Jumat, 13 Juni 2025

LAWAN MAFIA KURSI SEKOLAH.! Sebut Praktik Gratifikasi di PPDB Akan Berlanjut Jika Sistem Zonasi Tak Diubah

JAKARTA – Koordinator Nasional (Koornas) Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menilai kecurangan pada penerimaan peserta didik baru atau PPDB akan terus berulang di tahun-tahun berikutnya, lantaran tidak ada perubahan sistem sejak 2021.

Ubaid mengatakan kecurangan itu bisa dalam bentuk gratifikasi di semua jalur.

Tata Cara Pengajuan dan Aktivasi Akun PPDB Jawa Tengah 2024 Jenjang SMA-SMK

“Ada jual beli kursi, numpang Kartu Keluarga untuk memanipulasi jalur donasi, sertifikat yang abal-abal untuk jalur prestasi, ada titipan dari dinas dan sebagainya, serta pemalsuan kemiskinan karena ada jalur afirmasi,” kata dia di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi, pada Senin, 10 Juni 2024.

JPPI mencatat kecurangan saat PPDB dapat melalui jalur jaringan kepala sekolah. Berdasarkan cerita yang ia dapat dari wali murid, beberapa kepala sekolah mengumpulkan data dan menunjukkan kepada wali murid soal jumlah kursi di sekolah dengan pendaftar yang tidak imbang. Kondisi itu membuat ada peserta yang tidak lulus.

“Nah, kalau bapak/ibu berani bayar sekian maka kita usahakan pas pengumuman nama anak bapak/ibu keluar, Tapi kalau bapak/ibu enggak bisa bayar ya enggak ada jaminan untuk kami. Ya terima saja kalau misalnya tidak lulus,” ucap Ubaid menirukan tawaran dari pejabat tinggi pendidik.

Jalur lain bisa melalui jasa titipan lewat guru, jalur komite sekolah, broker atau pihak luar yang kerap membuat orang tua tertipu, serta jatah kursi dari orang dalam. Praktik koruptif itu, kata Ubaid, terjadi karena tidak ada jaminan dari pemerintah agar setiap anak bisa mendapatkan haknya untuk sekolah.

“Sistem rebutan yang tidak berkeadilan, kemudian menghalalkan segala cara atas nama hak,” ucapnya.

Ubaid menyebut sistem zonasi menyimpang dari visi yang seharusnya, yakni pemerataan menjadi ketimpangan. Oleh karena itu, ia mengistilahkan zonasi sebagai kompetisi rebutan kursi. Artinya, jumlah anak yang mau sekolah dengan jumlah kursi yang tersedia harusnya merata. Namun, kondisi saat ini justru sebaliknya. Jumlah kursi sekolah sedikit tapi yang mendaftar banyak. Ia juga menilai zonasi membuat ketimpangan mutu dan tak ada jaminan kepastian.

Stop Jual Beli Kursi

Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, rusaknya sistim pendidikan diawali dari jual beli kursi di sekolah negeri. Hal ini disampaikan Roy Pangharapan dari Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Kota Depok yang setiap tahun menerima laporan ratusan keluarga miskin yang anaknya ditolak bersekolah di sekolah negeri di Depok.

“Yang punya uang pasti bisa beli kursi buat anaknya disekolah negeri. Keluar miskin dan kurang mampu pasti tidak bisa menyekolahkan anaknya. Ini laporan setiap tahun masuk ke kami dan harus diadvokasi,” ujarnya.

Jual beli kursi menurut Roy Pangharapan merampas kuota bagi anak dari keluarga tak mampu. Seharusnya kuota anak tidak mampu disekolah negeri ditambah, bukan malah dijual dan merampas hak siswa dari keluarga tak mampu.

“Sekolah negeri seharusnya dipriotitaskan bagi siswa dari keluarga tak mampu. Pemerintah mensubsidi bagi mereka. Yang mampu tetap bayar. Karena gak mungkin mereka bisa ke sekolah swasta,” jelasnya.

Tahun ini Roy meminta agar Kementerian mendirikan satgad disetiap sekolah negeri untuk memastikan semua anak tak mampu bisa sekolah di sekolah negeri.

“Menteri Nadiem jangan hanya berpangku tangan menerima laporan, karena kasus penolakan anak tak mamou oleh sekolah negeri terjadi dimana-mana. Saatnya melawan mafia pedagang kursi sekolah,” tegasnya. (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru