JAYAPURA – Koalisi Masyarakat Sipil Papua atau KMSP yang terdiri sejumlah organisasi non pemerintah pada Senin (9/9) mulai membuka pos pengaduan bagi korban kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dalam unjukrasa anti rasisme maupun amuk massa sejak 19 Agustus 2019. Pos pengaduan itu dibuka di kantor firma hukum Ahimsa di Jalan Raya Sentani, mata Jalan Sosial, Padang Bulan, Kota Jayapura. Hal ini dilaporkan jubi.com dan dimuat ulang Bergelora.com di Jayapura, Selasa (10/9).
Pos Pengaduan di kantor firma hukum Ahimsa di Jalan Raya Sentani, Padang Bulan, Abepura, itu juga membuka hotline layanan pengaduan telepon melalui nomor 0812-47940004. Baguma Yarinap dari Bersatu Untuk Kebenaran (BUK) Papua berharap pos itu dapat menghimpun sebanyak mungkin data orang yang diketahui menjadi korban atau hilang sejak 19 Agustus 2019.
Yarinap menyatakan pos pengaduan itu didirikan sebagai respon atas sejumlah laporan atas praktik intimidasi dan pembatasan informasi bagi keluarga korban berbagai kekerasan yang terkait unjukrasa anti rasisme di berbagai wilayah di Tanah Papua.
“Kami menghimbau para keluarga korban untuk melaporkan jika ada anggota keluarga mereka yang belum diketahui keberadaannya, [atau ada anggota keluarga] korban luka-luka, salah tangkap, [atau]mereka yang mengalami trauma sejak aksi kekerasan terjadi,” kata Yarinap dalam keterangan pers di kantor Aliansi Demokrasi untuk Papua, Senin (9/9).
Pos pengaduan KMSP itu akan menghimpun seluruh informasi yang diharapkan akan bisa menjadi data pembanding sekaligus perimbangan atas berbagai informasi sepihak aparat keamanan dan pemerintah terkait korban kekerasan di Tanah Papua. Informasi terkait korban juga semakin simpang siur akibat kebijakan pembatasan dan pemutusan akses internet di Tanah Papua.
Yarinap menyinggung bagaimana pada 1 September 2019 polisi telah mampu mengeluarkan data sangat rinci terkait kerusakan dan kerugian materiil dari unjukrasa anti rasisme yang berkembang menjadi amuk massa di Kota Jayapura pada 29 Agustus 2019. Akan tetapi, hingga kini polisi tidak mengumumkan dengan jelas jumlah korban tewas atau terluka dalam serangkaian tindakan kekerasan yang terjadi sejak 29 Agustus 2019.
Yang muncul justru pernyataan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto yang menyatakan terserah pemerintah untuk mengumumkan atau tidak mengumumkan data korban kekerasan di Tanah Papua. Di pihak lain, KMSP telah menerima sejumah informasi tentang korban meninggal maupun korban terluka dalam sejumlah tindakan kekerasan yang terjadi sejak 29 Agustus 2019.
Pembukaan pos pengaduan KMSP diharapkan akan memperbanyak informasi dari pihak keluarga korban. Pembukaan pos pengaduan KMSP juga dilakukan untuk menghimpun informasi terkait langkah aparat keamanan yang agresif menangkap orang yang dituduh sebagai provokator perusakan maupun dalam peristiwa kekerasan di Tanah Papua.
“Publik berhak untuk tahu terkait apa yang sebenarnya terjadi di Papua selama tiga minggu terakhir. Monopoli informasi oleh pemerintah, disertai dengan pembatasan akses [informasi] bagi keluarga koban merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan dan hak atas informasi. Apalagi pelayanan sosial di Jayapura juga terganggu,” kata Yarinap.
Sam Awom, Koordinator Kontras Jayapura menyatakan pemerintah tidak transparan dalam memberikan informasi korban jiwa maupun korban luka dalam peristi Deiyai, Jayapura dan sejumlah kekerasan lain yang terjadi di beberapa daerah di Papua. Awom mengkritik pemerintah yang lebih disibukan dengan urusan kerusakan material berbagai insiden kekerasan di Tanah Papua, termasuk dengan mencari dan menangkap pelakunya.
“Pemerintah terkesan secara sengaja melakukan praktik diskriminasi terhadap korban dan keluarga korban di Papua. Ini menjadi deret panjang impunitas bagi kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang serius, seperti perampasan hak hidup di Tanah Papua,” katanya.
Organisasi hak asasi manusia (HAM) di Papua, di tingkat nasional, dan maupun di tingkat internasional telah berulang kali menyerukan adanya investigasi independen, imparsial, dan efektif atas berbagai dugaan pembunuhan di luar proses hukum demi terwujudnya keadilan bagi keluarga korban dan masyarakat luas. Tanpa investigasi independen, imparsial, dan efektif, praktik impunitas akan berlanjut, dan memperkuat ketidakpercayaan publik terhadap institusi penegakan hukum di Papua.
KMSP mendapatkan laporan terkait adanya korban jiwa dan luka-luka yang saat ini masih berada di beberapa rumah sakit di Jayapura dan Deiyai. Namun, keluarga, jurnalis maupun pekerja kemanusiaan tidak diberikan akses untuk melihat langsung korban.
“Pembatasan akses bagi keluarga korban adalah bentuk pelanggaran HAM. Pemerintah dan aparat harus membuka akses bagi keluarga korban, para jurnalis, dan pekerja kemanusiaan,” kata Yuliana Langowuyo SKPKC Fransiskan Papua.
Kapolri Jendral Tito Karnavian bersama dengan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto telah mengunjungi tiga keluarga korban tewas akibat insiden kekerasan di Jayapura. Sayangnya langkah itu tidak dilanjutkan dengan suatu komitmen publik untuk mengungkap dan memastikan pertanggungjawaban pidana bagi para pelakunya.
Haryanto Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Jayapura mengatakan pembatasan Internet dan informasi yang tidak transparan tetapi informasi yang benar disampaikan korban dan keluarga korban. “Hal ini sekaligus menjadi peringatan bagi pemerintah bahwa betapapun sistematisnya upaya pemutusan akses informasi yang dilakukannya, publik selalu menpunyai cara untuk mengungkapkan keadilan, dengan caranya sendiri,” katanya.
Direktur Aliansi Demokrasi Untuk Papua, Anum Siregar mengatakan pos pengaduan ini dibentuk agar para pembela HAM dan publik bisa menghasilkan narasi alternatif untuk pengungkapan kebenaran yang komprehensif atas apa yang terjadi di Papua.“Kami mengimbau berbagai pihak, termasuk institusi keagamaan serta asrama mahasiswa membuka posko pengaduan bagi keluarga korban. Hal itu penting untuk memperkuat upaya pengungkapan kebenaran dan keadilan bagi korban,” kata Anum Siregar.
Berikut adalah lembaga yang telah tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Papua: Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP), KontraS Papua, Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) GKI di Tanah Papua, SIP Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) Fransiskan Papua, PAHAM, LBH Papua, Tim Kerja CEDAW PAPUA, Elsham Papua, Walhi Papua, YALI Papua, PBH Cendrawasih, HMI Papua, PMKRI, PEMUDA KATOLIK, GMKI, TIKI Papua dan Bersatu Untuk Kebenaran (BUK) Papua. (Web Warouw/Benny Mawel)