JAKARTA- Pembantaian massal pada 500.000 orang pengikut Soekarno yang terdiri dari kaum nasionalis dan komunis Indonesia, setelah peristiwa kudeta militer 1965 sangat mempengaruhi sejarah dan hubungan internasional di kawasan Asia-Pasifik. Hal ini menjadi perhatian dan dipelajari oleh dunia internasional khusus negara Jepang.
“Peristiwa 50 tahun lalu pada 30 September 1965 sangat membekas pada sejarah kontemper dan hubungan internasional Asia Pasifik,” demikian Director International Studies Program, Graduate School of Asia Pasific Studies, Waseda University, Tokyo, Jepang, Shinso Hayase, Ph.D, pada sambutannya di International Symposium Indonesian Relations with the World: Japanese Studies 50 years after 1965 di LIPI, Jakarta 18-19 September 2015.
Ia menjelaskan setelah pembentukkan The Haraguchi Memorial Asia Research Fund, Waseda University, Tokyo, Jepang melakukan sebuah penelitian bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sehubungan dengan peristiwa 1965 tersebut.
“Sebuah tim riset dipimpin oleh DR Ken’ichi Goto dari Institute of Asia-Pacific Studies, Waseda University, di Jepang mengadakan penelitian ‘The September 30 Incident in the International Relations of Asia-Pacific’. Tim melakukan wawancara dengan orang-orang yang terlibat dan menjadi korban dalam peristiwa 1965. Hasilnya sudah kami paparkan dalam dua konferensi ilmiah di Jepang,” jelasnya.
Direktur Pusat Studi Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),DR. Adriana Elisabeth mengatakan bahwa dokumen yang dipresentasikan berasal dari penelitian selama 4 tahun di Waseda University, Jepang.
“Tragedi 1965 adalah momen penting untuk memotret G30S dengan gambar yang lebih lengkap. Dibalik faktor-faktor domestik peristiwa itu tidak terlepas dari konflik perang dingin dan kepentingan negara-negara asing,” ujarnya.
Ia mengatakan bahwa dengan memperingati 50 tahun tragedi 1965 yang secara drastis merubah peta politik ekonomi dan kebudayaan di Indonesia, maka masyarakat Indonesia dan internasional akan mendapatkan gambaran lebih jelas bahwa persitiwa itu berdampak bukan hanya pada Indonesia tapi pada negara-negara di asia timur seperti China, Taiwan dan Korea Utara.
Dampak langsung dari tragedi 1965 adalah pemutusan hubungan diplomatik oleh Indonesia dengan RRC pada tahun 1967 karena RRC dituduh menyiapkan dukungan amunisi pada G30S, yang sampai saat ini tidak terbukti.
“Namun kalau tidak terbukti mengapa Indonesia memutuskan hubungan diplomatik yang lama dengan RRC. Bagaimana peran Jepang, China dan Taiwan? Bagaimana reaksi Korea Utara? Apa yang terjadi di Pilipina dan Borneo Utara saat itu? Bagaimana peran akademisi seperti Nugroho Notosusanto, Guy Pauker and Clifford Geertz?” ujarnya kepada Bergelora.com.
Ia menjelaskan bahwa, simposium di Jakarta ini adalah bagian dari seminar-seminar internasional di Australia dan Eropa yang lain. Pada 17 September 2015 in Canberra, Australian Institute of International Affairs melaksanakan konferensi Internasional dengan tema ‘1965 and the Indonesian Coup Fifty Years On’. Pada 1-2 October, 2015 the NIOD Institute for War, Holocaust and Genocide Studies, KITLV dan The University of California-Los Angeles di Amsterdam melakukan internasional simposium ‘1965 today: Living with the Indonesian Massacres’.
Lebih penting lagi menurutnya, bagaimana tragedi 1965 dilihat dari politik indonesia saat ini. Pidato Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya rekonsiliasi nasional. “Bagaimanapun juga rekonsiliasi membutuhkan proses pengungkapan. Simposium ini adalah untuk membuka kebenaran,” tegasnya. (Irine Gayatri)