JAKARTA — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkap akar persoalan tingginya impor LPG nasional yang mencapai 7,2 juta ton per tahun. Ia menyebut kondisi ini terjadi karena ketidaksesuaian spesifikasi gas alam di dalam negeri yang sebagian besar belum bisa dijadikan bahan baku liquefied petroleum gas (LPG).
Menurut Bahlil, konsumsi LPG Indonesia saat ini mencapai 8,5 juta ton per tahun. Namun, kapasitas produksi nasional baru sekitar 1,3 juta ton sehingga selisih kebutuhan tersebut harus dipenuhi melalui impor.
“Nah, problem kita adalah LPG. Konsumsinya 8,5 juta ton per tahun, sementara produksi kita hanya 1,3 juta ton. Jadi kita impor 7,2 juta ton. Kenapa kita impor? Karena gas kita itu speknya C1, C2 yang tidak bisa dijadikan bahan baku untuk LPG,” kata Bahlil dikutip Bergelora.com di Jakarta, Jumat (31/10/2025).
Ia menjelaskan, sebagian besar cadangan gas Indonesia masih didominasi metana (C1) dan etana (C2). Kedua jenis gas tersebut tidak dapat langsung digunakan untuk menghasilkan LPG. Karena itu, pemerintah kini mendorong pengembangan gas propana (C3) dan butana (C4) yang menjadi bahan utama LPG.
Langkah ini sejalan dengan agenda hilirisasi energi nasional yang menargetkan pemanfaatan maksimal sumber daya dalam negeri. Bahlil menyampaikan, Kementerian ESDM telah menyiapkan rencana percepatan pembangunan fasilitas pengolahan gas berbasis C3 dan C4 di beberapa wilayah produksi.
Pemerintah juga memperkuat program hilirisasi batu bara melalui produksi dimethyl ether (DME) sebagai substitusi LPG. Teknologi DME dinilai mampu mengurangi ketergantungan impor sekaligus menjaga ketahanan energi rumah tangga.
Ia menegaskan, pengembangan DME merupakan bagian dari strategi besar kemandirian energi nasional. Pemerintah menilai langkah ini lebih efisien dibandingkan mempertahankan skema impor jangka panjang.
Bahlil mengatakan, strategi penguatan energi nasional dilakukan secara menyeluruh dengan menyeimbangkan antara energi fosil, bioenergi, dan energi baru terbarukan. Ia memastikan arah kebijakan sektor ESDM di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tetap berpijak pada kedaulatan dan kepentingan rakyat.
18 Proyek Hilirisasi Tinggal Eksekusi
Bahlil mengatakan 18 proyek hilirisasi yang diajukan kepada Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) sudah melalui tahap studi kelayakan (feasibility study/FS) dan tinggal eksekusi.
“Pra-FSnya sudah, sekarang FS sudah putus di atas, sekarang tinggal eksekusi,” ucap Bahlil.
Sekitar 75 persen dari 18 proyek tersebut, lanjut dia, merupakan proyek hilirisasi di sektor energi dan sumber daya mineral. Bahlil menyampaikan hilirisasi merupakan pemantik pertumbuhan ekonomi dan harus dikelola dengan baik dan berkelanjutan.
“Harus ada lingkungan yang memadai. Hal-hal ini yang menjadi fokus kami di ESDM,” ucapnya.
Menurut dia, tanpa hilirisasi dan industrialisasi, Indonesia akan terjebak sebagai negara berkembang. Menurut Bahlil, tidak ada negara berkembang yang menjadi negara maju tanpa melakukan industrialisasi dan hilirisasi dari sumber daya alamnya.
“Kalau tidak (hilirisasi), kita menjadi negara kutukan sumber daya alam,” kata dia.
Ia mencontohkan ketika Indonesia mengekspor nikel pada 2017–2018, nilai ekspornya hanya menyentuh angka 3,3 miliar dolar AS. Setelah Indonesia melarang ekspor nikel pada 2020 untuk melakukan hilirisasi, nilai ekspor produk turunan nikel pun meningkat.
“Pada 2023–2024, begitu kita membangun hilirisasi, itu ekspor kita sudah mencapai 34 miliar dolar AS,” ucapnya.
Bahlil juga merasa kehadiran Danantara sebagai badan pengelola investasi membantu kelancaran pembiayaan-pembiayaan proyek hilirisasi yang diharapkan mendorong pertumbuhan ekonomi di dalam negeri.
“Alhamdulillah Pak Presiden Prabowo Subianto punya komitmen untuk membangun Danantara. Sekarang, semuanya dibiayai oleh Danantara,” kata Bahlil.
Sebelumnya, dalam acara bertajuk, “Penyerahan Dokumen Pra-Studi Kelayakan Proyek Prioritas Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional”, Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional menyerahkan daftar 18 proyek prioritas hilirisasi dan ketahanan energi kepada Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara).
Sebanyak 18 proyek hilirisasi itu terdiri atas delapan proyek hilirisasi di sektor mineral dan batu bara, dua proyek transisi energi, dua proyek ketahanan energi, tiga proyek hilirisasi pertanian, dan tiga proyek hilirisasi kelautan dan perikanan.
Adapun salah satu prioritas pengerjaan studi kelayakan proyek hilirisasi ini yaitu terkait dimethyl ether (DME), karena dinilai ada kebutuhan bagi Indonesia untuk mengurangi impor LPG. (Web Warouw)

