Sabtu, 5 Juli 2025

Mendukung Ahok Dari Sulawesi Utara

Oleh : Benny Rhamdani

AHOK dan PILGUB DKI 2017, menarik untuk dicermati. Mulai dari sikap untuk tidak menggunakan Parpol sebagai kendaraan politik, tuduhan melakukan Deparpolisasi, deklarasi dan bersekutunya para politisi(beberapa calon gubernur) untuk melawan AHOK, upaya mengganjal pencalonan dengan menaikan persentase dukungan bagi  calon independen melalui Revisi Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah, serta Ikrar atas nama etnis dan keyakinan/Agama oleh sekelompok masyarakat dengan propaganda klasiknya-Jangan pilih pemimpin kafir.

Awalnya, Apa yang terjadi dilapangan dan kemudian berpindah menjadi informasi yang disuguhkan media, layak diaminkan sebagai dinamika politik dalam konteks demokrasi yang dinamik dan dialektik. Tapi kemudian, bergeser pada situasi politik yang destruktif tidak sekedar bagi demokrasi itu sendiri, tapi bagi peradaban manusia yang sesungguhnya.

AHOK yang memilih jalur independen sebagai jalan pencalonannya menjadi Gubernur, adalah sikap berani yang belum belum pernah dilakukan oleh politisi lainnya dalam sejarah Pilkada di Indonesia. AHOK mengambil keputusan politiknya justru disaat banyak partai menawarkan kendaraan politik untuk pencalonanya. AHOK tidak memilih Independen yang disebabkan karena situasi darurat atau kepepet politik. Tidak dikarenakan karena kehabisan Partai, ditolak oleh partai politik dan juga tidak karena Parpol sedang mengalami konflik.

AHOK kemudian dituduh melakukan Deparpolisasi. Dan yang lebih mengherankan bahkan lucu, tuduhan itu justru datang dari para politisi. Sebuah tuduhan, sikap kebakaran jenggot (walaupun tidak semua politisi berjenggot) yang tidak layak dilakukan bahkan dipertontonkan ke publik (kecuali untuk mempermalukan diri sendiri). 

Sederhana saja, bukankah jalur Independen dalam hal pencalonan kepala daerah di mungkinkan oleh undang-undang? Dan bukankan Undang-undang itu sendiri diproduksi dari sebuah pabrik undang-undang yang bernama parlemen dengan para tenaga kerjanya yang bernama politisi?

Jelas, tuduhan Deparpolisasi adalah tuduhan yang jauh panggang dari api.

Urusan membuat Undang-undang dan  merevisi kembali Undang-undang yang sudah disahkan dan berlaku sebelumnya adalah sebuah urusan normal dan pekerjaan rutin lembaga Parlemen(DPR-DPD) dan pemerintah. Termasuk merevisi Undang-Undang No.8 Tahun 2015 Ttg Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Terlebih semangat merevisi UU Pulkada tersebut dilatarbelakangi hasil evalusi atas pelaksanaan Pilkada Serentak 2015, yang memaksa semua pihak untuk melakukan banyak perbaikan. Salah satu yang menuntut untuk diperbaiki/revisi adalah berkaitan dengan Syarat dukungan bagi calon independen yang dinilai oleh berbagai pihak/publik terlalu tinggii atau sejak awal memang angka persentasenya di skenariokan tinggi.

Namun jika.agenda politik parlemen untuk merevisi Undang-undang Pilkada, khususnya berkaitan dengan syarat dukungan calon independen, justeru akan dinaikan persentasenya, yang semangat dan motifnya diarahkan untuk ‘menjegal’ pencalonan AHOK di Pilgub DKI, maka parlemen tidak sekedar sedang mempertontonkan kekonyolannya(kalau bukan Kebodohan), tapi juga sedang menghancurkan demokrasi sekaligus meruntuhkan mandat politik rakyat dalam konteks tugas vesar kenegaraan yang diberikan kepadanya. 

Sederhananya, rakyat memberikan mandat politik kepada para politisi untuk melaksankan tugas-tugas besar yang berkaitan dengan nasib dan masa depan negara dan segala sesuatu yang terkandung dan hidup didalmnya. Terlebih khusus mensenjahterakan warga negara/rakyatnya. Tugas membuat regulasi/UU itulah salah satu mandat politik penuh yang diberikan rakyat kepada para politisi sebagai tenaga kerja di pabrik yang bernama parlemen.

Maka jika tugas besar kenegaraan untuk merevisi UU Pilkada didistorsi dan direndahkan posisinya dibawah kepentingan politik menaikan Syarat Dukungan calon independen yntuk bagaimana menjegal seorang AHOK, maka yang dilakukan parlemen adalah sebuah tindakan sekaligus pekerjaan politik yang Abnormal. Dan segala tindakan atau perbuatan Abnormal hanya bisa dilakukana oleh orang-orang Abnormal. Negara harus diatas segala-galanya dan lebih penting dari sekedar AHOK. Tapi seorang AHOK atau yang lainnya yang ingin mengikuti kontestasi demokrasi dan mengabdikan diri bagi republik, tidak boleh dihilangkan bahkan dibunuh secara semena-mena atas nama negara.

Fenomena isu atas nama etnis dan keyakinan/Agama, selalu muncul kepermukaaan menghiasi ruang-ruang kosong perkembangan demokrasi di tanah air kita. Khususnya beberapa tahun terakhir pasca reformasi.

Menghadapi Pilgub DKI 2017, sentimen atas nama ernis dan keyakianan/agama dimunculkan kepermukaan secara terbuka ditas panggung politik DKI jakarta. Sentimen itu begitu nyata karena di ikrarkan oleh berbagai pihak, mulai dari politisi, mereka yang mengaku tokoh, bahkan ormas keagamaan yang selama ini gemar mengatasnamakan umat dan agama. Ini menjadi ‘perang’ terbuka di wilayah Ibukota Jakarta, tidak lagi sekedar ‘perang’ di dunia maya yang hanya berani mengumbar kata-kata tapi dengan menyembunyikan nama.

Dari sudut kebun sebuah kampung bernama Poyowa Besar. Jauh dari kebisingan dan kegaduhan politik saat berkantor di Jakarta. Bumi, tanah, air dan segala kekayaan yang terkandung didalamya dimana kita lahir, tumbuh, hidup dan mati, bertanya dan memberi catatan:

Apakah para politisi di produksi oleh partai politik untuk sekadar menjadi tenaga kerja pemuas syahwat  kekuasaan Partai Politiknya,  sekalipun harus mengorbankan tugas besar kenegaraan sebagaimana yang diharapkan rakyatnya?

Sadar dan ingat kembali atas janji yang disampaikan saat kita meminta dukungan. Merasa malu karena kita hidup dengan Gelar Kehormatan(Terhormat) yang diberikan Rakyat dan dihidupi dengan gaji yang dibayar dari pajak masyarakat, berada digedung mewah dengan segala fasilitas karena kepercayaan yang diserahkan publik untuk kita menikmatinya, semua itu tak akan datang untuk berikutnya ketika kita mengkhianatinya.

Apakah para elit dan tokoh agama hanya lahir untuk kelompok dan umat yang satu keyakinan dengannya? Apakah karena kita berbeda warna kulit, suku dan agama, kemudian kita juga harus hidup dengan kebencian, kemarahan dan permusuhan dengan mereka yang berbeda dengan kita?

Ini Indonesia Bung! 

Ini Negara yang  sejak dirumuskan dan diproklamirkan kemerdekaannya oleh para pendiri Republik, disepakati para sebagai Negara yang tidak sekedar mengakui, menghormati, tapi juga melindungi  keberagaman.

Ini Negara yang dalam proses sejarah dan  paradabannya  menjadi Negara yang diciptakan Tuhan diisi oleh orang-orang yang berbeda suku, agama, ras dan golongan.

Ini juga Negara yang dalam urusan kepemimpinan politik dalam kontestasi Demokrasi, secara demokratis diserahkan sepenuhnya kepada rakyat untuk memilihnya. 

Ini juga Negara yang secara konstitusional memberikan kebebasan dan hak yang sama kepada setiap warga negara, apapun suku dan agamanya untuk mencalonkan diri sebagai Kepala Gubernur, Bupati dan Walikota.

Lalu apa yang salah dengan seorang AHOK? Haruskah seorang AHOK mengalami Penganiayaan Politik, hanya karena pilihan politiknya memilih jalur Independen? Terlebih penganiaayaan politik untuk menjegal seorang AHOK dengan atas nama konstitusi dan dengan cara meminjam tangan Lembaga Negara(Parlemen)? Itu tidak lebih dari cara yang layaknya dilakukan oleh seorang pengecut dan pecundang.

Lalu apakah pula yang salah dengan AHOK? Haruskah seorang AHOK mengalami Penistaan Sosial, hanya karena Etnis yang melekat pada dirinya dan agama yang diyakininya?  Terlebih Penistaan Sosial yang serangan langsung kepada AHOK dilakukan secara terbuka bahkan telanjang dengan mengatakan Jangan pilih Pemimpin Kafir.

Bagi mereka yang anti AHOK, haruskah ketidaksetujuan karena perbedaan itu di kampanyekan dengan menyertakan rasa kebencian dan permusuhan. Alangkah elok apapun perbedaan dan sikap tidak mau memilih AHOK kiranya dilakukan dengan semangat memperlakukan AHOK sebagai manusia cipataan Tuhan. Bukankah sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain? 

Dalam konteks AHOK, ketidaksetujuan, kritik bahkan tidak memilih AHOK sepanjang dilakukan dengan baradab dan cara yanh dimungkinkan oleh demokrasi, maka pasti Itu akan sangat bermanfaat bagi pribadi AHOK.

Ketakutan kalah yang berlebihan, tidak harus diekspresikan berlebihan tanpa kendali, sehingga kita menafikan nilai-nilai suci yang kita yakini. 

Bagi Pendukung AHOK, baik pemilih resmi di jakarta, terlebih khusus pendukung yang sifatnya supporter jarak jauh, yang memberikan dukungan karena sentimen satu keyakinan dan sama agama(patut diakui ini juga fakta dilapangan), tidak ada larangan konstitusonal terhadap alasan pilihan dan dukungan itu.

Tapi menjadi penting lebih dari itu. Kita juga harus fair dan jujur untuk terbuka dan tidak anti terhadap pemimpin dari suku dan agama lain yang berbeda dalam kontestasi politik di daerah kita masing-masing. Karena jika di satu daerah tertentu muncul calon yang berbeda baik etnis dan agama, kemudian kita tidak bisa menerima kehadirannya, bahkan semangat kebencian dan permusuhan yang kita demontrasikan sebagai bentuk sikap anti dan penolakan, maka perjuangan membela membela dan mendukung AHOK dangan tema-tema Keadilan, Hak Setiap Warga Negara, pluralisme, Anti-Diskrimiasi dan Menolak segala bentuk Penistaan Ernis dan Agama dalam Kontestasi Demokrasi, menjadi makanan basi.

Karena kita tidak saja memohongi diri sendiri, tapi juga menipu Agama dan Tuhan yang kita yakini. Salam kami dari Sulawesi Utara di Indonesia Timur

*Penulis adalah Anggota DPD RI dari Sulawesi Utara, Wakil Ketua Umum Pengurus Pusat GP Ansor

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru