JAKARTA- Dalam waktu dekat ada beberapa inisitaif yang bisa dilakukan oleh Presiden Joko Widodo untuk penyelesaian kasus pelanggaran hak asazi manusia (HAM) 1965, selain menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) KKR 1965, presiden atas nama negera dan kepala pemerintahan bisa melakukan permohonan maaf pada korban pelanggaran hak asazi manusia 1965 dan menindak lanjuti putusan Mahkamah Agung. Hal ini disampaikan oleh sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), DR Asvi Warman Adam dalam keynote speech nya pada International Symposium Indonesian Relations with the World: Japanese Studies 50 years after 1965 di LIPI, Jakarta 18-19 September 2015.
“Untuk itu menindak lanjuti putusn Mahkamah Agung maka perlu dilakukan pengadilan Ad-Hoc yang mengadili kasus-kasus melawan kemanusiaan pada tahun 1965,” tegasnya.
Sebagai Presiden Indonesia, Joko Widodo juga harus meminta maaf pada ribuan patriot yang kehilangan warga negeranya setelah kudeta 30 September 1965. Pada tahun 1960-an Presiden Soekarno mengirim ribuan Mahid (Mahasiswa Ikatan Dinas) belajar ke luar negeri untuk bisa meningkatkan pembangunan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Karena dituduh mendukung Soekarno, para mahasiswa kehilangan kewarganegaraannya.
“Walaupun, beberapa dari mereka telah berganti warga negara, namun mereka tetap setia setiap tahun merayakan peringatan haru kemerdekaan Indonesia di kedutaan Indonesia dan ikut membacakan teks Panca Sila. Mayoritas dari mahasiswa kini berusia 75 tahun, beberapa bahkan telah meninggal dunia,” ujarnya kepada Bergelora.com di Jakarta, Sabtu (19/9)
Asvi Warman Adam juga menyarankan agar Presiden Indonesia membuat pernyataan bahwa pemerintahan dimasa lalu telah berbuat kesalahan dengan membuang lebih dari 10,000 orang ke Pulau Buru dan tinggal dalam pengasingan selama 10 tahun dari tahun 1969-1979.
“Tanpa pengadilan mereka bekerja dalam kamp-kamp konsentrasi, tidak mengetahui kapan akan dibebaskan. Masyarakat internasional sempat memprotes dan mendesak pemerintah Indonesia untuk mengakhiri kejahatan atas kemanusiaan di Indonesia,” jelasnya
Presiden Republik Indonesia juga menurutnya perlu segera meminta maaf kepada anak-anak dan keluarga yang menjadi korban dalam setiap peristiwa yang berawal dari 30 September 1965. Pada tahun 1981, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan instruksi agar keluarga korban tidak diijinkan untuk menempati posisi di pemerintahan dan ketentaraan. Walaupun orang tua mereka bersalah karena terlibat dalam kudeta, pemerintah tidak memiliki hak untuk melarang individual mencari pekerjaan yang dijamin oleh UUD’45.
“Sementara itu, Presiden perlu segera merespon ganti rugi yang telah disahkan oleh Mahkamah Agung pada tahun 2011,” ujarnya.
Menurutnya, sesuai dengan tinjauan peninjauan kembali atas Keputusan Presiden Nomor 28/1975, tertanggal 25 Juni 1975, dari Peresiden Republik Indonesia sehubungan dengan perlakuan pada kelompok golongan C yang dituduh terlibat Kudeta 30 September 1965, Mahkamah Agung telah menetapkan lewat Keputusan Mahkamah Agung Nomor 33P/HUM/2011 bahwa Keputusan Presiden dan semua peraturan dibawahnya bertentangan dengan Undang-undang yang lebih tinggi.
“Mahkamah Agung memerintahkan presiden Republik Indonesia untuk mencabut Keputusan Presiden No 28/1975, sehubungan dengan perlakukan pada orang-orang yang dimasukkan kedalam Golongan C tersebut,” jelas Asvi Warman Adam.
International Symposium Indonesian Relations with the World: Japanese Studies 50 years after 1965 di LIPI, Jakarta 18-19 September 2015 di adakanatas kerjasama antara LIPI dengan Waseda University, Tokyo, Jepang. (Irine Gayatri)