JAKARTA – Ahli forensik digital Rismon Hasiholan Sianipar mengungkapkan bahwa bukti rekaman CCTV dalam kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin di Kafe Olivier, Grand Indonesia, diambil oleh teknisi yang bekerja di kafe tersebut. Menurut dia, teknisi itu bukan pihak berwenang untuk mengambil rekaman CCTV sebagai barang bukti.
“Kedua, (pengambilan CCTV) dilakukan oleh seorang teknisi, bukan seorang yang dinamakan Digital Evidence Specialist yang diatur dalam ISO 27037,” ujar Rismon dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (4/11/2024).
Rismon menjelaskan bahwa rekaman CCTV yang dihadirkan dalam persidangan memiliki ukuran 32 GB, padahal total rekaman dari seluruh CCTV di Kafe Olivier mencapai 900 GB.
“Pertanyaannya, bagaimana seorang teknisi CCTV memilah, memilih 32 GB dari 900 GB dan dijadikan barang bukti (dalam persidangan),” tambah Rismon.
Ia juga menyoroti perbedaan jumlah file rekaman CCTV yang dianalisis oleh dua ahli forensik digital dalam persidangan tahun 2016.
“Ahli forensik digital Muhammad Nur Al-Azhar mengatakan ia menerima 29 file. Sementara, Christopher Hariman Rianto mengatakan, dia menerima 13 file dari penyidik di flashdisk 32 GB,” jelas Rismon.
Perbedaan jumlah file ini menimbulkan tanda tanya karena kedua ahli tersebut menganalisis kasus yang sama.
“Jadi, isinya sudah tidak konsisten, 29 file atau 13 file,” katanya.
Rekaman CCTV Terdistorsi 89,6 Persen
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Rismon Hasiholan Sianipar mengatakan, rekaman kamera CCTV yang dihadirkan dalam persidangan pembunuhan berencana terhadap Wayan Mirna Salihin pada 2016 sudah terdistorsi hingga 89,6 persen. Rekaman yang dimaksudkan oleh Rismon adalah rekaman nomor 9 yang mengambil gambar di Kafe Olivier, Grand Indonesia, tempat Jessica membunuh Mirna.
“Akibat manipulasi dan rekayasa menggunakan freeware baik terhadap dimensi dan laju frame itu membuat data digital (rekaman CCTV) menjadi distorsi menjadi 89,6 persen,” ujar Rismon Sianipar dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Senin (4/11/2024).
Saksi yang dihadirkan oleh pihak pemohon peninjauan kembali (PK) Jessica Wongso ini menyoroti file rekaman CCTV yang dianalisis oleh ahli bernama Muhammad Nur Al-Azhar dan Christopher Hariman Rianto.
“Ternyata di dalam keterangan Muhammad Nur Al-Azhar menemukan 50.810 frame. Pertanyaannya, ke mana 10 frame itu? Padahal, di dalam metadata file tersebut adalah 50.910 frame,” imbuh Rismon.
Dia mengatakan, selain ada perbedaannya jumlah frame, laju frame per detik pada barang bukti juga diturunkan, yang harusnya 25 menjadi 10 frame per detik.
“Artinya 100 frame dengan laju 10 frame per detik, artinya 10 detik durasi video sengaja dihilangkan dari frame video channel 09 pukul 15.35 sampai 16.59,” kata dia.
Rismon menilai, ada beberapa kejadian krusial yang dihilangkan bersama dengan 10 detik yang disebutkan telah didistorsi itu.
“Di sini harusnya pergerakan Jessica ada dari kapan dari kanal 9, dari meja belakang meja 57 untuk pukul 15.35 sampai 16.59..Di situ juga harusnya bisa kita dapatkan warna kopi yang sesungguhnya yang diantar oleh Agus Triono (pramusaji Olivier) pada pukul 16.20-an,” lanjut dia.
Berdasarkan analisisnya, Rismon menilai, rekaman CCTV yang dihadirkan oleh jaksa dalam persidangan hanya tersisa 10,4 persen dari keseluruhan, terutama rekaman CCTV nomor 9 ini.
Sebelumnya, Jessica Kumala Wongso kembali mengajukan peninjauan kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung terkait kasus kopi sianida. Jessica bersama kuasa hukumnya, Otto Hasibuan, mendaftarkan PK di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Rabu (9/10/2024).
“Jadi begini, saya datang ke tempat ini, ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini untuk mendaftarkan permohonan Peninjauan Kembali atas putusan Mahkamah Agung yang telah dijatuhkan kepada Jessica,” kata Otto.
Otto menyebut bahwa PK adalah hak setiap pihak berperkara yang merasa tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan. Berkas PK ini, dengan nomor No.7/Akta.Pid.B/2024/PN.Jkt.Pst tanggal 9 Oktober 2024, akan diproses sesuai mekanisme hukum yang berlaku sebelum diajukan ke Mahkamah Agung. (Enrico N. Abdielli)
.