JAKARTA – Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menilai tingginya kesenjangan ekonomi di Indonesia yang tak kunjung terselesaikan menjadi pemicu kemarahan masyarakat saat ini.
Menurutnya, pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen tidak menghilangkan fakta bahwa kesenjangan ekonomi di Indonesia masih tinggi, di mana penghasilan masyarakat semakin menurun sementara gaji para pejabat semakin naik.
“Karena mereka itu penghasilannya semakin menurun saat ini. Di satu sisi, walaupun inflasi rendah, tetapi kalau inflasi rendah karena daya beli, itu kan menjadi problem,” ujarnya dalam acara Filonomics, Selasa (2/9/2025).
Di saat melemahnya daya beli masyarakat karena penghasilan yang menurun, pemerintah justru mengeluarkan beragam kebijakan yang membuat seolah-olah Indonesia dalam kondisi baik-baik saja.
Seperti Presiden Prabowo Subianto yang memberikan penghargaan atau tanda kehormatan kepada 141 tokoh, yang mencakup pejabat hingga pengusaha, di mana publik menyoroti bahwa tak semua tokoh itu layak mendapat tanda kehormatan.
Selain itu, pemerintah juga memiliki berbagai rencana investasi di luar negeri, padahal kondisi ekonomi di dalam negeri belum baik-baik saja. Terlebih saat ini banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor.
“Kayak kemarin pemberian bintang, lalu mau investasi di luar negeri. Nah, orang berpikir, di dalam negeri aja masih masalah, (tapi) mikir investasi kenapa harus keluar. Nah, itu juga sudah menjadi kendala. Jadi tidak fokus pada domestiknya,” ujar Aviliani yang juga Ketua Bidang Riset dan Kajian Ekonomi Perbankan Perbanas itu.
Lalu, besarnya belanja pemerintah seiring banyaknya program yang dijalankan memicu kekhawatiran bahwa pemerintah akan menaikkan pajak kepada masyarakat. Menurutnya, banyak hal terkait APBN yang tidak dikomunikasikan dengan baik oleh pemerintah kepada masyarakat.
Alhasil, masyarakat memiliki pemahaman bahwa pajak akan terus meningkat ke depannya.
“Orang jadi semakin panik dong. Udah daya beli turun, pajak lagi mau dikejar-kejar. Artinya ini ada berbagai kegalauan masyarakat kita yang tidak dijelaskan secara baik,” kata dia.
Kondisi ini semakin diperparah dari sisi pejabat DPR, di mana masyarakat kesulitan secara ekonomi, tetapi ‘wakil rakyat’ tersebut justru mendapatkan kenaikan tunjangan di tengah pendapatannya yang sudah tinggi.
“Anggota DPR lagi rame-rame kan berbahagia karena tunjangan naik kan. Nah, jadi semakin banyak sekali akar masalah yang publik itu melihat tidak ada ruang publik untuk berdiskusi,” ucapnya.
Kepada Bergelora.com.di Jakarta.dilaporkan,.Aviliani menilai berbagai kondisi tersebut membuat masyarakat menjadi tersinggung terhadap pemerintah maupun DPR sebagai wakil rakyat.
Terlebih, ruang diskusi pun dirasa tidak terbuka untuk masyarakat. Dengan demikian, amarah masyarakat pun disampaikan melalui demonstrasi yang berharap aspirasi mereka bisa didengar dan disediakan ruang untuk berdiskusi.
“Kayaknya ruang publik itu agak berkurang terakhir-terakhir ini, sehingga mereka (pejabat) banyak memutuskan sesuatu, tetapi masyarakat melihatnya tidak ada ruang publik. Jadi inilah menurut saya menjadi akar masalah kenapa akhirnya mereka itu sangat tersinggung,” ungkapnya.
“Apalagi dengan ada perorangan yang bicara-bicara yang akhirnya menyinggung rakyat dan sampai akhirnya dijarah. Itu kan karena kekesalan yang akhirnya dilemparkan pada wakil rakyat, kemudian pada menteri,” tambah Aviliani. (Web.Warouw)