Minggu, 20 April 2025

Masyarakat Bali Siapkan Rekonsiliasi

JAKARTA- Rekonsiliasi nasional untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat 1965 masih sulit untuk diwujudkan karena masih ada orang yang tidak menginginkan pengungkapan kebenaran untuk pelurusan sejarah. Sebaliknya ada orang-orang tertentu yang masih terus mengadu domba rakyat, agar kebenaran tidak terungkap dan menggagalkan rekonsiliasi nasional. Untuk itu masyarakat di Pulau Bali akan menyusun rekonsiliasi dikalangan rakyat pulau dewata sendiri. Hal ini disampaikan oleh putra almarhum mantan Gubernur Bali, Anak Agung Bagus Sutedja, Anak Agung Gde Agung dari Jembrana, Bali kepada Bergelora.com, Rabu (7/10) ketika ditanyakan tentang penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat 1965.

“Mari bersama berada di garda terdepan menyusun sejarah berbasis fakta non- rekayasa,” ujarnya.

Menurutnya, sejarah adalah catatan plus minus perjalanan setiap pribadi, bangsa dan negara yang mutlak hukumnya pantang direkayasa apalagi dipelintir untuk kepentingan segelintir orang.

“Oleh karena itu sejarah menuntut pelurusan berbasiskan fakta non-artifisial yang bisa membingungkan masyarakat kemudian mengaburkan jatidiri,” jelasnya.

Ia menjelaskan bahwa saat ini rakyat Bali lebih memiliki kesadaran untuk membangun rekonsiliasi untuk membangun kembali sejarah peradaban manusia Bali yang diwarisi leluhur.

“Tidak susah bagi rakyat Bali untuk segera melaksanakan rekonsiliasi berbasiskan kejujuran,” katanya.

Ia menjelaskan bahwa mayoritas rakyat bali melaksanakan Panca Sradha dimana Sradha ke-3 adalah karmaphala (perbuatan baik versus perbuatan jahat) nyusul ke-4 samsara purnabawa (siapa menabur angin akan menuai badai) menuju ke-5 mokhsa (penyatuan diri dengan Sang Pencipta) yang diawali sradha ke-1 widhi tatwa (belajar masalah ketuhanan) disusul  sradha ke-2 atma tatwa (bahas masalah kemanusiaan).

“Jadi percaya dan yakin sepenuhnya bahwa apapun yang terjadi sudah ditetapkan Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya menjalankan saja ibarat air mengalir. Untuk itu kita harus berbuat terbaik tanpa dendam sehingga hidup (swadharma) menjadi shanti (tenang dan damai) dunia akhirat,” ujarnya.

Oleh karena itu menurutnya, syarat utama untuk menuju rekonsiliasi adalah dengan menghentikan kebohongan yang sudah puluhan tahun menguasai alam pikiran orang Indonesia.

“Dibutuhkan kejujuran dan introspeksi untuk bisa menyadari betapa lemahnya bangsa sehingga terus menerus diadu domba sampai saat ini,” jelasnya.

Sebelumnya, sebuah buku baru terbit berjudul ‘Nasib Para Soekarnois : Kisah Penculikan Gubernur Bali, Sutedja, 1966’. Buku yang ditulis oleh, Aju, seorang wartawan senior Sinar Harapan setebal 200 halaman ini menggambarkan peristiwa penculikan dan pembunuhan Gubernur Bali Sutedja dengan latar belakang pembunuhan massal di pulau dewata itu. Buku yang diterbitkan oleh Yayasan Penghayat keadilan (Justice Fellowship Indonesia) menggambarkan bahwa walaupun bukan anggota PKI, Gubernur Sutedja juga diculik dan dibunuh.

Pembantaian Massal

Pembantaian massal di Bali dicatat paling parah dalam sejarah kekerasan politik di Indonesia, disusul di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Banyak orang yang diculik dan dibawa ke suatu tempat untuk dibunuh. Jumlah korban tewas di Bali diperkirakan sekitar 80.000 hingga 100.000 orang. Ada korban ditangkap dan langsung dibunuh di depan rumahnya sendiri yang disaksikan anak dan istrinya.

Gubernur Bali, Anak Agung Bagus Sutedja diculik di rumah dinasnya di Jakarta 1966 dan hilang sampai saat ini. Selain sebagai Gubernur Bali, dirinya juga menjabat anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Republik Indonesia, Ketua Dewan Perwakilan Rakjat Daerah Gotong Rojong (DPRD – GR) Provinsi Bali, Ketua Front Nasional (FN) Daerah Bali, Anggota Madjelis Permusjawaratan Rakjat Sementara (MPRS) Republik Indonesia, Penguasa Pelaksana Dwi Komando Rakjat Daerah (PEPELRADA) Bali, Anggota Musjawarah Pembantu Perencanaan Pembangunan Nasional (MUPPENAS) Republik Indonesia dan anggota Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Republik Indonesia.

Anak Agung Bagus Sutedja pada tahun 1944, aktif dalam gerakan perjuangan bawah tanah, pemuda pedjuang kemerdekaan di Bali. Pada tahun 1945, ditawan Bala Tentara Kekaisaran Dai Nippon di Negara, 1946 ditawan NICA Belanda di Negara, 1947 ditawan NICA Belanda di Pendjara Denpasar, kemudian menjadi Tahanan Daerah Swapradja (Swapradja Arrest) di Klungkung, Tahanan Rumah (Huis Arrest) di Klungkung. Ia juga aktif dalam Gerakan Perdjuangan Bawah Tanah di Makassar.

Tahun 1948 diadili di Sidang Militer Belanda di Denpasar dan ditahan dalam Penjara Pekambingan di Denpasar. Tahun 1949 sebagai Anggota Parlemen Negara Indonesia Timur (NIT) di Makassar dengan tugas khusus membubarkan NIT dan mengembalikan ke pangkuan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Walaupun sampai saat ini tidak jelas dimana hilangnya, pada 23 Juli 2006 dilakukan Apel Persada Upacara Militer Pemakaman/Plebon di Negara, Ibukota Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali yang dihadiri oleh beberapapejabat negara termasuk Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri.

Dalam buku hasil penelitian Geoffrey Robinson, tahun 2006, Komandan RPKAD Kol (Inf) Sarwo Edhie Wibowo, mengatakan, “Situasi di Bali berbeda dengan di Jawa Tengah. Di Jawa Tengah, saya sibuk mendorong rakyat agar menumpas Gestapu, di Bali, di sisi lain, rakyat sudah menggebu-gebu ingin menumpas Gestapu sampai ke akar-akarnya. Yang penting jangan sampai antusiasme itu disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu, sehingga menimbulkan anarki. Itu yang harus kami cegah.”

Anak Agung Gde Agung berharap pemerintah segeram mempelopori pengungkapan kebenaran dan penegakan keadilan dan rekonsiliasi nasional.

“Walaupun bukan PKI, ayah saya juga diculik dan dibunuh. Dan sampai saat ini tidak ada pemulihan nama baik ayah saya oleh negara,” ujarnya. (Web Warouw)

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru