Oleh : Ubaidillah Achmad
Mbah Nafi, panggilan KH. A. Nafi Abdillah, adalah sosok yang sabar dan mencerahkan dalam mendampingi masyarakat. Sejak Kepergian KH. A. Nafi Abdillah, banyak yang masih merasakan kehadiran Mbah Nafi. Hal ini menunjukkan kehadiran Mbah Nafi telah mengisi jiwa keluarga, santri, masyarakat, dan para jamaah thariqah. Sebagai contoh, sejak kepergian Mbah Nafi, banyak yang mengenang kehadiran Mbah Nafi pada saat memberikan pesan, mengungkapkan makna akhlak para Ulama, dan hikmah menjaga relasi Islam dan kearifan lokal. Kenangan ini, tidak terlepas dari kepribadian beliau yang baik dan santun kepada santri dan lingkungannya.
Â
Ada banyak mutiara hikmah dari ungkapan dan sikap Mbah Nafi, telah mengisi keseimbangan jiwa dan membentuk kepribadian para santri dan masyarakat yang pernah belajar dan menerima pembelajaran beliau. Fenomena ini semakin menguatkan kehadiran Mbah Nafi, adalah kehadiran yang merupakan anugrah bagi santri dan masyarakat yang pernah belajar dengan beliau. Banyak yang merasakan makna hidup setelah melewati filosofi pemahaman Mbah Nafis terhadap relasi suci, antara Allah, manusia, dan alam semesta.
Karenanya, Mbah Nafi tidak hanya sebagai pendamping jiwa dan kepribadian santri, namum juga bagi masyarakatnya. Sebelum menulis tulisan ini, penulis masih terkenang banyak kenangan hikmah kehidupan yang indah dan mencerahkan dari Mbah Nafi, Sungguh terasa masih sangat kurang dan ingin selalu menanti pendampingannya, yang penuh dengan hikmah kehidupan dan prinsip keberagamaan di tengah keberagaman.
Penulis sendiri, sangat menikmati tulisan tentang Mbah Nafi yang ditulis oleh para santri dan keluarga yang pernah memiliki pengalaman indah dan mencerahkan bersamanya. Misalnya, kisah surat salah alamat yang dikirimkan kepada KH. A. Nafi Abdillah, kisah selama proses pembelajaran bersama Kiai Nafi, kisah preman bertaubat memohon bimbingan Mbah Nafi, dan pesan pesan beliau terkait dengan hal hal kecil yang banyak diabaikan kebanyakan orang, namun memiliki fungsi dan manfaat yang sangat penting untuk kelangsungan kebahagiaan pasangan suami dan istri.
Etika Kenabian & Kearifan Lokal
A. Nafi Abdillah sudah menjadi tanda yang menandai adanya penanda kelangsungan risalah kenabian yang berakhir pada risalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Karenenya, tidak berlebihan jika mengaitkan Kiai Nafi dengan perkembangan Islam di tengah zaman kehadirannya, yaitu zaman yang ditandai dengan adanya relasi antara Islam dan Budaya Jawa. Jika zaman Nabi Muhammad nilai Islam dihadapkan pada tradisi arab jahiliyah, maka nilai Islam bersamaan zaman perjuangan Mbah Nafi dihadapkan kepada sosok keragaman masyarakat jawa yang terdiri dari bebagai kepercayaan, agama dan budaya. Tentu saja, jika mengkaji fasisme politik arab jahiliyah berbeda dengan sikap santun masyarakat jawa.
Sebagai sebuah modeling atau uswah hasanah, Nabi Muhammad telah menginspirasi atau memberikan contoh terbaik yang secara langsung telah dipraktekkan oleh KH. A. Nafi Abdillah. Artinya, kondisi arab jahiliyah yang melampaui sikap kewajaran pada umumnya manusia, telah dihadapi Nabi Muhammad dengan sifat berikut: terpercaya, amanah, konsisten pada prisnip etika menyampaikan kebenaran, dan tetap menggunakan ketajaman pemikiran serta naluri bersamaan dengan pancaran cahaya ilahiyah. Keteladanan Nabi Muhammad ini, telah menguatkan kepribadian Mbak Nafi yang santun dan mencerahkan kepada para santri dan masyarakat.
Bagaimana pandangan dan sikap keberagamaan KH. A. Nafi Abdillah terhadap budaya masyarakat? Sebelum menjawab pertanyaan ini sesuai dengan perspektif teori budaya, penulis ingin memaparkan penjelasan Mbah Nafi yang serat dengan perspektif yang mendalam terkait dengan keberagamaan dan kebudayaan. Penjelasan Mbah Nafi ini merupakan penjelasan yang penulis ingat setiap penulis melakukan konsultasi kepada beliau selama enam bulan nyantri di pesantren asuhan Khadratusyekh KH. Abdullah Zain Salam dan KH. A. Nafi Abdillah. Selama nyantri penulis belum banyak mengikuti kajian kitab kuning secara langsung, karena masih mengadaptasikan diri untuk menata diri bagaimana merasakan berjauhan dengan orang tua dan kebahagiaan bisa nyantri di seorang Ulama yang santun, yang shaleh dan memiliki sifat kemuliaan.
Dalam kondisi psikis yang seperti ini, penulis bersyukur kepada Allah dan kepada KH. A. Nafi Abdillah yang membuka kesempatan kepada penulis untuk bisa mendengarkan secara langsung nasehat nasehat beliau yang penuh hikmah kehidupan dan memiliki ketajaman filosofis setiap mengurai prinsip para Ulama Kajen Pati. Tidak banyak yang mencatat sejarah, bahwa Kajen merupakan pesantren besar yang pernah menjadi tujuan utama para santri yang pada akhirnya menjadi ulama ulama besar yang berpengaruh di Organisasi Nahdlatul Ulama. Mbah Nafi merupakan Ulama Kajen yang semasa hidupnya masih tetap gigih menjaga tradisi Ulama Kajen pasca kehadiran Waliyullah Syekh Ahmad Al Mutamakkin.
Berikut ini, beberepa pesan penting terkait dengan perhatian Mbah Nafi terhadap model keberagamaan dan kebudayaan yang sudah berlangsung di lingkungan para leluhur pesantren di Kajen.
Pesan dalam konteks keberagamaan sebagaimana berikut ini: pertama, sebaiknya berbuat kebaikan harus diiringi dengan mencari ridla Allah dan dengan cara etika kenabian (akhlak mahmudah). Kedua, jangan berbuat kebaikan dengan kehendak nafsu, sebab akhirnya akan nista dan mengalami kerugian.
Ketiga, Jika seorang berjuang di jalan Allah menemui masalah atau gesekan dengan pihak yang sama sama berniat baik, maka sebaiknya kembali memperbaharuhi niyat awal dan memperbaharui perkembangan pengetahuan dan pemahaman. Dengan demikian, tidak akan ada benturan konflik dengan pihak pihak yang memiliki tujuan kebaikan yang sama. Dengan demikian, seseorang yang berniyat baik dengan akhlak yang baik, tidak hanya memikirkan pada gesekan atau konflik saja.
Seseorang yang berniyat baik, lebih baik berupaya menyelesaikan masalah secara mandiri, sebagai seorang tokoh agama sebaiknya lebih matang memahami persoalan, baik pribadi maupun dengan lingkungannya. Jika tetap saja persoalan belum kunjung selesai, maka perlu mencari pertimbangan kepada yang lebih berhak, bukan mencari cari teman yang sependapat untuk melawan pihak yang berbeda.
Keempat, jangan menjadikan perbedaan sebagai beban hidup dan sumber kebencian. Karena perbedaan itu bersifat manusiawi, maka setiap perbedaan harus disikapi dengan dewasa dan penuh kearifan untuk mendapatkan hikmah dari perbedaan itu. Dengan demikian, seseorang tidak akan menjadikan perbedaan sebagai sumber konflik yang menambah kebingungan.
Kelima, seorang pendamping santri yang masih belajar harus bertugas mendampingi dengan proses pendampingan yang baik. Sedangkan, hasil dari proses pendampingan akan kembali kepada hak Allah untuk memutuskan santri pasca pendampingan.
Keenam, seorang suami memiliki tanggung jawab mendampingi istri dan harus menjaga dan memperhatikan hak hak Istri. Hal yang sama, istri juga haarus menjaga hak hak seorang suami. Misalnya, hak istri untuk mendapatkan nafkah dzahir dan bathin serta hak suami yang harus dipenuhi dan dijaga oleh seorang Istri. Sehubungan dengan kedua hak pasangan suami dan istri ini, maka keduanya perlu memperhatikannya.
Karena tidak mudah dari keduanya untuk saling memenuhi dan menjaga hak, maka perlu melakukan baiat saling merelakan sewaktu ada kekurangan dan kelalaian memenuhi dan menjaga hak antar keduanya. Dalam konteks berkeluarga, akan ada persoalan atau hal hal yang terkait dengan keteledoran memenuhi dan menjaga hak yang harus di tanggung oleh keduanya. Karenanya perlu dari keduanya untuk saling berbaiat merelakan sewaktu waktu keduanya melalaikan hak dari salah satunya yang harus dipenuhi oleh keduanya.
Alasan antara keduanya untuk saling berbaiat, agar sewaktu dalam proses mengarungi bahtera kehidupan menemukan kesalahan, karena mengabaikan hak antar keduanya, maka setidaknya bisa lebih hati hati dan mengantisipasi adanya kesalahan yang tidak disengaja atau tidak terduga setidaknya sudah dimaafkan sejak adanya baiat.
Sebagai contoh, nafkah dzahir merupakan kewajiban dari suami dan hak istri, namun banyak suami yang mengambil kembali untuk membeli bensin atau untuk hal hal yang terkait dengan kebutuhan suami yang tidak terkait dengan kebutuhan istri. Fenomena ini tanpa disadari telah melupakam dan mengabaikan hak istri. Meskipum demikian, namun karena sejak awal sudah terjadi pembaiatan untuk saling menghalalkan dan memaafkan, maka secara hukum syariah sudah terbantu untuk saling memaafkannya.
Sedangkan, pesan Mbah Nafi yang terkait dengan kebudayaan, berupa: pertama, sebagai santri itu tidak perlu terkagum kagum dan terkejut membaca perkembangan zaman atau yang sering disebut dengan zaman modern. Mengapa menjadi santri harus berkarakter santri ketika berhadapan dengan perkembangan modern? Karena pada setiap zaman sikap orang dan cara pandang orang akan berubah dengan sebelumnya, namun secara filosofis, nilai dan makna hidup manusia yang dicari tidak berubah.
Karenanya, pada zaman modern ini banyak yang justru merasakan kehilangan tujuan hidup, karena tidak sejalan dengan filosofi hidupnya. Jika filosofi hidup seseorang sudah matang, maka bahasa dan model hidup di tengah modernitas, tinggal hanya menyesuaikan saja. Yang terpenting dan harus dipertahankan oleh para santri, adalah tetap berpegang teguh padap rinsip para Ulama yang dikaji di pesantren. Selain itu, jangan lupa, kamu (awakmu) termasuk masih ada kajennya (desa tempat tinggal Kiai Ahmad Mutamakkin), maka perlu mempertahankan model keberagamaan Mbah Ahmad Mutamakkin yang secara filosofis masih bermanfaat di tengah relasi Islam dan budaya lokal.
Pesan kebudayaan yang kedua, menerapkan prinsip Islam itu dilihat dari tiga prinsip, berupa: Islam, Iman dan Ihsan. Prinsip ini harus dikontekkan dengan tata krama yang baik dengan lingkungan. Meskipun demikian, dalam upaya mengkontekkan ketiga prinsip dengan tata krama, tetap juga harus berpegang teguh pada ajaran yang sudah ditetapkan dalam rukun ketiganya (Islam, Iman dan Ihsan). Dalam bahasa modern, tata krama yang baik ini dalam satu sisi disebut prinsip etika universal. Yang perlu dipahami, prinsip etika universal berbeda dengan hakikat makna akhlak yang memang langsung terkait dengan kebiasaan sikap dan perilaku seseorang, yang jika baik dan mulia, maka disebut akhlak mahmudah.
Sebaliknya, jika buruk dan merendahkan kekhalifahan manusia, maka disebut akhlak madzmumah. Karena terangkatnya manusia dalam kekhalifahan bumi, maka semua manusia mulia, namun yang paling mulia, adalah mereka yang menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah. Hal ini dapat dipahami dari sepuluh prinsip sepuluh wasiat Allah kepada para Nabi pembawa kitab suci, sebagaimana yang sudah dikuatkan dalam teks kewahyuan Al Qur’an (baca: tulisan berikutnyaz)
Bagaimana tata krama mempertahankan tradisi para Ulama yang mengamalkan etika kenabian? Yaitu dengan cara tidak merubah adat masyarakat dan kearifan lokal yang sudah baik dan bermanfaat untuk keharmonisan lingkungan masyarakat. Sedangkan, jika menghadapi kondisi lingkungan masyarakat yang tidak baik, maka jangan seperti memamcing di air yang keruh, yang akhirnya tidak mendapatkan ikannya. Jika mengacu cara Mbah Mutamakkin, bagaimana tanpa merusak simbol isi bisa di tata ulang sesuai dengan nilai keutamaan Nabi Muhammad dan para Ulama serta Mbah Mutamakkin.
Mbah Mutamakkin, dulu tidak mengubah simbol masyarakat, yang diubah adalah bagaimana simbol itu menjadi berisi nilai keutamaan. Ibarat sebuah botol pernah digunakan tempat macam macam minuman yang memabukkan. Botol ini lebih baik dan berguna, jika diisi dengan air zam zam atau minuman yang bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Jadi, jika pada simbol kegiatan masyarakat bernilai baik, maka perlu dipertahankan. Adapun, jika pada simbol kegiatan masyarakat bernilai buruk, maka perlu melakukan penataan ulang sesuai dengan cara cara Mbah Mutamakkin yang santun dan menghormati pihak yang lain.
Â
Selain pesan di atas, masih banyak mutiara hikmah dari Kiai Nafi yang disampaikan kepada penulis dalam bahasa jawa yang benar benar sangat mendasar atau filosofis, yang menurut penulis dapat dijadikan pedoman keberagamaan yang ramah terhadap kearifan lokal dengan tetap berpegang pada prinsip luhur Wiliyullah Syekh Ahmad Al Mutamakkin. Karenanya, penulis bersimpulan, Kiai Nafi merupakan jembatan pemikiran dan model keberagamaan Syekh Ahmad Al Mutamakkin.
Tradisionalis dan Modernis
Dalam kajian tentang Islam di Indonesia, sudah tidak asing istilah kaum modernis dan kaum tradisionalis. Kaum modernis beranggapan sebagai kaum yang berfikiran rasional dan tidak terjerat pada tradisi para leluhur yang dianggap tidak rasional. Sedangkan, kaum tradisionalis dianggap golongan yang berfikiran mandeg karena berhenti pada tradisi atau khazanah pemikiran abad pertengahan.
Jika membaca hikmah nasihat Mbah Nafi di atas, maka akan ditemukan pemikiran yang berbeda dengan pandangan kaum modernis. Kaum modernis, banyak yang mengabaikan filosofi pandangan dan sikap para Ulama dan leluhur tradisi pesantren. yang tetap berpegang pada khazanah pemikiran Ulama abad pertengahan. Kritik kaum modernis terhadap tradisi pesantren, cenderung memandang negatif terhadap kaum tradisionalis. Jika penulis amati, sikap kaum modernis lebih bersifat rasional dan hitam putih.
Sementara itu, sebagaimana yang dipesankan Mbah Nafi, kaum tradisionalis memiliki cara berfikir yang lebih kompleks dan dinamis daripada kejumudan atau taklid yang selama ini selalu disematkan oleh kaum modernis kepada kaum tradisionalis. Dalam konteks keberagamaan, kaum tradisionalis lebih memiliki kekhasan yang langsung berani berhadapan dengan Gerakan Wahhabi yang selama ini dikenal memiliki sikap puritan dan intoleransi terhadap praktik yang dianggap mengada ada dan bertentangan dengan Islam di Indonesia.
Berbeda dengan anggapan kaum modernis, kaum tradisionalis justru sangat serius terhadap kajian khazanah klasik, misalnya, ilmu-ilmu keagamaan (al-Ę»ulum al-diniyyah) yang meliputi fiqh, kalam, dan tasawuf. Ilmu Fiqh merupakan cabang ilmu yang mengkaji hukum Islam; Ilmu kalam merupakan cabang ilmu yang mengkaji teologi Islam; sementara tasawuf merupakan cabang ilmu yang mengkaji spiritual Islam. Semua bidang cabang ilmu ini, muncul beragam penafsiran para Ulama. Misalnya, dalam bidang Fiqh, Imam Abu Hanifah, Imam Malik ibn Anas, Imam Muhammad ibn Idris al-SyafiĘ»i, dan Imam Ahmad ibn Hanbal. Dalam bidang kalam, Abu’l-Hasan Ę»Ali al-AsyĘ»ari dan al-Maturidi. Dalam bidang tasawuf, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali.Â
Kaum tradisionalis sepintas bersifat konservatif, namun justru menyimpan proses dinamisasi yang kurang diperhatikan oleh kaum modernis. Proses dinamisasi dimaksud, berupa: sikap terbuka terhadap keragaman pemikiran sesuai bidang keilmuan khazanah klasik. Sikap ini mendorong untuk menyadari kenyataan terdapat banyak penafsiran dalam pemikiran Islam. Berbeda dengan adanya jargon kaum modernis untuk “kembali ke Qur’an dan Hadis” justru berujung pada sikap yang tidak bisa kembali ke Qur’an dan Hadis. Sikap kaum modernis hanya berakhir dengan pemutlakan pendapat diri sendiri sebagai ajaran Islam murni. Sikap kaum modernis, justru telah melahirkan gerakan Islamis, seperti Ikhwan al-Muslimin, Jamaʻat-i Islami, Hizbut Tahrir, hingga Tanzhim al-Qa’idah Osama bin Laden.
Cara pandang kaum tradisionalis, telah melahirkan model Islam Nusantara, yang bersikap toleran terhadap budaya lokal. Kaum tradisionalis menerima pluralisme budaya dalam masyarakat. Artinya, secara ubudiyah umat Islam tidak banyak berbeda, namun kaum tradisionalis bersikap terbuka pada kearifan lokal dalam praktik keberagamaan umat Islam di masing-masing negara dan lingkungan yang berbeda beda. Hal ini, sesuai dengan kaidah fiqh: Al-ʻadah muhakkamah.
Jadi, dalam pandangan kaum tradisionalis, seperti yang dicontohkan oleh Mbah Nafi, telah mempertahankan tradisi agung atau great tradition yang memuat pandangan intelektual yang kaya yang bersumber dari keragaman corak pemikiran abad pertengahan.
Â
*Penulis adalah Penulis buku Islam Geger Kendeng dan Suluk Kiai Cebolek, Dosen UIN Walisongo Semarang, Khadim Majlis Kongkow As Syuffah Sidorejo Pamotan Rembang.                    Â