Sabtu, 5 Juli 2025

Mengamankan Pancasila Dari Ancaman PKI dan Komunisme*

Oleh: Jenderal TNI ( Pur ) Try Soetrisno**

Para sesepuh, para tokoh, dan hadirin serta hadirat yang saya muliakan, Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Salam sejahtera.

Dengan mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah Subhana Huwa Taala atas segala limpahan nikmat dan rahmat-Nya kepada kita sekalian, izinkanlah saya mengucapkan selamat datang dan terima kasih kepada kita sekalian, yang menyempatkan diri untuk hadir pada acara yang amat penting bagi persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara, buat saat ini dan buat tahun-tahun mendatang.

Acara ini kita selenggarakan pada momen yang amat simbolik, tanggal 1 Juni, yaitu tanggal yang amat bersejarah  71 tahun yang lalu, sewaktu Bung Karno – yang dua bulan kemudian akan menjadi Proklamator Kemerdekaan Bangsa Indonesia – untuk pertama kalinya menyampaikan pidato beliau yang amat penting tentang Pandangan Hidup Bangsa, Pancasila . Pidato tersebut merupakan rujukan utama dalam merumuskan Dasar dan Ideologi Negara yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang tetap relevan sepanjang zaman.

Hari ini kita – yang mewakili segala aliran dan golongan – selain akan mengukuhkan kembali dukungan kita sebagai Bangsa terhadap Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa, serta sebagai Dasar dan Ideologi Negara, juga akan menegaskan kembali penolakan kita secara tegas terhadap sebuah ideologi lain, yang kandungan isinya serta  tindak-tanduk para pendukungnya telah berulang kali membuktikan bertolak belakang dengan nilai-nilai Pancasila, yaitu Marxisme-Leninisme/Komunisme dan Partai Komunis Indonesia ( PKI ).

Sudah barang tentu, terhadap masalah sepenting ini perlu disampaikan penjelasan, bahkan pertanggungjawaban ideologis, mengapa kita harus mengukuhkan kembali dukungan kita kepada Pancasila dan menegaskan kembali penolakan kita terhadap Marxisme-Leninisme/Komunisme dan PKI.  PKI, walaupun telah dilarang pada tahun 1966, namun ternyata telah tiga kali mengadakan kongres gelapnya secara rahasia di bebera tempat.

Semangat yang dikandung oleh Pancasila seperti tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah semangat persatuan dan kesatuan dari Bangsa yang bermasyarakat majemuk multi dimensi ini, yang bertujuan terbentuknya Negara yang merdeka,  bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita memilih cara musyawarah untuk mufakat dalam menyelesaikan segala masalah. Sebaliknya, Marxisme-Leninisme/Komunisme yang dianut oleh PKI berintikan ajaran tentang pertentangan kelas dan negara diktatur proletariat, yang jika suatu saat dapat terbentuk, akan menindas dan membasmi tanpa ampun golongan-golongan lainnya.Ideologi Marxisme-Leninisme/Komunisme dan partai komunis dimanapun juga tidak mengakui eksistensi negara yang tidak berdasar ideologi mereka, dengan tidak membedakan apakah negara itu negara kolonial atau negara nasional. Demikianlah, pengikut PKI ini telah melakukan pemberontakan pada tahun 1926 terhadap rezim kolonial, dan pada tahun 1948 dan 1965 terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia sendiri.

Pemberontakan PKI – atau mungkin lebih tepat disebut sebagai  kudeta – yang mereka sebut sebagai Gerakan 30 September  – pada tahun 1965 telah dipersiapkan secara rahasia, dan direncanakan untuk dilaksanakan secara mendadak dan serentak di beberapa daerah, diawali dengan pembunuhan terencana terhadap pucuk pimpinan TNI-Angkatan Darat.Gerakan 30 September yang dirancang dan dikendalikan PKI pada tahun 1965  tersebut dilakukan oleh atau melalui oknum-oknum tentara yang secara ideologi dapat mereka pengaruhi.

Dapat dipastikan bahwa hampir tidak ada golongan yang mengira atau mempersiapkan diri menghadapi kudeta tersebut,  sehingga apa yang terjadi kemudian adalah merupakan reaksi yang bersifat instinktif untuk membela diri. Kita seluruhnya tahu apa yang terjadi setelah tanggal 1 Oktober 1965 itu. Sudah barang tentu kita harus menundukkan kepala terhadap demikian banyaknya korban yang jatuh dalam masyarakat, yang seharusnya tidak boleh terjadi.

Pertama-tama perlu kita mohonkan perhatian terhadap seluruh fihak, bahwa Bangsa dan Negara ini telah memberikan perlakuan yang absah secara yuridis konstitusional,, baik terhadap ideologi Marxisme-Leninisme/Komunisme maupun terhadap PKI, yang melalui Biro Khususnya telah melakukan makar terhadap keamanan Negara. Dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor TAP-XXV/MPRS/1966, yang dinyatakan tetap berlaku dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor TAP-I/MPR/2003, ideologi Marxisme-Leninisme/Komunisme dan PKI telah dilarang.

Negara memberikan perlakukan yang berbeda terhadap warga masyarakat yang terlibat dalam Gerakan 30 September/PKI ini bergantung pada berat ringannya peranan mereka. Mereka yang merupakan pimpinan PKI dan terbukti terlibat langsung dalam perencanaan dan pengendalian gerakan makar tersebut telah dihadapkan ke pengadilan, diberi kesempatan untuk membela diri, dan telah dijatuhi hukuman yang mempunyai kekuatan mengikat. Mereka yang menjadi tokoh-tokoh PKI serta organisasi massanya, yang tidak mempunyai cukup bukti untuk diajukan ke pengadilan, telah ditunjuk tempat berdiamnya di pulu Buru, untuk kemudian dibebaskan. Sedangkan warganegara yang menjadi simpatisan PKI serta organisasi masanya, yang tidak terlibat sama sekali, dikembalikan kepada pekerjaannya semula. Pada tahun 1994, jadi hampir tiga dasawarsa kemudian, setelah melakukan kajian yang mendalam, Negara telah menerbitkan sebuah Buku Putih tentang Gerakan 30 September/PKI ini, yang rasanya perlu kita sebarkan kembali seluas-luasnya.

Pada saat ini, tahun 2016, seluruh eks pengurus, tokoh, atau simpatisan PKI ini, serta keturunan mereka, telah sepenuhnya mempunyai dan menikmati seluruh haknya, baik hak sipil dan politik, maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya. Beberapa orang keturunan mereka bahkan sudah duduk sebagai anggota, bahkan pimpinan, pada lembaga-lembaga tinggi negara.

Sudah barang tentu, masyarakat Indonesia yang mendukung Pancasila merasa heran, bahkan gelisah, dengan rangkaian aksi yang dilakukan oleh para pendukung ideologi Marxisme-Leninisme/Komunisme dan PKI ini, yang dalam bulan-bulan belakangan ini  bukan saja menyebarluaskan literatur Marxisme-Leninisme/Komunisme dan mendistribusikan artibut PKI dalam berbagai bentuk, tetapi juga telah menggugat Ketetapan MPR Nomor- TAP-XXV/MPRS/1966; menuntut Negara Kesatuan Republik Indonesia disebuah pengadilan informal di luar negeri; bahkan mengadakan sebuah simposium nasional, yang jelas terkesan memberi angin kepada aksi pendukung PKI ini. Lebih mengherankan lagi, bahkan ada tuntutan agar Negara cq Pemerintah meminta maaf kepada mereka yang telah menjadi korban dari reaksi masyarakat , yang justru telah terlebih dahulu menjadi korban kekerasan – yang disebut sebagai aksi sefihak ( aksef ) – dari jajaran PKI ini.

Mengingat bahwa seluruh warga masyarakat yang bersimpati kepada ideologi Marxisme-Leninisme/Komunisme dan eks PKI telah menikmati seluruh haknya, maka aksi yang berlangsung dalam bulan-bulan belakangan ini terasa sangat berkelebihan. Kita telah menerima mereka sebagai warganegara biasa, namun jika kita diminta untuk mengabsahkan makar terhadap keamanan negara yang pernah dilakukan oleh partai yang pernah mereka dukung, kita harus menyatakan menolaknya dengan tegas.

Jika pilihannya adalah antara Pancasila dengan Marxisme-Leninisme/Komunisme, tanpa ragu sedikitpun, kita akan memilih Pancasila. Jadi, jika pada tahun 1948 Bung Karno berkata: ““Pilih Soekarno-Hatta atau Musso”, maka kita sekarang berkata: “ Pilih Pancasila atau Komunisme”

Dalam hubungan ini kita memberikan penghargaan setinggi-tinggginya terhadap penegasan Pemerintah – seperti yang disampaikan oleh Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia, Panglima TNI, dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia – bahwa Pemerintah tetap berpegang teguh pada Ketetapan MPRS No. TAP-XXV/MPRS/1966; yang dilaksanakan dengan Undang-undang Nomor 27 tahun 1999, dan Pasal 107 a Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang melarang Ideologi Marxisme-Leninisme/ Komunisme dan PKI..Memang seyogyanyalah Pemerintah serta aparatur keamanan menegakkan hukum.

Sudah barang tentu, betapapun pentingnya, mengamankan Pancasila tidaklah cukup dengan mengakuinya secara politik, dan melarang ideologi Marxisme-Leninisme/Komunisme dan PKI dalam bentuk ketetapan MPR serta undang-undang saja. Ideologi adalah materi muatan konstitusisehingga penegasan bahwa Pancasila adalah Dasar dan Ideologi Negara, serta pernyataan pelarangan terhadap ideologi Marxisme-Leninisme/Komunisme – yang telah terbukti secara meyakinkan bertentangan dengan Pancasila sebagai Dasar dan Ideologi Negara– harus menjadi salahsatu mata addendum dalam “kaji ulang” terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen, atau biasa kami sebut sebagai Undang-undang Dasar 2000. Dengan kata lain, harus ada satu addendum ideologi dalam Undang-Undang Dasar 1945, sebagai penegasan Pancasila seperti tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah Dasar dan Ideologi Negara, dan Marxisme-Leninisme/Komunisme adalah ideologi terlarang. Hanya dengan cara demikianlah Pancasila akan memperoleh status yang lebih kukuh, dan ideologi Marxisme-Leninisme/Komunisme bisa dilarang secara mendasar.

Hadirin dan hadirat yang saya muliakan,

Pancasila sebagai Dasar dan Ideologi Negara harus ditindaklanjuti secara terencana, terstruktur, sistematis, dan berkelanjutan dalam sistem politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Dalam kenyataannya hal tersebut belum kita lakukan. Dalam kenyataannya, demikian banyak peraturan perundang-undangan, kebijakan pemerintahan, serta berbagai praktek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang bukan saja belum sesuai, tetapi juga bertentangan dengan sistem nilai Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Penyimpangan ini telah berlangsung secara menyolok sejak awal era Reformasi, yang sekarang ternyata demikian intensif disusupi oleh agen-agen asing yang melakukan berbagai kegiatan lobbying ideologi dan politik yang sangat gencar di tengah-tengah kesibukan para anggota DPR dan MPR antara tahun 1999 sampai dengan tahun 2002.

Kita patut bersyukur, bahwa berbagai undang-undang yang substansinya menyimpang dari semangat Pancasila tersebut telah diujimaterikan kepada Mahkamah Konstitusi, yang sebagian telah dibatalkan, baik untuk sebagian maupun untuk seluruhnya. Dengan tetap mensyukuri koreksi konstitusional tersebut, kita harus meningkatkan kewaspadaan, baik dengan lebih kritis meneliti berbagai rancangan undang-undang, maupun dengan lebih ketat menetapkan syarat menjadi legislator yang akan membentuk peraturan perundang-undangan kita.

Lebih dari itu, kita harus melanjutkan kembali pendidikan, penyegaran, dan pemikiran tentang  tindaklanjut  Pancasila ke dalam kenyataan. Pendidikan, penyegaran, dan pemikiran tentang  tindaklanjut  Pancasila ini harus berlangsung baik dalam pendidikan formal, maupun dalam pendidikan non formal, serta dalam pendidikan informal. Pendidikan, penyegaran, dan pemikiran tentang tindak lanjut Pancasila ini  perlu berlangsung baik di dalam masyarakat maupun dalam kalangan penyelenggara Negara sendiri.

Dalam kurun hampir dua dasawarsa ini kita sudah cukup mempunyai pengalaman yang amat pahit tentang apa yang bisa terjadi jika warga masyarakat kita bukan saja tidak mengenal Pancasila, tetapi juga membiarkan berkecamuknya berbagai ideologi yang sama sekali tidak sesuai dengan kesepakatan para Pendiri Negara. Keadaan tersebut telah membuka peluang bagi terjadinya apa yang disebut sebagai pembajakan negara oleh kalangan yang tidak menerima dan tidak mendukung Pancasila sebagai Dasar dan Ideologi Negara.

Tidak ada yang bisa membantah, bahwa tanpa Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, bahtera Negara ini bagaikan berlayar tanpa arah dan tanpa kendali, dan rentan terhadap pembajakan oleh kekuatan yang tidak menerima Pancasila. Sebagai akibatnya, Rakyat Indonesia – yang secara konstitusional adalah pemilik kedaulatan tertinggi di Negara ini – sekarang ini hanya menjadi sekedar pelengkap penderita dari berbagai kekuatan yang tidak peduli dengan Pancasila itu. Keadaan ini jelas tidak benar dan harus dihentikan.

 

Inilah “ pekerjaan rumah” ideologi kita sekalian untuk tahun-tahun mendatang. Artinya, perjuangan ideologi kita untuk mempertahankan Pancasila sebagai Dasar dan Ideologi Negara, tidaklah selesai dengan selesainya simposium dalam dua hari ini, serta dengan Apel Siaga Nasional yang insya Allah akan kita adakan pada tanggal 3 Juni mendatang.

Kita harus melanjutkan perjuangan ini sampai terwujudnya lima butir Tujuan Nasional yang tercantum dalam alinea kedua Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 melalui pelaksanaan secara tertib dari empat tugas konstitusional Pemerintahan Negara yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Seluruhnya ini harus diresapi oleh lima butir sila Pancasila, yang dilaksanakan dalam kerangka Kedaulatan Rakyat, dalam artian yang sesungguh-sungguhnya.

Semoga Allah Subhana Huwa Taala selalu melimpahkan rahmat, nikmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kita sekalian. Amin. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

 

*Judul Asli Tulisan ini adalah Mengamankan Pancasila Dari Ancaman Ideologi dan Eks PKI Sebagai pendukunh Marxisme-Leninisme/Komunisme dan Dari Ideologi Sejenis Lainnya.  Tulisan ini menjadi Keynote Speech pada acara Simposium dengan tema “ Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan Partai Komunis Indonesia dan Ideologi Lainnya”, di Balai Kartini, Jakarta, 1 Juni 2016.

** Penulis adalah Mantan Wakil Presiden Republik Indonesia.

 

 

 

 

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru