JAKARTA – Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengungkapkan bahwa pertemuan antara Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo akan sulit terwujud. Hasto mengaku mendapat aspirasi dari banyak pengurus anak ranting dan ranting PDI-P yang meminta agar Megawati tidak bertemu dengan Jokowi.
“Kalau (bertemu) dengan Pak Jokowi, kan ranting dan anak ranting yang banyak berbicara, jadi pertemuannya itu akan sulit terjadi kalau antara ibu dan Pak Jokowi, ada pagar-pagar yang membatasi,” kata Hasto dalam program Gaspol! Kompas.com, Kamis (25/4/2024).
Hasto mengatakan, munculnya pagar-pagar yang membatasi itu muncul bukan karena pribadi Megawati maupun PDI-P, tapi karena pertimbangan konstitusi dan demokrasi.
Ia menyoroti praktik penyalahgunaan kekuasaan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang menurutnya membuat orang-orang berintegritas dan bermodalkan kompetensi tidak berani maju di kontestasi mendatang. Hasto juga menyinggung sikap Jokowi yang tiba-tiba berbalik arah dari PDI-P setelah 23 tahun menjadi kader berlambang banteng tersebut.
“Selama 23 tahun tiba-tiba setelah menjadi orang, berubah karena kekuasaan, itu kan kita juga punya rasa juga. Tapi kita bergerak kan bukan karena rasa, bagi kami kan pertimbangaan bangsa dan negara, dampak dari abuse of power tadi,” kata Hasto.
Ia melanjutkan, PDI-P mendengarkan aspirasi pengurus akar rumput karena dianggap lebih jernih dalam melihat dinamika politik, berbeda dengan kalangan elite yang memikirkan timbal balik atas sebuah peristiwa. Oleh sebab itu, Megawati selalu mengingatkan kader-kader PDI-P untuk terus turun ke bawah dan mendengarkan suara akar rumput.
“Sehingga tidak ada gap antara apa yang diputuskan elite dengan apa yang disampaikan ke bawah, itu yang kemarin terjadi ketika ada muncul wacana pertemuan antara Ibu Mega dan Pak Jokowi, anak ranting dan ranting yang justru mengambil sikap,” kata Hasto.
Oposisi atau Koalisi?
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, ia juga memberikan sinyal bahwa PDI-P akan mengumumkan sikapnya, oposisi atau koalisi, setelah Prabowo Subianto menjabat sebagai presiden.
Hasto menekankan, sejauh ini PDI-P masih mengkaji beragam pertimbangan sebelum memutuskan bergabung atau tidak bergabung ke pemerintahan Prabowo kelak.
“Toh nanti akan tiba waktunya untuk berbicara setelah pemerintahan ini terbentuk, apakah mau masuk di dalam pemerintahan atau di luar pemerintahan, akan dikaji lebih mendalam,” kata Hasto.
Hasto mengatakan, sikap politik tersebut bisa saja diputuskan pada kongres PDI-P yang rencananya digelar pada April 2025 mendatang. Hal ini berkaca dari sejarah di mana PDI-P mengumumkan sikapnya menjadi oposisi pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui forum kongres. Namun, Hasto juga tidak menutup kemungkinan bahwa rapat kerja nasional (rakernas) PDI-P pada Mei 2024 mendatang dijadikan forum untuk mengambil keputusan terkait posisi politik.
“Kalau secara empiris, 2004-2009 diputuskan di kongres, apakah sekarang mau diputuskan di dalam rakernas atau di dalam kongres, nanti kita bisa lihat dinamika politik yang ada,” ujar dia.
Hasto menegaskan, sikap politik PDI-P itu harus melalui pertimbangan strategis bagi kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Ia mengaku menerima aspirasi yang meminta PDI-P berada di luar pemerintahan demi menjalankan sistem check and balances, tapi yang menginginkan PDI-P di dalam pemerintahan untuk mengawal pemerintahan juga didengarkan.
Hasto juga menekankan bahwa aspek ideologis menjadi salah satu pertimbangan penting dalam menentukan sikap, ketimbang soal pembagian kursi di kabinet semata.
Namun demikian, Hasto mengeklaim, PDI-P kini fokus untuk melakukan evaluasi internal, menyiapkan agenda-agenda partai seperti rakernas, pilkada, dan kongres, serta memitigasi potensi terjadinya krisis.
“Skala prioritas sekarang bagi PDI sebagai partai yang berasal dari rakyat adalah mencermati terhadap berbagai potensi-potensi krisis untuk kita mitigasi agar tidak terjadi karena jangan sampai rakyat menjadi korban,” kata dia. (Web Warouw)