Oleh: Iwan Nurdin
PARA Mafia Tanah telah lama menjadi aktor masalah agraria. Tidak heran, sebagai akibat praktik ini persoalan seperti konflik, sengketa dan perkara agraria dan pertanahan seolah tidak dapat terselesaikan secara adil, bahkan angka kasusnya terus naik setiap tahun.
Sebagai masalah lama yang belum terpecahkan, tercatat telah terdapat beberapa upaya untuk memberantas Mafia Tanah. Misalnya, pada 2009 Presiden SBY pernah membentuk Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas PMH), dalam laporan Satgas ini, kasus pertanahan menempati urutan pertama. Kemudian, pada era Jokowi, pada 2017 pernah dibentuk Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria. Sayangnya, hingga sekarang persoalan pertanahan tetap menjadi persoalan utama laporan masyarakat kepada institusi seperti DPR, Kantor Staf Presiden (KSP), Komnas HAM, Ombudsman RI yang belum terselesaikan.
Ekosistem Mafia
Apa yang melatari tumbuh suburnya mafia tanah? Di manapun, persekutuan mafia tumbuh karena ketertutupan, rendahnya pengawasan publik dan minimnya penegakan hukum. Tiga hal tersebut semakin menumbuhkan ekosistem mafia tanah pada saat yang sama konsep pembangunan ekonomi telah menjadikan tanah melulu menjadi asset dan komoditas ekonomi. Melupakan bahwa tanah juga memiliki fungsi sosial. Bahkan lebih jauh, tanah telah menjadi alat bagi penciptaan ruang akumulasi baru yang lebih menjanjikan ketika perencanaan tata ruang juga disetir oleh modal dan pasar (market and capital driven).
Sebagai asset tanah adalah instrumen investasi dan salah satu agunan perbankan terbesar. Bahkan, menurut Hernando de Soto (2003) nilainya puluhan kali dari seluruh Foreign Direct Investment (FDI) negara-negara pemburu investasi. Sebagai komoditas, tanah dapat diperjual belikan secara mudah, namun dengan pencatatan yang buruk.
Keadaan ini telah menghasilkan jenis Mafia Tanah model pertama yakni melakukan usaha sistematis dengan pejabat terkait untuk melakukan pensertifikatan, tumpang tindih sertifikat, akta jual beli palsu, hingga balik nama sertifikat tanah-tanah milik masyarakat. Korban dari mafia ini akan mengalami penggusuran baik karena ketiadaan bukti formil dan minimnya jejaring kekuasaan.
Biasanya, operasi mafia semacam ini berkesinambungan dengan jenis Mafia Tanah lanjutan, yakni kelompok besar yang mampu melakukan perubahan tata ruang. Persekongkolan semacam ini dapat menghasilkan perubahan kawasan hijau dan konservasi menjadi kawasan perumahan dan bisnis, pemutihan terhadap pelanggaran tata ruang, hingga perubahan arah proyek infrastruktur yang ironisnya semakin memudahkan komersialisasi atas perubahan ruang yang terjadi.
Patut dicatat bahwa situasi ini bukan hanya terjadi di perkotaan. Pada areal sumber daya alam khususnya kawasan kehutanan, perkebunan, pesisir kelautan, pertambangan situasi nyaris serupa juga terjadi (Mafia Agraria dan SDA).
Upaya untuk memperbaiki keadaan semacam ini bukan perkara yang ringan. Sebab, perlawanan balik Mafia Tanah kepada pihak yang mencoba melakukan ralat, revisi atau pembatalan terhadap kesalahan yang sebelumnya terjadi berujung kepada kriminalisasi masyarakat, bahkan mutasi dan demosi birokrat.
Melawan Mafia
Bagaimanapun negara harus menang dengan persoalan mafia tanah semacam ini? Masalah Mafia Tanah jenis yang pertama dapat segera diselesaikan dengan secara terbuka oleh Kementerian ATR/BPN jika tanpa tebang pilih melakukan upaya revisi, ralat, pembatalan atas terbitnya sejumlah sertifikat tanah yang telah menghasilkan sejumlah konflik, sengketa agraria dan perampasan tanah masyarakat. Tradisi lama BPN dengan melemparkan penyelesain tumpang tindih klaim kepada Pengadilan untuk memutus keabsahan produk BPN sendiri harus ditinjau ulang.
Jika ini dilakukan kepercayaan publik akan terbangun bahwa lembaga pertanahan serius memberantas mafia tanah, keseriusan lainnya juga dapat dibuktikan dengan menggandeng lembaga pengawas pelayanan publik, kepolisian, dan masyarakat sipil. Sehingga proses penyelesaian masalah publik ini tidak dilokalisir menjadi masalah internal ATR/BPN.
Langkah selanjutnya, adalah mecegah dan menghentikan model mafia tanah kedua dengan cara menerapkan keterbukaan data pertanahan (open land data) sebagai bagian dari sistem informasi pertanahan dan tata ruang secara lengkap. Pembangunan sistem data pertanahan yang terbuka selama ini justru mendapat tentangan keras dari ATR/BPN sendiri. Sehingga, bebrapa putusan Mahkamah Agung terkait informasi publik pertanahan justru tidak dilaksanakan.
Meciptakan ekosistem semacam ini, sangat penting bagi pemerintah untuk mengajak seluruh pemangku kepentingan segera menentukan aspek keterbukaan tata kepemrintahan tanah. Beberapa isu utama keterbukaan data pertanahan selama ini yakni: tranparansi vs privasi; ketersediaan vs aksesibilitas; data resmi (official) dan tidak resmi (unofficial), dan data umum vs tematik.
Tanpa keterbukaan semacam ini, upaya Kementerian ATR/BPN melakukan proses digitalisasi, sertifikat elektronik bisa menimbulkan persoalan baru karena belum didukung semangat transparansi proses yang diawasi publik.
Keuntungan utama dari keterbukaan data pertanahan akan mempercepat lahirnya data agraria nasional yang akurat sehingga dapat dijadikan dasar bagi perencanaan pembangunan, baik dilakukan sebagai langkah untuk melakukan pengurangan ketimpangan struktur agraria (agrarian reform) dan proses pembangunan selanjutnya.
*Penulis adalah Direktur Eksekutif Lokataru Foundation