Oleh: Yul Amrozi **
ALKISAH di sebuah dimensi lain berlatar Jetis JT II Cokrodiningratan 217 medio 92-93
“Su …!! Tangi Su ….!!” kata sebuah suara memecah kesunyian ….
“Wah …. Opo iki ?!” kata suara yang terpaksa harus bangun di tengah tidur nyenyaknya
“Ojo turu wae, bocah nggathéli,” kata suara itu sambil setengah bersungut-sungut
“Woo..oo lha kowe toh Jat?!” kata suara yang barusan bangun
“Yo, Pak Item, iki aku lagi teko,” kata suara yang baru datang
Kira-kira begitu lintasan kenangan bercampur mimpi yang terbayang di dalam sebuah swarga. Seorang kawan dengan kacamata minus, berkulit gelap, ditemani kumis tipis tak seberapa di antara ujung bibir yang juga tipis, dengan gigi sedikit kelabu membangunkan seorang laki-laki muda berkulit tak kalah gelap, dengan putih mata yang kekuningan, jelang tiga puluhan yang berselimut sarung.
Laki-laki itu tidur di atas karpet hijau yang umum sekali dipakai orang di akhir 80-an.
Keduanya punya gaya yang nyaris sama, celana jeans yang entah berapa lama tidak dicuci, dengan kaos oblong yang pantang disetrika. Jangan tanya apakah mereka sudah ada yang mandi.
Rutinitas mengguyur badan dengan air bukan merupakan hal yang cukup penting buat mereka. Mereka lebih mementingkan berkumpul dan berjalan.
Dua orang ini sering hanya dengan bersandal jepit berjalan kaki satu, dua, hingga beberapa kilometer untuk berkunjung ke tempat yang mereka suka.
“Udah, ngopi Jat?” kata si hitam kepada yang baru datang dengan logat Sunda-Banjar yang kental.
“Durung … Cuk!” balas si kacamata yang langsung saja mencari apakah ada sisa-sisa rokok di meja pendek dekat karpet.
“Aku bikinin ya Jat?!” kata si hitam sambil menoleh sedikit ke arah dapur di pintu belakang
“Gayamu, Ndi!” sahut si kacamata dengan logat Jepara yang kental
“Tenan lho iki, tak nyalain kompor,” si hitam sedikit beranjak
“Opo yo kompormu ono lengone, Su !” kata si kacamata sambil nyengir lebar.
“Ada, ada lah walau cuma tinggal sumbunya, tapi kan bisa rebus air,” kata si hitam
Si hitam pun beranjak ke dapur yang sebenarnya bukan dapur. Cuma pojokan dinding separuh terbuka yang bersebelahan dengan bak mandi. Di pojok itu bertengger kompor karatan berbahan bakar minyak tanah yang entah kapan diisi.
Sumbu-sumbu kompor itu sebagian sudah menghitam dan rata dengan tepinya, tetapi masih ada beberapa sumbu yang bisa disulut dengan korek api berjudul Sakerhets Tandstickor.
“Dari mana aja, Jat?” tanya si hitam, kepada si kacamata
“Yo mlaku-mlaku Ndi,” kata Jati yang kepada Andi “Item” yang lama tidak dia jumpai.
“Kowe kok iseh kelingan aku, kan sudah lama toh?” tanya si hitam
“Mosok yo lali Su ! Matamu kuwi lho, kowe sing suwe wis minggat ndisik,” lanjut si kacamata
Tak seberapa lama ceret berisi air sudah mengepulkan uapnya, bau sangit kompor yang dipaksa menyala sudah mengudara. Air mendidih pun bersatu dengan satu setengah sendok kopi bungkus plastik yang tidak ada mereknya.
Dua gelas belimbing dengan kopi yang bercampur sedikit gula pasir siap menyambut pembicaraan dua sahabat yang lama tak bersua.
*Artikel diambil dari akun Facebook Yul Amrozi
**Penulis: Yul Amrozi, kawan seperjuangan Raharjo Waluyo Jati