Rabu, 3 September 2025

Lipat Gandakan Penerimaan Negara Dari Aset Sumber Daya Alam Tanpa Memberatkan Rakyat

Oleh: Dr. Kurtubi *

KONDISI ekonomi masyarakat saat ini yang sangat memprihatinkan dengan tingkat pengangguran yang tinggi, disertai pertumbuhan ekonomi yang masih terjebak selama bertahun-tahun berputar-putar di level sekitar 5%. Diikuti terjadinya kemerosotan kepercayaan rakyat terhadap Lembaga DPR-RI belakangan ini. Untuk itu diperlukan terobosan kebijakan yang dapat menaikkan penerimaan negara (APBN) dan penerimaan devisa hasil eksport bersumber dari pengelolaan aset/harta Sumber Daya Alam (SDA) yang sangat besar dan beragam, baik yang berada di darat maupun di laut.

Pengelolaa SDA sudah diatur dalam konstitusi Pasal 33 UUD 1945, — harus dikuasai dan dimiliki oleh negara, sebesar–besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Hal di atas mencakup semua SDA energi non renewable seperti migas, minerba, nuklir (uranium dan thorium), SDA energi renewable seperti tenaga surya, angin, hidro dll. Termasuk SDA kelautan dan perikanan serta Klkehutanan yang bersifat renewable.

Saya menyarankan agar Presiden Prabowo Subianto seyogyanya berupaya melipatgandakan Penerimaan negara/APBN yang berasal dari pengelolaan asset/harta negara yang berupa sumber daya alam. Untuk itu SDA harus dikuasai dengan status kepemilikan oleh negara untuk dikelola sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Jangan lagi sebesar-besarnya untuk para oknum menteri dan pejabat pemerintah beserta keluarganya yang merangkap berbisnis sumber daya alam.

Presiden disarankan menempuh kebijakan menaikkan penerimaan negara ini tanpa harus membebani rakyat dengan berbagai macam bentuk pajak dan pungutan baru yang aneh-aneh dan memberatkan rakyat seperti menaikkan Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB), memajaki ojek online, mengambil alih tanah rakyat yang belum dimanfaatkan dan lainnya.

Presiden Prabowo Subianto berhak menaikkan penerimaan negara dari pengelolaan aset sumber daya alam dengan cara yang rasional dan konstitusional.

Hal di atas perlu segera dimulai dengan mencabut UU Migas No.22/2001 yang terbukti menjadi penyebab anjloknya produksi migas lebih dari dua dekade.

Meskipun sebenarnya ketika UU ini baru disyahkan satu tahun, di MAJALAH TEMPO Edisi November 2002 saya sudah sarankan AGAR UU migas ini supaya dicabut selagi dampak negatifnya masih pada tahap dini.

Demikian juga dengan UU Minerba No.4/2009 dan UU Minerba No.3/2020 yang hingga kini masih menerapkan Sistim konsesi “G to B”, dimana pihak yang mengeluarkan konsesi adalah Menteri ESDM/ Pemerintah.

Ketika saya berada di Amsterdam Belanda, sebagai Anggota Komisi VII DPRRI sehabis mengunjungi Markas IAEA ( International Atomic Energy Agency) di Wina saat saya menyampaikan pentingnya energi Nuklir dikembangkan di Indonesia.

Pada Tahun 2019 saya minta agar DPR-RI yang sedang memproses penyusunan draft final dari UU Minerba. lewat media Bergelora.com, saya minta agar sistim konsesi”G to B” diganti dengan sistim kontrak bagi hasil “B to B” yang memastikan perolehan negara harus lebih besar dari Keuntungan yang diperoleh Investor.

Semestinya tidak boleh lagi menerapkan sistim konsesi karena yang berhak memberikan konsesi adalah Pemerintah. Padahal sebenarnya Pemerintah tidak eligible (tidak memenuhi syarat). Karena Pemerintah tidak bisa melakukan Kegiatan Penambangan dan Bisnis secara langsung, sehingga pemerintah harus menunjuk orang atau pihak ketiga.

Praktek di atas merupakan copy paste dari praktek zaman kolonial dimana Pemerintah Belanda yang memberikan Konsesi ke investor berdasarkan Indische Mijnwet, UU pertambangan zaman penjajahan menerbitkan Ijin Usaha Pertambangan (IUP) atau dengan menandatangani Kontrak Karya.

Implementasi Pasal 33 UUD 45 Dalam Pengelolaan Asset SDA

Sebenarnya sudah dicontohkan di sektor migas bagaimana cara menerapkan konstitusi Pasal 33 UUD45 yang bertujuan untuk sebesar– besarnya Kemakmuran rakyat,  yaitu dengan terbitnya UU MIGAS No.44/Prp/1960 dan UU Pertamina No.8/1971.

Kedua UU ini melahirkan sistim kontrak bagi hasil “B to B” antara Perusahaan Negara Pemegang Kuasa Pertambangan (PNPKP) yang dibentuk dengan UU, berkontrak dengan semua Investor migas.

Sistim Kontrak Bagi Hasil

Sistim Kontrak Bagi Hasil memastikan bahwa Penerimaan negara dari penambangan asset sumber daya alam harus lebih besar dari keuntungan yang diperoleh Penambang/ investor. Negara memperoleh 65% dan investor memperoleh keuntungan 35% setelah cost recovery.

Apabila terjadi Windfall Profit karena kenaikan harga komoditas SDA di pasar dunia, Presiden RI berhak mengadopsi windfall profit dengan menaikkan bagian negara dalam kontrak bagi hasil menjadi 85% dan investor memperoleh 15%.

Dengan sistim kontrak bagi hasil, investor harus dipermudah, tidak boleh dibebani pajak dan royalti ketika masih pada tahap eksplorasi, belum berproduksi. Berlaku prinsip Lex Specialis, tidak memberlakukan UU perpajakan. Karena kewajiban yang harus disetor oleh investor ke negara sesuai konstitusi, lebih besar dari tarif pajak yang ada dalam UU perpajakan.

Bukti empirik dari Implementasi konstitusi Pasal 33 UUD 45 di sektor migas yang menggunakan sistim kontrak bagi hasil, terbukti telah menjadikan sektor migas menjadi sumber utama penerimaan APBN dan penerimaan devisa hasil ekspor.

Pada saat produksi minyak mentah naik dari 200 ribu bpd menjadi 1.7 juta bpd. Indonesia menjadi anggota OPEC pengekspor minyak dan LNG terbesar di Asia diluar negara-negara Arab.

Ekonomi tumbuh tinggi mencapai puncaknya hingga tumbuh 9.8%. capaian tertinggi dalam sejarah perekonomian Indonesia

Ketika terjadi krisis moneter, pemerintah dibantu dengan pinjaman uang dari IMF dengan LOI (Letter of Intent) dari IMF untuk mencabut 2 undang-undang, yaitu UU MIGAS No.44/Prp/1960 Dan UU Pertamina No. 8/1971.

Dampak Nyata UU Migas NO.22/2001

Saat investasi dan Klegiatan eksplorasi migas di Indonesia anjlok meskipun potensi cadangan migas masih sangat besar. Secara geologis cadangan migas di negara kita yang terjebak di sekitar 300 cekungan sedimen (sedimentary basins).

Kegiatan dan investasi eksplorasi menurun karena perizinan harus diurus sendiri oleh investor. Investor harus membayar pajak sebelum berproduksi tidak sesuai dengan isi kontrak bagi hasil. Produksi migas terus mengalami penurunan selama lebih dua kekade dibawah Presiden SBY hingga Presiden Jokowi.

Saat itu Presiden SBY mengambil langkah tidak tepat menghidupkan kembali BP Migas yang sudah dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Di Harian Kompas saya sudah sarankan agar BP Migas setelah dibubarkan supaya dikembalikan ke Pertamina sebagai institusi asal BP Migas.

Presiden SBY terkesan melampaui kewenangannya dengan menghidupkan kembali lembaga pemerintah yang sudah dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi yang bersifat final and binding.

Presiden SBY kemudian menciptakan lembaga pemerintah baru bernama SKK Migas. Tugas SKK Migas dalam mengontrol cost recovery para penambang, tidak efektif dan tidak effisien karena SKK Migas bukan perusahaan migas seperti Pertamina yang melakukan kegiatan eksplorasi dan bisnis migas secara langsung sehingga dapat mengetahui biaya pengeboran secara tepat. Selain SKK Migas tidak dilengkapi dengan Majelis Wali Amanat (komisaris)

Sejarah migas mencatat bahwa pimpinan lembaga pemerintah yang bernama BP Migas kemudian setelah dibubarkan oleh MK, dihidupkan kembali dengan nama SKK Migas. Sebagai lembaga pemerintah, keduanya tidak eligible untuk melakukan kegiatan bisnis migas secara langsung. Kemudian ternyata BP Migas mencoba berbisnis dengan mengolah kondensat dan minyak mentah bagian negara di kilang swasta. Sedangkan pimpinan SKK Migas bertemu dengan trader minyak di Singapura untuk menjual minyak bagian negara yang berasal dari kontraktor migas.

Pengadilan memutuskan mantan Kepala BP MIGAS dan mantan Kepala SKK Migas terbukti bersalah dan masuk penjara. Karena status BP Migas Dan SKK Migas adalah lembaga pemerintah yang tidak eligible melakukan kegiatan bisnis migas secara langsung. BP Migas yang sudah dibubarkan dihidupkan kembali dengan nama SKK Migas dengan melabrak keputusan MK yang bersifat final and binding.

Fakta Aneh Pengelolaan Migas

UU Migas No. 22/2001 yang jelas-jelas melanggar konstitusi dan sangat MERUGIKAN Negara. DPR-RI berulang kali bersidang untuk melakukan perubahan atas UU Migas No. 22/2001, namun selalu gagal karena adanya oknum-oknum tertentu anggota DPR-RI yang menginginkan agar menteri ESDM tetap sebagai pemegang wewenang kuasa pertambangan !

Sehingga faktanya, UU Migas No.22/2001 tetap ada hingga saat ini di tengah Ketidak percayaan rakyat pada institusi DPR-RI yang terjadi belakangan ini.

Pemerintah Dan DPR-RI Sudah Diingatkan

Sudah diingatkan sejak tahun 2002 lewat Majalah TEMPO dan Tahun 2012 lewat hasil kajian Akademis yang disampaikan pada Konfrensi Guru Besar Indonesia Ke IV di Makassar tahun 2012.

Kita ketahui di negara kita juga ada partai yang mengusung gerakan perubahan yang seyogyanya menjadi pelopor di DPR-RI dalam memberi saran dan usul solusi kepada Presiden Prabowo Subianto demi masa depan bangsa dan anak cucu yang lebih baik, meskipun sejauh ini Nasdem berada diluar Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Selain tentunya pemerintah mentertibkan para pejabat negara yang merangkap berbisnis sebagai penambang migas dan minerba.

Pentingnya Keterbukaan Data

Kita himbau kepada Menteri Keuangan dan Menteri ESDM untuk mendukung kebijakan menaikkan penerimaan negara dari pengelolaan SDA migas dan minerba. Buka secara tansparan data penerimaan negara berupa pajak dan PNBP yang disetor ke negara setiap tahun oleh setiap perusahaan migas dan minerba.

Menteri ESDM membuka secara transparan data jumlah produksi dari migas dan minerba, jumlah yang diekspor dan jumlah yamg dikonsumsi di dalam negeri dari setiap perusahaan migas di Indonesia.

—-

*Penulis Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 — 2019, Alumnus FEUI Jakarta, IFP Perancis Dan CSM Amerika. Mantan pengajar ekonomi energi Program Pasca Sarjana FEUI dan Universitas Paramadina

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru