Jumat, 31 Oktober 2025

Memindahkan Dapur Petani Ke Ruang Depan

Ilustrasi petani Indonesia. (Ist)

Indonesia tidak punya pilihan lain di era globalisasi ini. Sebagian besar rakyat yang petani harus bisa memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi agar bisa membawa kemajuan di desa-desa pertanian. Saatnya kaum tani Indonesia masuk ke pasar dunia. Tulisan Hassan Aoni dari Omah Dongeng Marwah di Kudus ini, mengolaborasikan manfaat dan keuntungan penerapan teknologi informasi (IT) di bidang pertanian. (Redaksi)

Oleh: Hassan Aoni

TEKNOLOGI informasi dalam bentuk platform dan aplikasi berbasis android terus didorong untuk diterapkan oleh pelaku usaha tani di Indonesia. Beberapa transaksi perdagangan produk pangan termasuk hasil pertanian telah berkembang lebih dulu dibanding aplikasi untuk kegiatan off farm.

Antara lain yang didevelop oleh start up bidang e-commerce dan layanan on demand, seperti “Tokopedia”, “Bukalapak”, ”Blibli”, maupun “Go-jek”. Untuk aplikasi toko online khusus produk pertanian, ada “Eragano”, “iGrow”, “8Villages”, “LimaKilo”, “PantauHarga”, dll.

Semua serba mudah, simpel, dan cepat. Yang kelihatannya sulit ternyata hanya di awal doang. Cobalah datang ke pasar tradisional. Kita bisa melihat ibu-ibu pedagang sayur melakukan transaksi perdagangan semi “online” bahkan hanya dengan memanfaatkan aplikasi sosmed WA. Ada juga yang memasarkan produk menggunakan FaceBook, terutama anak-anak muda.

Penggunaan aplikasi dalam proses sertifikasi suatu lembaga maupun produk di masyarakat sebetulnya sudah lebih dulu dilakukan, baik oleh swasta maupun pemerintah. Seperti proses pendaftaran perusahaan melalui notaris di Kemenkumham, proses sertifikasi ISO, akreditasi, dll. Tetapi, penerepan aplikasi itu tidak terlalu berkembang dibanding pesatnya kegiatan e-commerce. Bahkan masih banyak lembaga yang “hari gene” belum menerapkan IT system, sungguhpun seharusnya semua sudah menerapkan selaras dengan alam keterbukaan dan kecepatan layanan. Mungkin karena sifat pasar yang dinamik dan seksi, membuat aplikasi untuk transaksi produk jauh lebih berkembang dibanding aplikasi proses sertifikasi, yang kadang separo online separo offline itu.

Saya belum mencek apakah proses sertifikasi lahan maupun produk organik oleh delapan Lembaga Sertifikasi Organik (LSO) yang ada di Indonesia sudah menerapkan IT system? Bukan sekedar di proses pendaftaran saja, tetapi – dan  terutama – di proses inspeksi dan penilaian saat extend (perpanjangan) masa pemberlakuan sertifikasi.

Saya terpikir hal itu setelah melihat dua aplikasi berbasis GIS (Geographic Information System) untuk program pertanian “SiPetik” yang didevelop Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Kudus, dan aplikasi “SiPorg” yang didevelop Kelompok Tani (Poktan) “Akar Tani Makmur”, lembaga pertanian yang bergerak di pertanian organik, yang kami dirikan bersama petani-petani kampung di Kudus.

Berikut kisah yang membuat saya — yang tak paham IT — berpikir bahwa IT system berbasis GIS sangat mungkin bisa diterapkan dalam proses inspeksi LSO. Tentu dengan segala kekurangan dan kelebihan tersendiri.

Pada 31 Oktober 2018, Arin Nikmah, Plt Kabid Tanaman Pangan dan Perkebunan Dispertanpangan Kudus menginisiasi pembuatan aplikasi “SiPetik” atau “sistem informasi peta potensi komoditas pertanian” berbasis GIS. Sistem IT ini akan dipakai oleh dan untuk kegiatan yang berhubungan dengan pertanian. Melalui aplikasi ini dapat diketahui data lahan, kegiatan tanam, varian tanaman, kapasitas produksi, dan data-data lain pertanian dan perkebunan di suatu wilayah. Asisten II bidang Perekonomian Pemkab Kudus Ali Rifai dalam sambutan peluncuran aplikasi itu menyatakan, sangat mungkin aplikasi ini dikembangkan dan dihubungkan dengan data tanah, status tanah, RUTRK wilayah, dll. Sehingga suatu saat investor dan berbagai pihak dapat mengetahui peta investasi dan pengembangan kota/kabupaten di waktu yang akan datang.

Sebagai catatan, pengembangan pertanian organik di Kudus mulai menggeliat dalam setahun belakangan ini. Secara kebetulan Bupati Kudus Muhammad Tamzil, yang dilantik September 2018 lalu, memiliki platform pengembangan pertanian unggul dan sejahtera. Plus Kadinasnya, Catur Sulistyianto sangat gesit dan tak kenal waktu kerja. Maka, membangun pertanian melalui pengembangan IT system adalah langkah yang sangat tepat.

Poktan “Akar Tani Makmur” (ATM) telah meluncurkan aplikasi “SiPorg” (atm-kudus.rayqiri.com) atau “sistem informasi pertanian organik” dengan basis GIS yang teramat sederhana. Aplikasi ini dimaksudkan agar ATM sebagai Poktan dapat mengetahui proses pengelolaan tanaman yang dilakukan anggotanya. Seperti data kapan tanam, apa yang ditanam, varietas apa, luas berapa, bagaimana tantangan dalam menghadapi serangan hama dan cara penyelesaiannya, dst. Dengan profile seperti itu kelak akan menjadi data yang menarik diketahui pelanggan. Ini merupakan cara untuk membangun tingkat kepercayaan pelanggan. Pelanggan bisa trace perkembangan pengelolaan tanaman yang akan dibelinya sejak tahap off farm sesuai prosedur pertanian organik.

Jika diketahui ada ketidaksesuaian antara data yang diapload dan yang dikerjakan, akan bisa diketahui oleh pelanggan maupun Poktan sepanjang prosedur dan updating data perlakuan petani selalu diinformasikan. Ini seperti memunculkan “ritual dapur” petani ke ruang publik. Jika bisa diterapkan, model ini merupakan hal baru di dunia pertanian Indonesia. Semacam gerai roti “BreadTalk” atau “KFC” yang memindahkan dapurnya ke ruang saji di depan. Tingkat higienitas, kesehatan, dll., dapat dilihat langsung oleh pelanggan. Pelanggan makin percaya dengan cara ini. Dengan pola hubungan produsen-pelanggan by name-by land, aplikasi “buka dapur” ini bisa membangun proximity (kedekatan)  dan hubungan emosi kedua belah pihak.

Dengan performance dan semangat ATM untuk menerapkan sistem IT dalam pertanian, ATM kemungkinan akan dipercaya menjadi calon penerima aplikasi “SiPetik” melalui support berbagai perangkat pendukung pengoperasian di 2019 ini.

Sebagai background, selain menangani “SiPorg”, ATM, melalui lembaga pendirinya, “PKBM Omah Dongeng Marwah” (ODM), selama ini berpengalaman mengoperasikan IT system dengan dukungan jaringan wifi fiber optic untuk berbagai kegiatan pendidikan masyarakat di Kudus dan sekitarnya.

Nah, dua aplikasi itu (“SiPetik” dan “SiPorg”), menarik menjadi benchmark lembaga LSO dan lembaga sertifikasi lainnya untuk menawarkan penerapan aplikasi ini kepada calon pelanggan. Jika di “SiPorg” fokusnya pada petani dan penerapan prosedur pengelolaan pertanian organik, untuk kepentingan LSO fokusnya tinggal di- switch ke lahan dan produk.

Dengan penerapan itu, inspektor akan mudah mencek lembaga yang mengajukan sertifikasi melalui data-data yang ditampilkan ke publik, dan selanjutnya hanya melakukan verifikasi di lapangan. Bagi pihak pengaju sertifikat akan mendapatkan kemudahan dan kecepatan proses. Atas hal itu seharusnya pihak pengaju berhak meminta keringanan biaya sertifikasi, karena beberapa data sudah dicicil melalui aplikasi itu.

Dari sisi brand equity, kepercayaan dan kredibilitas lembaga tersebut di pasar akan lebih unggul dibanding lembaga dan produk lain yang tidak membangun tracing system melalui penerapan IT system. Baik LSO, pelanggan lembaga itu, juga publik, secara terus-menerus kepercayaannya akan terjaga. Lantaran added value itu pula harga transaksi di pasar akan terus terawat. Tidak sadar ketiga pihak itu telah berperan menjadi marketing agency di pasar.

Jadi, melalui penerapan sistem aplikasi, semua pihak dapat berkolaborasi untuk memetik keuntungan dan manfaat.

Demikian, tulisan ini lebih sebagai ngudoroso ketimbang gagasan.

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru