Minggu, 8 September 2024

Menemukan Kembali Revolusi Indonesia

Oleh: Hegel Terome

BEBERAPA pekan ini, publik diramaikan oleh buncah-buncah kegenitan sesaat para politisi dan aktivis yang mungkin lagi sepi kerjaan, sementara kebutuhan hidup sehari-hari terus mendesak untuk dipenuhi. Atau barangkali, mereka tengah bersiasat untuk langgeng duduk di kursi kekuasaan yang empuk itu? Entahlah, tetapi yang jelas ada idiom lama yang didaur ulang yang merebak di mana-mana menjadi sarapan pagi di media sosial, yaitu “Persatuan Nasional”.

Sebetulnya tidak demikian terang benderang apa yang mereka maksudkan dengan idiom itu. Oleh karena, andai diraba-raba jalan pemikiran mereka yang tersirat, sekalipun dengan kemasan-kemasan acara tertentu, maka tersentuhlah oleh kita bahwa latar belakangnya hanyalah kepentingan Pemilu 2024 atau lebih khusus Pilpres 2024. Kebutuhan inilah yang mendorong hasrat mereka untuk diam-diam dan perlahan-lahan menggiring opini dan menjangkau simpati publik ke isu Persatuan Nasional.

Dipa Nusantara Aidit, dalam bukunya “Masjarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia (soal-soal pokok revolusi indonesia)”, memulai perbincangannya dengan begitu tajam dan memukau melalui pertanyaan-pertanyaan ini: “Kenalkah kita akan Indonesia? Akan hakikat sejarahnya, masyarakatnya, rakyatnya, revolusinya? Sejak lama kebanyakan dari kita diliputi oleh keganjilan bahwa kita lebih mengenal Barat daripada mengenal Indonesia, lebih mengenal revolusi negeri-negeri lain daripada revolusi kita sendiri.”

Agaknya, apa yang dipertanyakan Aidit itu, untuk kita saat ini menjadi sangat relevan dan jitu. Mengapa? Hampir 78 tahun Indonesia merdeka, api revolusi Indonesia telah padam sejak 1945. Kita menganggap kemerdekaan 1945 telah menyelesaikan segalanya: penghapusan penjajahan dari muka bumi Indonesia, penyerahan kedaulatan tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia, dan turut sertanya Indonesia dalam kancah pertarungan global. Namun kita melupakan, bahwa revolusi 1945 hanyalah jalan yang mengantarkan kita ke depan “gerbang kemerdekaan”.

Kita belum memasuki taman sari kemerdekaan. Kita tertahan di depan gerbang, karena melupakan bahwa revolusi 1945 belum tuntas. Revolusi ini belum sepenuhnya memberantas cokolan-cokolan asing di bumi Indonesia. Program Sukarno 1955 untuk menasionalisasi aset-aset asing, seperti perkebunan, pertambangan, dan lainnya, tidak sepenuhnya berjalan. Jatuhnya Sukarno, maka berhentilah upaya untuk mengambilalih kekayaan tersebut, dan kemudian pindah tangan ke Suharto dan kroninya.

Mengenal Indonesia saat ini, di tengah perkembangan zaman dan semangatnya yang begitu berbeda dengan sikon Aidit memotretnya, memaksa kita untuk berefleksi kembali. Indonesia kini dari sisi geografis, demografis, dan sebagainya, ada hal-hal yang berubah dan ada yang statis. Kondisi geografis dari sisi ekologis sudah pasti mengalami banyak kemunduran dan kehancuran akibat eksploitasi pertambangan dan perkebunan yang sedemikian marak dilakukan di banyak tempat di Indonesia.

Eksploitasi ekologis ini dilakukan oleh setiap rezim penguasa untuk mengekstraksi sumberdaya alam (ekonomi ekstraktif). Geografi Indonesia yang membentang dari ujung Aceh hingga ke Papua Barat, dari Miangas ke Rote, merupakan modal dasar untuk membangun bangsa hari ini dan esok. Dengan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya, di permukaannya, dan di udara, semua ini fondasi di mana Indonesia nantinya akan berdiri kokoh. Kenyataannya, kekayaan geografis itu tidak memberikan manfaat yang maksimal yang mensejahterankan rakyat dan berkeadilan. Penguasaan lahan-lahan yang timpang oleh kaum oligarkh dan asing menciptakan konflik-konflik sosial yang berujung pada penindasan rakyat. Kaum 1% menguasai 99% lahan di Indonesia. Lahan sebagai sarana produksi mereka dominasi, sehingga kaum 99% senantiasa tergantung pada mereka dalam berproduksi. Relasi produksi yang timpang ini menimbulkan penjajahan baru, kemiskinan struktural, dan pembodohan rakyat.

Memandang bahwa rakyat Indonesia, kaum 99%, telah merdeka adalah keliru. Bila menggunakan pendekatan Gunnar Myrdal dengan teori “Piramida Kurban”, maka kaum 99% ini hanya menguasai sumberdaya nasional 1%. Modal ekonomi, sosial, politik, alam, iptek, sepenuhnya berada di tangan kaum 1%. Memiliki kekayaan nasional 99% oleh kaum 1% tentu sangat memudahkan mereka untuk saling berbagi. Dan sebaliknya, kaum 99% yang hanya memiliki 1% kekayaan nasional telah menimbulkan konflik-konflik sosial yang begitu mudah dipicu. Akan sulit bagi mereka untuk bisa berbagi dengan remah-remah roti yang tersedia. Piramida kurban ini belum berubah sama sekali realitasnya.

Dalam konteks demikian, di antara kaum 99% tersebut ada stratata menengah yang hidupnya seperti parasit yang tumbuh sangat bergantung pada inang atau induknya. Strata menengah ini adalah kaum borjuis kecil yang mobilitas sosial politiknya dari bawah ke atas dan dari atas ke bawah. Mobilitas ke bawah mereka akan menempatkan mereka menjadi pahlawan-pahlawan pembela rakyat, seperti aktivis, politisi, dan lainnya. Mereka mengidentisir dirinya adalah juga rakyat yang termarjinalisasi. Mereka lantang menyuarakan persoalan-persoalan kaum 99% tersebut. Mobilitas ke atas mereka akan menjadikan mereka sebagai juru kampanye kaum 1%, relawan-relawan, negosiator-negosiator ulung, pedagang-pedagang politik. Dengan berbagai cara, kemasan, dan argumentasi, mereka membela kepentingan kaum 1%, termasuk melupakan masa lalu kelam kaum ini.

Kini menjawab pertanyaan Aidit itu, maka apakah “Persatuan Nasional” yang dimaksud strata tengah ini hendak menemukan kembali revolusi Indonesia atau hanya sekadar mobilitas sosial politik mereka?

Aidit dalam bukunya itu tentu tidak menolak sepenuhnya pentingnya kaum borjuis kecil ini terlibat sebagai tenaga revolusi, selain kaum buruh, tani, dan borjuis nasional yang sadar. Tujuan revolusi nasional yang diartikan Aidit ialah penghancuran kaum feodal dan imperialis (juga sistem feodalisme dan imperialisme). Bagaimanapun Indonesia sebagai masyarakat semi jajahan, kolonialis tidak sepenuhnya menghapus kaum feodal. Bahkan dengan sengaja memeliharanya demi kepentingan penjajahan itu sendiri. Selain feodalis dan imperialis, yang menjadi musuh pokok kaum 99% adalah antek-antek imperialis dan komprador. Apakah kekuatan-kekuatan kelompok tersebut masih berlaku? Jawabnya: masih bercokol.

Jika demikian, “Persatuan Nasional” yang digembar-gemborkan para politisi dan aktivis tersebut tidak menjawab kebutuhan masyarakat, rakyat, sejarah, dan revolusi nasional Indonesia. Jika “Persatuan Nasional” tidak ditempatkan untuk “front bersama” (united front) membangun aliansi melawan kekuatan reaksioner dalam dan luar negeri (asing), maka tawaran tersebut menjadi tidak menarik. Apalagi dengan pertimbangan dinamika global yang cepat di mana kutub-kutub kekuatan dunia me-rekomposisi, misalnya selain Amerika dan sekutunya (NATO, Uni Eropa) kemudian berhadapan dengan BRICS yang di dalamnya terdiri atas Brazil, Rusia, China, Afrika Selatan. Kutub-kutub ini tak sekadar kutub kekuatan ekonomi dunia, namun juga kekuatan militer dunia.

Akan tetapi, apabila seruan “Persatuan Nasional” itu hendak mengkonsolidasi kekuatan-kekuatan progresif dalam negeri, menghapus feodalis/me dan imperialis/me serta ante-antek kapitalis/me global, maka prasyaratnya harus dipenuhi, seperti retooling sistem pemerintahan, kepartaian, TNI-POLRI, kepegawaian, perwakilan rakyat/dpr, dan yudikatif. Kita harus me-retooling ekonomi pasar bebas menjadi ekonomi-terpimpin, demokasi neoliberal menjadi demokrasi-terpimpin, lebih menonjolkan kolektivisme ketimbang individualisme. Kita harus me-retoolong kebudayaan kita agar menjadi kebudayaan yang progresif dalam menjawab tantangan zaman, bermanfaat dan mensejahterakan.

Kecondongan Indonesia menjadi negara gagal harusnya memicu strata menengah atau kaum berjuis kecil mengambil peran yang strategis, bukan hanya dalam kepentingan avonturis/me politik pemilu, untuk menggerakkan roda massa kaum 99% bangkit melawan penindasan yang tiada habis-habisnya ini. Penghisapan atas manusia harus dihapuskan. Pemblejetan musuh pokok revolusi nasional harus dikerjakan. Tidak ada tempat bagi avonturis/me dan menyerahisme dalam revolusi nasional kini.

Menemukan revolusi nasional kembali, artinya menemukan kemerdekaan yang baru yang sejati, yang segala kebutuhan dan kepentingan masyarakat, rakyat, bangsa dapat terpenuhi. Dalam segala lapangan kehidupan mereka harus dipersiapkan, dan negara sebagai roda penggeraknya harus dipacu oleh sistem kerakyatan demokratik. Oligarkhis harus dihapuskan. Tatanan lama harus digantikan dengan yang baru.

Belajarlah kepada China dan Russia dalam mengendalikan kekuatan ekonomi dan budaya lama. Untuk ini, diperlukan kepemimpinan nasional yang mampu menggerakan kekuatan inti revolusi nasional mewujudkan visi besar menuju Indonesia adil, makmur, sejahtera, progresif iptek dan militernya.

Revolusi nasional pun memerlukan organ-organ yang revolusioner. Retooling partai politik menjadi jalan satu-satunya untuk memperbaiki organisasi politik yang sudah rusak sejak Orde baru. Partai-partai politik yang ada kini tidak lebih seperti toko kelontong yang menjual barang dagangan apa aja yang diperlukan. Mereka melacurkan diri, menjual slogan-slogan kosong, memanipulasi kesadaran massa. Dan bahkan, dengan berlakunya kekuatan pasar bebas, massa rakyat digiring menjadi relawan-relawan dalam kerangka pemilu 5 tahunan.

Demokrasi pasar bebas alias neoliberal ala Amerika/Asu dkk., telah merusak segalanya. Politik uang, politik kotor, dan sejenisnya, menjadi kebiasaan yang sah dalam berkerakyatan berkemasyarakatan. Ini tidak bisa dibiarkan berkelanjutan, apabila kita hendak melihat masa depan anak cucu cicit yang gemilang. Tidak ada waktu lagi, sekaranglah waktu yang tepat atau Indonesia akan menuju kerusakan parah.

Dengan agenda 2050, Indonesia hanya mungkin menemukan jati dirinya manakala mengambil momentum yang tersedia, dengan sumberdaya yang tersisa, menemukan kembali revolusi nasionalnya.

Usia 78 tahun pada 17 Agustus 2023, harus menjadi titik-balik serius me-retooling sistem lama menjadi sistem baru. Pertumbuhan penduduk usia produktif/muda yang tinggi perlu diimbangi dengan pemenuhan keadilan, kemakmuran, kesejahteraan, iptek yang memadai. Tanpa itu, Indonesia akan melewatkan 100 tahun kesempatan emas untuk menjadi negara dan negeri yang mumpuni dalam segala lapangan. Tanpa itu, Indonesia akan kembali ke abad-abad kolonial dan feodal.

*Penulis Hegel Terome, pemerhati sosial budaya

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru