Oleh: Toga Tambunan
KUBACA belum lama berselang, percakapan mahasiswa atas seorang mbok tua yang hidup sederhana, seingatku dari kulakan makanan gudeg, pecal dan asupan pelengkapnya, dapat menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi.

Anaknya kuliah di ITB, Universitas Gajahmada. Ada yang studi paska sarjana. Dan sudah ada pula yang selesai, alumni perguruan tinggi negeri papan atas di negeri kita ini.
Wawancara seingatku antara lain sebagai berikut.
Mahasiswa: Mbok sendiri membiayai anak-anak dengan jual gudeg ini?
Mbok tua itu mengiyakan. “Inggih” Mahasiswa itu heran. Mbok tua itupun turut heran kepada penanya.
Mahasiswa: Piye mbok bayare uang kuliah?
Mbok tua: Naliko tagihan teko, bayar. (Jika tagihan datang, bayar)
Mahasiswa itu sejak semula sudah heran dan makin penasaran jawaban mbok tua itu enteng sekali tanpa rasa beban.
Mahasiswa: Apakah mbok tidak mengalami masaalah?
Mbok tua: Kulo boten ngartos jenenge masalah. Opo iku?
Mahasiswa: Masalah itu contohnya, jika duit bayar kuliah nggak ada, kepiye sampayen?
Mbok tua: Oh itu toh masaalah. Kuberi tahu masaalah Gusti Allah. Kulo dapat duit dan kuterima. Yah, begitu saja.
Itu bukan kisah tapi cerita sungguhan interaksi si mahasiswa yang sedang melakukan penelitian kondisi sosial pedagang, a.l mbok tua itu di Beringhardjo Jogyakarta,
Mbok tua yang hidup secukupnya itu, sikapnya intim tulus taat pada Gusti Allah sejak dari pikiran dan perasaannya.
Sikap hidup mbok tua itu baku tolak sikap Lucifer sang Bintang Timur terhadap Penciptanya. Yesaya mendiskripsikan pada pasal 14:9 “Dunia orang mati yang di bawah gemetar untuk menyongsong kedatanganmu, dijagakannya arwah-arwah bagimu, yaitu semua bekas pemimpin di bumi; semua bekas raja bangsa-bangsa dibangunkannya dari takhta mereka.”
13 “Engkau yang tadinya berkata dalam hatimu: Aku hendak naik ke langit, aku hendak mendirikan takhtaku mengatasi bintang-bintang Allah, dan aku hendak duduk di atas bukit pertemuan, jauh di sebelah utara.”
14. “Aku hendak naik mengatasi ketinggian awan-awan, hendak menyamai Yang Mahatinggi_ !”

Ayat 14 itu menjelaskan, Lucifer yang tidak puas dikaruniai posisi tinggi, merakit kemauan sombong dalam hati dan pikirannya atau perasaan dan pikirannya. Niat sombong itu orisinil bangkit oleh dirinya yang tidak puas. Bukan format dari atau disetujui Penciptanya.
Sombong ketidak-puasan itulah pangkalan tindak Lucifer berseteru (kontradiksi) pertama kali terhadap Penciptanya. Kontradiksi itulah dan antagonistik pula kesatu kali terjadi di jagat raya ciptaan Pencipta. Itulah Konstradiksi Prima: serangkaian respon Elohim Jahweh membinasakan Lucifer yang berlangsung antagonistik (hingga binasa).

Adam dan Hawa petugas kedaulatan Elohim Jahweh berkemauan bebas hanya tahu berbuat benar dan baik untuk proyek yang diembannya dari Elohim Jahweh seperti pada Kejadian 2:28. “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu”,
“berkuasalah tas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.”
Dengan tehnik tipu muslihat julig Lucifer mengkloning kemauannya (baca : dirinya) pada tubuh bios Hawa dan tubuh bios Adam secara sistimatis, diproses kuantitatif (sedikit demi sedikit) yang semula manusia Allah, berubah, sehingga tahap kualitatif (total berubah) jadi manusia ingkar Allah. Proyek julig Lucifer berhasil atas bios (jasmaniah/lahiriah) Adam dan Hawa, seraya terus menginjeksi arogansi itu ke dalam zoe (batin/roh) mereka.
Dan Hawa lebih dulu goyah pendiriannya atas kedaulatan Pencipta. Hawa, petik buah terlarang. Sesaat makan buah terlarang itulah puncak pengingkarannya atau pemberontakannya terhadap kedaulatan Elohim Jahweh. Kondisi dan status manusia Allah pada kepribadian Adam dan Hawa telah runtuh dan berganti tipikal keluciferan. Kemuliaan Elohim Jahweh keluar dari diri mereka.

Berproses kuantitatif hingga kualitatif itu mungkin dalam masa puluhan atau mungkin ratusan tahun.
Adam dan Hawa semula, telah mati. Artinya mereka terpisah dan tidak lagi anggota keluarga dari Kerajaan Elohim Jahweh. Keturunan Adam dan Hawa terjerat iblis penguasa kerajaan di angkasa. Perkara itu diformulasi Rohkudus via Rasul Paulus yang menulis dalam Efesus 2:1-2
“Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu. Kamu hidup di dalamnya, karena kamu mengikuti jalan dunia ini, karena kamu mentaati penguasa kerajaan angkasa, yaitu roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka.”
Sebagaimana disebut diatas, dari zoe manusia, telah keluar kemuliaan Penciptanya. Tinggal bekasnya saja.
Meski demikian, bekasnya kemuliaan Penciptanya ini senantiasa berperan dalam diri manusia yang mau menghampiri Sang Pencipta. Itulah yang dialami mbok tua pengkulak makanan sederhana di Pasar Beringharjo, Jogyakarta itu.

Rasa sombong itu materi universal laten dalam diri tiap manusia. Barangsiapa pun anda atau kita, apapun ras atau suku, apapun agama dan keyakinan, tatkala seseorang berbuat bukan kehendakNya Elohim Jahweh, aksi itu otentik dirangsang darah sombong di pikiran perasaan anda/kita.
Pernah dalam kebaktian kudengar pendeta mengatakan jika sering kaitkan kondisi manusia dengan tunjuk hidung kejahatannya Lucifer, akan justru membesar-agungkan Lucifer itu. Lebih tepat mendiamkan saja kisahnya, dan cukup menuturkan keselamatan manusia oleh karya agung penebusan Tuhan Yesus, yang didesain Elohim Jahweh.

Pendeta itu salah. Juga kita wajib beberkan luas tegas tipu muslihat proyek Lucifer, sehingga seseorang bangkit hapuskan sombong laten dari jasmani dan batinnya.
Dalam keseharian postur sombong itu nampak berupa hasrat tinggi hati, congkak, angkuh, greget kepentingannya dioke saja, berhati paksakan pendapat, egois, individualis, arogan dan semacamnya. Peradaban manusia telah mematerilkan hasrat tersebut diberbagai kreasi brutal, bahkan bertehnologi ekstrem super mendunia.

Beragam tak terhitung ajang persaingan atau kompetisi menetapkan juara. Di bidang olahraga, kepandaian murid sekolah, seni, ilmu, pengetahuan, legislatie, eksekutif, judisial, dan sebagainya diselenggarakan lomba persaingan atau kompetisi mencari nomor teratas dan otomatis merendahkan lainnya. Bukankah peradaban dunia survival for the fittes? Tiap nyawa masuk persaingan bermotif rebut posisi tertinggi. Yang menang cocok lanjut hidup. Hari minggu ini 20 November 2022 mulai berlangsung pesta pora Pertandingan Sepakbola Piala Dunia FIFA di Qatar, hingga 18 Desember 2022.
Peradaban bersaing lestarikan (kian latenkan) keegoisan; demikianlah lumrah berlangsung dalam keseharian hidup manusia. Diabsorsi di semua sektor, sehingga aneh jika digugat. Misalnya, apa sih salahnya diadakan lomba siswa terunggul? Begitu juga untuk persaingan lainnya.

Secara tehnis tidak ada salahnya peringkat itu, asalkan bukan bermotif kesombongan.
Tidak salah ajang heboh semarak piala dunia bola, asalkan motifnya tingkatkan kesehatan manusia dan merekatkan persahabatan sesama tanpa merendahkan kesebelasan yang tehnis kalah skor pertandingan.
Di bidang lainnya, kesebelasan kalah itu, misalnya hal moral bermain, mungkin menang dibanding kesebelasan yang tehnis menang skor itu.
Tidak salah berpakaian wah aduhai, asalkan bukan aktualisasi dipandang utama diantara audiens.
Simpan harta kekayaan makin banyak, silahkan cari sebanyak-banyaknya, asalkan motifnya bukan demi kecongkakan, atau pacu tinggi harga diri,– melainkan untuk mensejahterakan sesama, menyenangkan Elohim Jahweh.
Segala sesuatu berguna halal asalkan bukan sombong
Materi sombong dalam perasaan dan pikiran berbeda dari materi perbuatan arogan. Perbuatan arogan output rasa sombong. Rasa sombong masih status potensi berdosa. Perbuatan arogan itu adalah dosa.
Tuhan Yesus telah mengampuni dosa manusia dengan memikul tanggung jawabnya yakni,–semua materi yang tak berkenaan bagi Elohim Jahweh atau perbuatan dosa,– manusia itu, hingga terpaku mati di kayu salib.
Dosa manusia siapa pun, apa pun agama dan keyakinannya, ideologi, dosa dulu, kini maupun nanti, betapa pun durjananya, sesegra hapus bila diserahkan padaNya, asalkan tidak pernah menghujat Rohkudus. Maka itu serahkan dosamu kepadaNya.
Gimana halnya niat atau potensi berdosa? Tidak pernah disebutkan mengampuni kesalahan atau dosa yang berupa kemauan niat, hasrat, motif kehendak atau potensi berdosa
Potensi (berbuat) dosa ini, sebagaimana terungkap pada jiwa Kain: “Firman TUHAN kepada Kain: “Mengapa hatimu panas dan mukamu muram ?Apakah mukamu tidak akan berseri, jika engkau berbuat baik? Tetapi jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya.” (Kejadian 4:6-7)
Pengadilan Tuhan Yesus pada periode penghakiman akhir zaman, apakah mengadili dosa (materil dan perbuatan) yang sudah hapus terampuni? Tentu tidak. Yang diperiksa dan diadili pastilah yang belum pernah diampuni, yakni potensi berbuat dosa yakni sombong. Sombong itu laten. Akibatnya martabat manusia, tidak lagi serupa dengan Penciptanya.
Kesombongan individu, keluarga, marga, suku, ras, bangsa, negara, ide, agama, politik, hukum masing-masing penyebabkan malapetaka.
Misalnya, penyebab adik kakak saling memaki; penyebab pertikaian keluarga karena satu pihak memaksa miliki warisan; adat marga ditancapkan pada tradisi marga lain.
Perang ekspedisi Palapa dipandu Gajah Mada; peperangan dinasti di Tiongkok kuno; pembantaian warga asli oleh pendatang Eropah di Amerika; lenyapnya bahasa asli di benua Amerika Selatan oleh penjajah berbahasa Spanyol; kebengisan inquisisi oleh aktivis agama Kristen di masa lalu; perang Karbala; perang Andalusia; kapitalisme menebar permusuhan dengan Glory, Gold, Gospel; PD Satu; PD Dua; perang penghisap kapitalis atas kaum proletar mengesahkan musuh dan kesenjangan; Penjajahan Belanda atas nusantara; Genosida atas Jahudi oleh Nazi; perjuangan bersenjata klas marginal atas imperialisme melestarikan perang; Perang 6 Hari Israel vs Arab; Holocaust tragedi kemanusian 65 masa rezim Soeharto; Agresi Barat atas Libya (Khadaffi); Agresi atas rezim Saddam Husein, Perang atas Taliban di Afganistan; Terror & horror atasnama keyakinan antara lain di Siria, Irak; perlombaan alutsista nuklir; Perang di Ukraina 2022; Penguasa dan pengusaha korupsi merajela.
Daftar catatan malapetaka itu dengan mudah diperpanjang sangkin luas dan massif kejahatan produk sombong itu. Dan berikutnya malapetaka itu akan merebak lebih mengerikan lagi selama manusia memelihara penyakit atau kuman sombong laten itu.
Kuman sombong hanya lenyap jika manusia siempunya, membuang atau menghapuskannya sendiri. Ketahuilah, bukan asal sekadarnya difirmankan: “Setiap orang yang mengikut Aku, harus menyangkal dirinya…….”
Menanggalkan kesombongan itu atau tidak, putusan kemauan bebas anda sendiri, tidak paksaan Elohim Jahweh. Seperti teguran pada Kain : “…. tetapi engkau harus berkuasa atasnya”
Camkan! Kesombongan dibiarkan Elohim Jahweh menjadi tanggung jawab individu, anda hapuskan atau pun tidak. Sampai tiba saatnya pengadilan Elohim Jahweh menseleksi ummatnya.
Selamat hari minggu!
* Penulis Toga Tambunan, Evangelis Gereja HKBP