JAKARTA- Melalui Indeks Kota Toleran, SETARA Institute menemukan beberapa permasalahan penting yang secara substantif menghambat pemajuan toleransi Indonesia. Kesimpulan ini disampaikan dalam pers rilisnya kepada Bergelora.com di Jakarta, Rabu (30/3).
Rilis itu menjelaskan di tatanan sosial-masyarakat, ditemukan 4 (empat)
faktor, yakni (1) Penyempitan ruang perjumpaan yang diakibatkan oleh
segregasi sosial; (2) Rendahnya literasi tentang identitas internal dan
eksternal antar warga sehingga menyebabkan terjadinya begitu banyak
penyangkalan dan penolakan terhadap eksistensi kelompok lain; (3)
Penguatan konservatisme dan (4) Penguatan kapasitas koersif warga.
Di tataran tata kelola pemerintahan, terdapat 3 (tiga) faktor utama, meliputi (1) keberadaan produk hukum diskriminatif; (2) Persoalan kapasitas aparatur negara dan (3) Penegakan hukum.
Melalui evaluasi penyelenggaraan IKT sejak 2015 sampai dengan 2021,
pemajuan toleransi di beberapa kota yang berhasil memperbaiki posisi rangking dari rendah ke tinggi, secara umum dipengaruhi oleh hal-hal berikut:
1. Kualifikasi kepemimpinan. Walikota yang memiliki tingkat kesadaran akan wawasan kebangsaan, kemajemukan dan kebhinekaan cenderung mengutamakan dialog dan pendekatan kebersamaan antar umat beragama.
Visi, misi, RPJMD sampai dengan Indikator Kinerja kota yang dipimpin oleh Walikota-walikota dengan kapasitas kebhinekaan selalu memasukkan program dan kegiatan kerukunan ke dalam program prioritas kota.
Kearifan lokal dan budaya. Daerah-daerah kota yang masih menjunjung tinggi warisan kearifan lokal dan melestarikannya ke dalam tradisi kehidupan sehari-hari cenderung tidak memiliki problematika intoleransi.
Kearifan lokal dan budaya yang hidup di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat menjadi daya resiliensi sekaligus deteksi dini masyarakat terhadap letupan-letupan intoleransi.
3. Forum kerukunan, kebangsaan dan organisasi pemuda yang terbuka
dengan dialog dan terfasilitasi dengan baik menjadi salah satu faktor
penjaga toleransi.
Forum-forum semacam ini membangkitkan dinamika masyarakat sipil dalam menghadapi kejadian-kejadian intoleran di masyarakat.
Kampanye dan narasi kebangsaan yang diserukan secara terus menerus melalui forum-forum masyarakat sipil mampu mencegah peristiwa intoleransi berkembang lebih besar.
4. Tata kelola pemerintahan yang inklusif, mengampu berbagai faktor, seperti perlindungan perempuan, kota ramah anak, fasilitasi perayaan ibadah, ruang-ruang dialog, kampung religi, kampung toleransi,
memberikan inspirasi masyarakat kota untuk mempertahankan dan melestarikan toleransi.
Tata kelola pemerintahan yang inklusif membangun hubungan komunikasi antara warga dan merekayasa situasi sosial untuk saling berinteraksi satu dengan lainnya.
Merujuk pada temuan di atas, SETARA Institute merekomendasikan langkah
pemajuan toleransi sebagai berikut: 1. Peningkatan kapasitas kerukunan dan kebangsaan bagi calon Pimpinan Daerah yang diinisiasi oleh Partai Politik dan atau instansi berwenang atas Pemilihan Umum Daerah seperti KPU atau instansi pengelola
otonomi daerah seperti Kemendagri dan atau instansi penguatan wawasan kebangsaan seperti BPIP;
2. Penerbitan regulasi penganggaran pada RPJMD yang mewajibkan 2 sampai dengan 5 persen dari total anggaran daerah untuk
menyelenggarakan kegiatan penguatan kerukunan seperti dialog, ruang publik, fasilitasi perayaan ibadah dan sejenisnya;
3. Penyelenggaraan magang lintas daerah bagi aparatur, sebagai bentuk penguatan kapasitas diri dan proses pembelajaran dalam melihat proses pemajuan toleransi dan kerukunan dari berbagai daerah.
4. Pengarusutamaan tata kelola inklusif yang mendukung terwujudnya
kesetaraan, partisipasi, dan toleransi dengan menciptakan lingkungan
keterlibatan, rasa hormat dan koneksi dari berbagai kelompok, melibatkan kekuatan yang beragam dari perbedaan etnis, agama dan budaya, gender, serta memberdayakan masyarakat yang terpinggirkan
dan marjinal.
Penyelenggaraan tata kelola pemerintahan inklusif adalah penyelenggaraan program serta kegiatan oleh pemerintah daerah yang menjamin partisipasi, keadilan, kesetaraan dan martabat melekat, nondiskriminasi, perlindungan atas kebebasan di ruang publik, kebebasan
beragama/ berkeyakinan di dalam setiap kehidupan berbangsa dan bernegara
Halili Hasan, Direktur Riset SETARA menjelaskan Laporan Indeks Kota Toleran (IKT) 2021 merupakan hasil pengukuran yang dilakukan SETARA Institute untuk mempromosikan praktik-praktik toleransi
terbaik kota-kota di Indonesia. Indeks Kota Toleran 2021 merupakan laporan kelima SETARA Institute sejak tahun 2015, 2017, 2018 dan 2020.
IKT ditujukan untuk memberikan baseline dan status kinerja pemerintah kota dalam mengelola kerukunan, toleransi, wawasan kebangsaan dan inklusi sosial.
“Baseline ini akan menjadi pengetahuan bagi masyarakat dan dunia tentang kondisi toleransi di 94 kota di Indonesia,” katanya.
Pengukuran yang dilakukan SETARA Institute dalam Indeks Kota Toleran
mengombinasikan paradigma hak konstitusional warga, sesuai jaminan konstitusi, dan hak asasi manusia, sesuai dengan standar hukum HAM internasional, khususnya hak sipil dan politik. Studi ini ditujukan untuk mempromosikan pembangunan dan pembinaan ruang-ruang toleransi di kota yang dilakukan oleh pemerintah kota setempat dan/atau didukung serta berkolaborasi bersama elemen masyarakat secara umum.
“Objek kajian IKT adalah 94 kota dari total 98 kota di seluruh Indonesia. 4 kota yang dieliminir merupakan kota-kota administrasi di DKI Jakarta yang digabungkan menjadi 1 (satu) DKI Jakarta,” jelasnya.
10 Kota Skor Tertinggi
Iif Fikriyati Ihsani, Peneliti SETARA Institute menjelaskan hasil skoring indexing untuk 10 (sepuluh) kota skor toleransi tertinggi dan intoleransi tertinggi sebagai berikut:
(Web Warouw)