JAKARTA- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, realisasi investasi pada semester I-2025 ini mencapai US$ 13,9 miliar atau Rp 225,1 triliun (kurs Rp16.200 per US$). Realisasi ini naik dibandingkan dengan semester I-2024 yang hanya mencapai US$ 11,2 miliar.
Capian investasi itu didukung oleh sektor minyak dan gas bumi (migas) yang mencapai US$ 8,1 miliar, kemudian mineral dan batu bara (minerba) US$ 3,1 miliar, EBTKE US$ 0,8 miliar dan ketenagalistrikan US$ 1,9 miliar.
“Realisasi investasi sektor ESDM pada Semester I 2025 mencapai US$ 13,9 miliar, naik sekitar 24,1% dari periode yang sama tahun sebelumnya dan terbesar dalam lima tahun terakhir,” ungkap Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia dalam paparannya, Senin (11/8/2025).
“Kebanyakan di sektor minerba dan migas, hampir Rp 200 triliun lah (investasi) di bidang ESDM,” tambah Bahlil.
Selain investasi, realisasi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor ESDM pada semester I-2025 juga mengalami kenaikan, atau mencapai US$ 138,8 triliun. Artinya sudah mencapai 54,5% dari target PNBP tahun 2025 mencapai Rp 254,5 triliun.
Dari capaian itu, realisasi terbesar disumbang oleh sektor mineral dan batu bara (minerba) yang mencapai Rp74,2 triliun, kemudian sektor minyak dan gas bumi (migas) yang mencapai Rp 57,3 triliun.
Adapun untuk sektor Energi Baru dan Terbarukan (EBT) menyumbang Rp 1,09 triliun dan sektor lainnya mencapai Rp 6,2 triliun.
“Jadi bayangkan total APBN, 10-12% target penerimaan negara dari sektor ESDM, itu PNBP tok belum lagi soal pajak, PPh badan bisa lebih dari ini. ESDM ini kunci dari mana negara bisa menjalankan pendapatan sekilgus menjalankan amanat pasal 33,” ungkap Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dalam Konfrensi Pers, Senin (11/8/2025)
PHK Melejit 32% di Semester I/2025
Sementara itu kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan sebelumnya, pasar tenaga kerja Tanah Air menghadapi guncangan yang sulit pada paruh pertama tahun ini. Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terpantau melejit lebih dari 30%, paling tinggi terjadi di Jawa Tengah.

Berdasarkan data dari Satudata Kementerian Ketenagakerjaan, sepanjang Januari hingga Juni 2025, tercatat ada 42.385 pekerja yang mengalami PHK. Angka ini melonjak 32,19% dibanding periode yang sama tahun lalu yang sebanyak 32.064 orang.
Adapun berikut 10 provinsi dengan jumlah PHK tertinggi pada paruh pertama tahun ini :
Kemenaker saat ini tengah melakukan kajian untuk menelusuri penyebab meningkatnya PHK di beberapa wilayah, termasuk sektor industri yang paling terdampak. Evaluasi ini menjadi acuan dalam menyusun kebijakan intervensi, baik dari sisi perlindungan maupun penciptaan lapangan kerja.
Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menegaskan bahwa pemerintah terus memantau secara aktif tren pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai daerah. Upaya ini dilakukan untuk merespons lonjakan kasus yang terjadi sejak awal tahun.
“Pemantauan dilakukan secara bulanan. Kami sudah memiliki sistem pelaporan rutin yang dikelola oleh Barenbang Kemenaker,” ujar Yassierli saat meninjau penyaluran Bantuan Subsidi Upah (BSU) di Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (26/7/2025).
Menurut dia, pendataan ini menjadi dasar untuk memetakan wilayah yang paling terdampak serta sektor industri yang mengalami tekanan signifikan. Informasi tersebut akan menjadi bahan utama dalam perumusan kebijakan ketenagakerjaan yang lebih tepat sasaran.
Yassierli juga menyoroti pentingnya perlindungan sosial bagi pekerja yang terdampak PHK. Salah satunya melalui program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), yang memungkinkan pekerja tetap memperoleh 60% dari gaji selama enam bulan, dengan syarat mereka telah terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan.
“Kita punya JKP, jadi teman-teman yang terkena PHK masih bisa mendapatkan manfaat asalkan sudah terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan,” tegasnya. (Calvin G. Eben-Haezer)