Oleh: Dr. Kurtubi *
PENGELOLAAN SDA yang menggunakan sistem konsesi baik dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dimana yang berwenang mengeluarkan IUP adalah pemerintah. Konsesi dengan menggunakan Kontrak Karya ( PKP2B) dimana yang berwenang menandatangani KK dengan investor adalah juga pemerintah.
Sebenarnya, Sistem IUP dan Kontrak Karya (PKP2B) tidak sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan agar pengelolaan sumber daya alam pertambangan ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Hal ini disadari oleh tokoh-tokoh bangsa jauh sebelum Presiden Jokowi mengeluarkan kebijakan yang kotroversial membagi-bagi IUP kepada Organisasi Keagamaan di akhir-akhir masa jabatannya.
Sejarah perminyakan nasional mencatat, ada anggota DPR di era Pemerintahan Sistem Parlementer bernama Tengku Muhammad Hasan dari Aceh, meminta agar Pengelolaan migas jangan lagi menggunakan sistem zaman kolonial yang didasarkan atas UU Pertambangan Indische Mijnwet.
Oleh Perdana Menteri Djuanda usul tersebut diterima dengan mengeluarkan PERPPU mencabut UU Pertambangan Zaman Kolonial. PERPPU itu diterima dan disetujui oleh DPR menjadi UU No. 44/Prp/1960.
PERPPU itu menegaskan bahwa SDA migas yang ada di perut bumi harus dikuasai oleh negara melalui Perusahaan Negara yang dibentuk dengan undang-undang.
Baru sekitar sepuluh tahun kemudian, Perusahaan Negara di bidang migas bernama PERTAMINA dilahirkan dengan UU No. 8/1971.
Tujuan kehadiran PERTAMINA adalah agar bisa melaksanakan amanah untuk mengelola SDA migas untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat tanpa menggunakan uang negara.
Ibarat pemilik sawah yang menyerahkan sawahnya untuk digarap oleh petani penggarap untuk ditanami padi, dimana modal yang dibutuhkan untuk menggarap sawah sepenuhnya ditanggung oleh petani penggarap,–yaitu biaya bibit padi, ongkos menanam, pembelian pupuk, dan ongkos panen padi.
Dari hasil produksi padi, terlebih dahulu petani penggarap mengambil padi untuk mengembalikan/ membayar semua biaya yang sudah dikeluarkan. Ini yang disebut sebagai cost recovery.
Setelah total produksi padi dikurangi cost recovery inilah yang dibagi 65% bagian dari si pemilik sawah dan 35% menjadi bagian dari petani penggarap.
Praktek bagi hasil antara pemilik sawah dan petani penggarap di bidang pertanian inilah yabg diadopsi oleh sektor migas menjadi Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract /PSC) antara Perusahaan Negara PERTAMINA yang dibentuk dengan undang-undang dan diberi wewenang kuasa pertambangan.
Perusahaan Negara Pemegang Kuasa Pertambangan (PNPKP) inilah yg berkontrak Bagi Hasil “B to B” dengan semua investor. Negara memperoleh 65% dan Investor memperoleh 35% setelah semua biaya yang telah dikeluarkan dikembalikan dalam bentuk cost recovery.
Apabila harga minyak dunia naik melejit, sehingga investor memperoleh Windfall Profit, maka bagian Negara/APBN naik menjadi 85% dsn investor memperoleh 15%. Di negara-negara penghasil Sumber Daya Alam, Windfall Profit ini dikenai pajak tambahan berupa Windfall Profit Tax.
Sangatlah tepat untuk meluruskan pengelolaan kekayaan sumber daya alam agar sesuai dengan Konstitusi Pasal 33 untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Saatnya mengganti iistim IUP dan Kontrak Karya dengan sistem Kontrak Bagi Hasil antara Perusahaan Negara dibidang ertambangan yang diberi wewenang Kuasa Pertambangan, berkontrak dengan semua Investor.
Strategi yang konstitusional ini untuk melipatgandakan penerimaan APBN dari pengelolaan kekayaan pertambangan milik Negara.
—-
*Penulis Dr. Kurtubi, Alumnus SMAN Mataram, FEUI Jakarta, IFP Perancis dan CSM Amerika