Jumat, 25 Juli 2025

Mengenang Benteng Moraya dan Perang 150 Tahun Di Tondano

Gambar cover depan buku Perang Tondano oleh Girot Wuntu (Ist)

TONDANO- Sore turun di Tondano. Monumen Benteng Moraya tegak berdiri di tengah persawahan dan rawa Danau Tondano. Jadi saksi atas perlawan ribuan rakyat dan waraney (laskar) Minahasa yang gugur dalam Perang Tondano selama 150 tahun. Mendiang Giroth Wuntu, seorang budayawan dalam bukunya, ‘Perang Tondano’ menyebutkan perang itu sebagai perang patriotik rakyat Minahasa melawan penjajahan Belanda yang berlangsung secara berulang-ulang dalam kurun waktu satu setengah abad. Perang perlawanan yang pertama telah dimulai pada 1 Juni 1661, dan berakhir dengan perang perlawanan terbesar pada 14 Januari 1807 sampai 5 Agustus 1809. Tulisan ini sekedar sebuah catatan perjalanan singkat Bergelora.com tentang pembangunan Benteng Moraya di Tondano.

Akhirnya, bangsa Minahasa punya monumen atas sejarah perang dahsyat mematikan melawan Belanda. Kisah perang panjang dari generasi ke generasi seperti kembali hidup di atas rawa-rawa Danau Tondano. Setelah sebuah tim menggali dan mengangkat kembali abad-abad gelap dari rawa Tondano.

“Dulu disini, ada tugu peringatan Perang Tondano dibangun Giroth Wuntu sewaktu menjadi Pelaksana Tugas Bupati pada tahun 1960-an. Sekarang sudah digantikan dengan monumen ini,” demikian Janri N.F. Rumambi, M.Pd, menceritakan. Ia bekerja menjadi guru di sebuah desa di Kakas tapi tinggal di Kiniar, tepi danau Tondano.

Istilah Benteng Moraya menurutnya disebut setelah Perang Tondano usai,– secara harafiah berarti ‘penuh dengan darah’. Benteng itu juga disebut sebagai tempat pertempuran atau pertarungan (Pààpal).

Tonggak-tonggak kayu raksasa sisa Benteng Moraya di Tondano (Ist)

Janri Rumambi menjelaskan, dulu Benteng Moraya didirikan antara wilayah Kiniar  dan Ro’ong yang disebut Minawanua. Daerah itu dipisahkan sebuah sungai kecil (salun oki) di sebelah timur yang dulu disebut Toulimambot dan di sebelah barat disebut Touliang.

Ujung dari perang besar itu telah menghancurkan Minawanua dan memencarkan rakyat mengungsi ke gunung-gunung di sekeliling danau sampai ke pantai selatan Sulawesi Utara.

Setelah perang Tondano menurut Janri Rumambi, hampir semua daerah Minahasa telah ditaklukkan. Walau demikian para Tona’as (panglima perang) yang tidak mau menyerah tetap menggunakan pesisir sekeliling Danau Tondano sebagai tempat persembunyian.

Sementara itu, setelah penaklukan tanah Minawanua, pemerintah Belanda tidak mengijinkan daerah itu kembali dihuni. Sebuah pemukiman (real estate) untuk Belanda dibangun di sebelah utara tanah Minawanua yang belakangan menjadi Kota Tondano yang dibelah oleh Sungai Tondano. Kota Tondano sendiri di desain oleh Inggris.

Kompleks waruga di pelataran Monumen Benteng Moraya, Tondano. (Ist)

“Belakangan, lama kelamaan kota Tondano menjadi tempat berkumpul kembali orang-orang Minahasa dan menjadi simbol persatuan dalam melawan penjajahan Belanda,” jelasnya.

Ine Rumagit dari Dinas Pariwisata yang ikut mempelopori penggalian kembali Benteng Moraya menjelaskan bahwa pembangunan Monumen Benteng Moraya ini bertujuan mengenang kembali perlawanan sengit rakyat Minahasa dan penderitaan atas penjajahan kolonial Belanda.

“Monumen ini juga bertujuan menegaskan kembali rakyat Minahasa dan rakyat Indonesia seluruhnya, bahwa kita saat ini berdiri diatas sejarah penderitaan dan kematian rakyat dan kaum patriot yang melawan Belanda penjajah. Jangan pernah kita sia-siakan perjuangan dan penderitaan mereka,” jelasnya.

Kristenisasi Monumen

Monumen perang besar di ujung utara Indonesia ini jauh dari gegap gempita politik elit di Jakarta. Sejarah Perang Tondanopun tidak pernah dikenal dalam pencatatan buku-buku resmi sejarah Indonesia. Namun hari ini Monumen Benteng Moraya telah menjadi identitas dan jiwa patriot orang Minahasa dimanapun berada.

Doa Bapa Kami disebelah relief Yesus Kristus di Menara Benteng Moraya, Tondano (Ist)

Memasuki gerbang monumen, terdapat 12 tugu tiang di kiri dan kanan pelataran yang berisikan kisah legenda asal usul orang Minahasa dari To’ar Lumimu’ut, Perjanjian Pinabetengan sampai Perang  Tondano sendiri.

Legenda menceritakan nenek moyang orang Minahasa yang bernama To’ar Lumimu’ut.  Perjanjian  di batu Pinabetengan sekitar 1.000 SM yang berisikan pembagian wilayah sembilan sub-etnis Minahasa yang meliputi suku Tontembuan, Tombulu, Tonsea, Tolowur, Tonsawang, Pasan, Ponosakan, Bantik dan Siao. Selain membagi wilayah, para tetua suku-suku tersebut juga menjadikan tempat ini untuk berunding mengenai semua masalah yang dihadapi.

Beberapa tiang-tiang kayu besar dari sisa Benteng Moraya sebagian sudah berhasil diangkat dan dikumpulkan di pinggir utara koloseum yang belum selesai. Belum diketahui jenis kayu yang 200-an tahun terendam dalam rawa Tondano.  Sejumlah waruga (kuburan tua) tak dikenal juga berdiri tegak menyimpan suram dan dendam. Waruga adalah batu gunung yang dilubangi tempat menyimpan mayat.

Di pusat pelataran, berdiri menara 5 tingkat menjulang. Disekeliling dinding menara digambarkan relief berbagai peristiwa dalam  perang Tondano dan semua nama kaum patriot dari seluruh wilayah Minahasa yang memimpin perlawanan terhadap Belanda.

Yang paling menonjol merebut perhatian sebenarnya adalah,– pada dinding lantai dasar luar menghadap ke  pelataran masuk, dipatri sebuah relief bergambar ‘Yesus Kristus’ dalam kisah naik ke surga. Relief Yesus Kristus itu lengkap diapit doa ‘Bapa Kami’ dalam bahasa Indonesia di sebelah kanan dan bahasa  Inggris di sebelah kiri.

Tanpa mengurangi rasa hormat,– ingin rasanya bertanya apa hubungan Yesus Kristus itu dengan Benteng Moraya? Karena perang Tondano tersebut bukan bagian dari sejarah Yesus Kristus apalagi berhubungan dengan ajaran Kristus. Perang Tondano sendiri sejatinya bukan perang agama tapi perang rakyat melawan penjajah Belanda.

Monumen Benteng Moraya, Tondano (Ist)

Sebuah versi umum menjelaskan bahwa kekristenan baru mulai diperkenalkan di tanah Minahasa oleh dua misionaris Jerman yang dididik di Belanda, yaitu Johann Friedrich Riedel dan Johann Gottlieb Schwarz, yang diutus oleh Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG), sebuah badan pekabaran Injil asal Belanda. Pada tanggal 12 Juni 1831 mereka tiba di daerah ini untuk memberitakan Injil. Tanggal ini diperingati oleh GMIM (Gereja Masehi Injil Minahasa) sebagai Hari Pekabaran Injil dan Pendidikan Kristen di tanah Minahasa. Sementara perang Tondano terjadi jauh sebelum ajaran Kristen dikenal yaitu 1661 dan berakhir 1809.

Seorang peneliti muda, Vitae Worotitjan menjelaskan sebuah versi bahwa agama dan keyakinan orang Minahasa saat itu dikenal dengan agama Malesung. “Agama ini dipimpin oleh pendeta-pendeta perempuan yang menyembah Dewi, bukan Dewa,” jelasnya di Jakarta. Agama Malesung saat ini malah punah digantikan dengan agama Kristen,– setelah perang besar tersebut.

Kristenisasi Monumen Benteng Moraya tersebut justru tidak konsisten dengan tujuan menjadi ‘Pemersatu’ seluruh rakyat Minahasa yang saat ini terdiri dari berbagai agama di tanah Minahasa. Apalagi pemersatu Bangsa Indonesia.

Sebaliknya, menyelipkan penampakan Yesus Kristus dan ‘Doa Bapa Kami’ Nya itu sendiri sebenar juga bertentangan dengan doktrin ‘Jangan ada padamu ilah lain’ dalam ajaran Kristen. Sikap memaksakan ajaran Kristen dalam peristiwa sejarah Perang Tondano justru menghilangkan otentifikasi sejarah yang nyata, sekaligus mengacaukan ajaran Kristus itu sendiri.

Mencampurkan konsep agama Kristen pada sejarah perang Tondano itu rentan terhadap berbagai tafsir dimasa akan datang. Tafsir salah yang paling berbahaya adalah jika nanti ada anggapan kekalahan rakyat Minahasa dalam perang Tondano merupakan pintu masuk agama Kristen di Tanah Minahasa.

Walaupun mayoritas rakyat Minahasa beragama Kristen dan Katholik, namun sejarah dan Monumen Benteng Moraya itu adalah juga milik  orang Minahasa yang mungkin beragama lain. Benteng Moraya yang seharusnya memiliki nilai patriotisme kebangsaan dan menjadi eksistensi bangsa Minahasa,–sebaliknya menjadi kerdil dan terisolir oleh sektarianisme. Akibatnya, monumen ini  gagal menggelorakan kembali semangat patriotisme bangsa Minahasa sebagai bagian sejarah perjalanan perjuangan revolusioner bangsa Indonesia dan peradaban umat manusia.

Tentu mayoritas orang Minahasa yang beragama Kristen senantiasa percaya harus menjadi berkat bagi semua orang. Seperti yang sudah ditegaskan lebih nyata oleh Dr. Sam Ratulangi, ‘Sitou Timou Tumou Tou’ (Hidup adalah menghidupi orang lain). Sejarah Benteng Moraya yang barusan digali kembali selayaknya menjadi berkat bagi semua orang di Minahasa, Indonesia dan peradaban umat manusia di masa kini dan masa depan. Selama ini ajaran Kristen telah menjadi bagian kehidupan rakyat Minahasa, tanpa harus meninggalkan dan melupakan apalagi memanipulasi sejarah dan budaya Minahasa.

Lembaga Sejarah Minahasa

Saat ini memang telah bangkit kesadaran sejarah dikalangan anak muda Minahasa. Berbagai penulisan telah dimulai dengan berbagai versi. Bersamaan dengan penggalian Benteng Moraya, pernah ada rencana untuk membuat film Perang Tondano. Penggalian sejarah sampai ke perpustakaan di Belanda. Namun pembuatan film tersebut kandas karena kekurangan data sejarah. Konon pemerintah Belanda keberatan membuka dokumen pencatatan Perang Tondano yang konon berisikan kekejaman Belanda dalam perang Tondano.

“Namun dari turun temurun cerita orang tua-tua, menyampaikan bagaimana kekejaman kolonial Belanda dalam Perang Tondano. Sampai anak bayi pun dibantai supaya tidak tersisa dendam sejarah,” terang Janri Rumambi.

Keberadaan Monumen Benteng Moraya memang masih membutuhkan masukan konsep yang objektif dan kuat dari para sejarawan dan mahasiswa sejarah,– khususnya yang ada di Sulawesi Utara. Jangan sampai dimasa depan, monumen ini justru membingungkan bahkan menyesatkan generasi mendatang.

Mungkin sudah waktunya dibentuk sebuah Lembaga Sejarah Minahasa yang otoritatif bertugas menggali dan merumuskan setiap peristiwa besar perkembangan peradaban bangsa Minahasa,– dari Toar Lumimuut sampai masa kini.

Perbaikan dan melengkapi terhadap makna Monumen Benteng Moraya harus menjadi momentum penggalian sejarah yang serius karena akan dipersembahkan menjadi milik generasi mendatang orang Minahasa, Bangsa Indonesia dan peradaban dunia. (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru