan bagi perempuan berhadapan
dengan hukum memang telah diterbitkan yang tak lepas dari dorongan masyarakat sipil baik
dalam bentuk Undang-undang seperti UU PKDRT, UU TPPO, UU Perlindungan Anak, UU
Penyandang Disabilitas, dan terakhir UU TPKS, selain itu peraturan perundangan diantaranya Perkapolri No. 10 tahun 2007 mengenai Unit PPA dan PERMA No. 3 tahun 2017 mengenai
penanganan perkara perempuan berhadapan dengan hukum.
Meskipun begitu, masih terdapat peraturan perundang-undangan yang kontraproduktif, seolah netral, namun melemahkan bahkan dapat digunakan untuk mengkriminalkan
perempuan korban kekerasan yang sedang memperjuangkan keadilan, diantaranya Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) mengenai transmisi elektronik bermuatan kesusilaan dan mengenai pencemaran nama baik, Pasal 2 KUHP mengenai hukum yang hidup, Pasal 411 KUHP baru pada unsur perluasan perzinaan, juga perspektif diskriminatif yang seringkali timbul dari dampak pembakuan peran gender dalam Pasal 34 UU Perkawinan.
Dari kajian dari berbagai kasus dan juga pengalaman para pendamping perempuan berhadapan dengan hukum yang telah kami cermati, proses penegakan hukum masih
seringkali mengabaikan pengalaman ketidakadilan gender perempuan beserta aspek
interseksionalitasnya, sehingga masih perlu upaya lebih massif oleh negara untuk melakukan
penguatan sebagai wujud dimandatkan oleh CEDAW.
Oleh karena itu, kami organisasi masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Sipil untuk UU PPRT, Asosiasi LBH APIK Indonesia, CEDAW Working Group Indonesia, LBH Masyarakat serta berbagai organisasi yang tergabung dalam penyataan ini, menyampaikan tuntutan sebagai berikut :
- Mendesak DPR segera membahas dan mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja
Rumah Tangga (UU PPRT) sebagai bagian dari komitmen menghapus diskriminasi
terhadap posisi pekerja rumah tangga dan jaminan kesetaraan di muka hukum. - Pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh mengenai pelaksanaan CEDAW dalam
bidang penegakan hukum serta menyusun peraturan dan strategi percepatan
implementasi CEDAW dengan melibatkan unsur masyarakat sipil, terutama pendamping
perempuan berhadapan dengan hukum, dalam rangka memastikan pengalaman
ketidakadilan gender yang dialami perempuan dengan berbagai ragam identitasnya
diakomodasi; - Pemerintah melakukan upaya revisi dan atau penghapusan terhadap peraturan
perundang-undangan yang berpotensi melemahkan perempuan korban, diantaranya Pasal 27 ayat (1) dan (3) UU ITE, termasuk potensi dari dampak peraturan perundangundangan yang diskriminatif, atau seolah netral namun berdampak dan atau berpotensi
diskriminatif baik nasional maupun daerah, seperti Pasal 2 dan 411 KUHP. - Pemerintah mewajibkan semua penegak dan aparat hukum, memiliki kualifikasi
pengetahuan dan keterampilan/ implementasi CEDAW, dan peraturan turunannya dan menerapkannya dalam proses penegakan hukum pada perempuan berhadapan dengan hukum baik sebagai saksi, korban, maupun pelaku. Negara menyiapkan instrumen - pendidikan/pelatihan kepada semua aparat penegak hukum yang harus memastikan
- memasukkan mandat-mandat CEDAW;
- Dalam kaitan dengan kasus kekerasan seksual, Pemerintah harus memastikan mandat
CEDAW secara jelas dan eksplisit diatur dalam substansi PP dan Perpres UU TPKS,
terlebih lagi dalam Peraturan turunan mengenai Penanganan, Restitusi, Layanan Terpadu dan Pendidikan dan Pelatihan bagi Aparat Penegak Hukum.
Organisasi/Lembaga yang menyatakan:
- JALA Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT)
- Asosiasi LBH APIK Indonesia
- CEDAW Working Group Indonesia
- Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA)
- LBH Masyarakat (LBHM)
- Rumpun Gema Perempuan (RGP)
- Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia(YAPESDI)
- Institute Sarinah
- Kalyanamitra
- LBH APIK Semarang
- LBH APIK Jakarta
- LBH APIK Sulsel
- LBH APIK NTT
- LBH APIK NTB
- LBH APIK Medan
- LBH APIK Jawa Barat
- LBH APIK Kalimantan Timur
- LBH APIK Yogyakarta
- LBH APIK Banten
- LBH APIK Kota Batu Malang
- LBH APIK Bali
- LBH APIK Aceh
- Lembaga Partisipasi Perempuan (LP2)
- Indonesia women centre (IWC)
- Yayasan Hari Ibu (YHI)
- Yayasan JOUDI
- Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)
- Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRCKJHAM)
- Kidung
- Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia (YAPESDI)
- Lembaga Bantuan Hukum ( LBH )APIK Semarang
- Operata DIY (Warungboto)
- Suluh Perempuan
- Rumpun Gema perempuan
- Bale Nine Lombok Timur
- Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND)
- PAWG Indonesia
- ASPPUK
- Perempuan Mahardhika
- YAYASAN SUKMA
- Sikola Mombine-Sulteng
- Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER -Jakarta
- Jaringan Akademisi GERAK Perempuan
- Institute for Women’s Empowerment (IWE)
- Bhakti Hati Persada (BHATIDA) Indonesia.
- KAPAL Perempuan
- Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia ( KABAR BUMI)
- Mitra ImaDei
- WCC Dian Mutiara Malang
- Lingkar Studi Advokat
- Forum Tamansari Bersatu
- Safety
- Jaringan Buruh Migran (JBM)
- Jalastoria
- Gerakan Penggiat Sulawesi Tenggara (GPS )
- MALEO Sulteng
- Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan ( KPKP ) Sulawesi Tengah
- Komunitas Hanaf-NTT
- Alpen Sultra
- Komunitas Perempuan Muda Kendari
- Metamorfosis Menuju Inklusi
- Aliansi Perempuan Merangin(APM)
- HUMANUM
- FAMM Indonesia
- Kelas Muda
- Sekolah Gender
- Sapuan Blitar
- Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (HAPSARI)
- Koalisi Perempuan Indonesia ( KPI )
- Kalyanamitra
- Rahima
- Perkumpulan INA TUNI,Maluku
- Leaders Institute Gorontalo
- Cita Madani Institute (CMI)
- Yayasan Karampuang Mamuju, Sulawesi Barat
- Grup Aksi Amnesty Amawa Wikreti
- Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB Indonesia )
- Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI)
- Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia(GERGATIN)
- Perkumpulan Jiwa Sehat(PJS)
- Komunitas Peduli Perempuan dan Anak ( KPPA Sulteng
- Yayasan Cahaya Perempuan WCC – Bengkulu
- Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP)
- Yayasan Yogasmara
- PESADA – SUMUT
- Perkumpulan OHANA
- IDP Purworejo
- PPD Klaten
- Pemberdayaan Tuli Buta (PERMATA)
- Sikola Mombine – SM Sulawesi Tengah
- Yayasan Bambu Lingkungan Lestari- YBLL Bali
- Commitment for Change consulting ( KoUP ) – Jakarta
- SP Kinasih
- Partnership for Governance Reform ( Kemitraan)
- Lembaga Bantuan Hukum Semarang ( LBH Semarang)
- Jaringan Advokasi Tambang – JATAM Sulteng
- Yayasan Pendidikan Rakyat ( YPR )Sulteng
- Yayasan Tanah Merdeka ( YTM) Sulteng
- Yayasan SHEEP Indonesia, D.I Yogyakarta
- Yayasan Yekti Angudi Piadeging Hukum Indonesia ( YAPHI) Jawa Tengah
- KOPRI PMII Komisariat Tarbiyah Cabang Surabaya Selatan (Rls)