Oleh: Markus Wauran *
TEKNOLOGI PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) ditemukan pada tahun 1839. Fisikawan asal Perancis Edmond Becquerel menemukan efek fotovoltaik saat melakukan eksperimen dengan sel yang terbuat dari elektroda logam dalam larutan konduktor. Dalam eksperimen tersebut, Edmond menemukan sebuah sel yang menghasilkan lebih banyak listrik ketika terkena cahaya.
Kemudian pada tahun 1873, Willoughby Smith menemukan senyawa kimia, selenium dapat berfungsi sebagai fotokonduktor. Berselang tiga tahun kemudian,
William Grylls Adams dan Richard Evans Day menerapkan prinsip fotovoltaik yang ditemukan oleh Becquerel pada selenium. Mereka menemukan bahwa selenium sebenarnya bisa menghasilkan listrik saat terkena cahaya.
Hampir 50 tahun setelah penemuan efek fotovoltaik, pada 1883, penemu Amerika Charles Fritz menciptakan panel surya selenium pertama dan berhasil menghasilkan listrik. Panel surya selenium ini adalah cikal bakal dari penggunaan silikon dalam panel surya modern.
Di satu sisi, banyak fisikawan berperan dalam penemuan sel surya. Becquerel dikaitkan dengan pengungkapan potensi efek fotovoltaik, dan Fritz dengan benar-benar menciptakan nenek moyang semua sel surya.
Pada tahun 1905, Alber Einstein menerbitkan sebuah makalah tentang efek fotolistrik dan bagaimana cahaya membawa energi. Tulisan Enstein ini berhasil menarik banyak perhatian dan membuat penerimaan pengunaan energi surya di banyak bidang.
COP 15 dan PLTS
Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan konferensi tahunan, yang pertama kali diadakan di Berlin, Jerman, thn 1995, sebagai pertemuan formal bagi peserta UNFCCC (United Nations Framework Convention On Climate Change) yang juga disebut Conference of the Parties (COP). COP 21 dilaksanakan di Paris tahun 2015.
Dilansir dari situs UNFCCC (United Nations Framework Convention On Climate Change), berikut beberapa isi Paris Agreement COP 15 :
1. Berupaya membatasi kenaikan suhu global sampai di angka minimum 1,5º Celcius, dan di bawah 2º Celcius untuk tingkat pra-industri;
2. Mengurangi tingkat emisi gas rumah kaca dan aktivitas serupa, guna meminimalkan emisi gas serta mencapai target emisi net zero atau nol bersih;
3. Seluruh negara wajib memiliki dan menetapkan target pengurangan emisinya. Target ini akan ditinjau tiap lima tahun sekali, agar meningkatkan ambisi pengentasan perubahan iklim;
4. Negara maju membantu negara miskin dalam pendanaan atau pembiayaan iklim, mendukung implementasi energi terbarukan yang lebih efektif, serta beradaptasi dengan perubahan iklim. Paris Agreement 15/COP 15 ini, disetujui/ditanda-tangani oleh Indonesia di markas PBB New York, pada tgl 22 April 2016, kemudian telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang No.16 tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change.
Khusus menyangkut butir 2 dan 3 di atas, maka Indonesia telah menjabarkaan dalam Komitmen NDC (Nationally Determined Contribution) untuk mencapai penurunan emisi 29% pada 2030 dan se-lambat-lambatnya net zero emission pada 2060 (bisa dipercepat tahun 2050).
Untuk mewujudkan program tersebut, perlu dukungan teknologi dan investasi. Teknologi yang dimaksud antara lain adalah teknologi energi yang ramah lingkungan/energi hijau. Energi hijau ini berasal dari energi baru dan terbarukan (EBT).
Terkait dengan upaya pengurangan emisi karbon ini antara lain melalui pembangunan energi baru dan terbarukan, maka Menteri ESDM seusai KTT G20 Nopember 2022, mengatakan bahwa pembangkit listrik tambahan setelah 2030 hanya akan dari energi baru-terbarukan dan tahun 2035 akan didominasi variable EBT. Sedangkan PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) akan masuk ke sistim pada awal 2040. Saat sekarang, salah satu energi terbarukan yang mendapat prioritas Pemerintah adalah PLTS.
PLTS adalah pembangkit listrik yang mengubah energi surya menjadi energi listrik. Pembangkitan listrik dengan energi surya dapat dilakukan secara langsung menggunakan fotovoltaik, atau secara tidak langsung dengan pemusatan energi surya. Fotovoltaik mengubah secara langsung energi surya menjadi energi listrik menggunakan efek fotolistrik.
Komponen utama di dalam pembangkit listrik tenaga surya meliputi modul surya, inverter, dan baterai listrik. Sistem pembangkit listrik tenaga surya terbagi menjadi sistem terhubung jala listrik, sistem tidak terhubung jala listrik, sistem tersebar, sistem terpusat dan sistem hibrida. Masing-masing jenis sistem mempunyai kondisi penerapannya tersendiri.
Proses pembangkitan energi listrik menggunakan energi surya bersifat melimpah di daerah yang disinari matahari sepanjang tahun. Selain itu, PLTS juga tidak memerlukan bahan bakar. Di daerah pedesaan, bahan bakar umumnya dijual dengan harga yang mahal karena sulit untuk diperoleh dalam jumlah banyak. Keunggulan teknologi fotovoltaik untuk pembangkitan listrik adalah tidak memerlukan proses penyaluran energi dan energi listrik yang dihasilkan dapat digunakan langsung di tempat transformasi energi.
PLTS tak terhubung jaringan disebut juga sebagai PLTS berdiri sendiri. Pengelolaannya dilakukan secara bersama oleh para pemakai energi listrik hasil transformasi energi dari energi surya. PLTS beroperasi secara mandiri tanpa terhubung dengan jaringan listrik. Penyimpanan energi listriknya membutuhkan baterai. Sistem pemusatan energi surya menggunakan lensa atau cermin dan sistem pelacak untuk memfokuskan energi matahari dari luasan area tertentu ke satu titik. Panas yang terkonsentrasikan lalu digunakan sebagai sumber panas untuk pembangkitan listrik biasa yang memanfaatkan panas untuk menggerakkan generator. Sistem cermin parabola, lensa reflektor Fresnel, dan menara surya adalah teknologi yang paling banyak digunakan.
Surya Bendungan Jatibarang Lompatan besar menuju pengunaan PLTS seperti yang digunakan sekarang ini berasal dari temuan Bell Labs pada tahun 1954. Tiga ilmuwan Bell Labs yakni Daryl Chapin, Calvin Fuller, dan Gerald Pearson, menciptakan PLTS yang lebih praktis dengan menggunakan silikon.
Keuntungan PLTS dengan silikon adalah efisiensi yang lebih baik dan jumlahnya yang tidak terbatas di alam bila dibandingkan dengan selenium. Popularitas PLTS seiring berkembangnya penjelajahan di ruang angkasa, PLTS pun digunakan untuk memberi daya pada berbagai bagian pesawat ruang angkasa sepanjang akhir 1950-an dan 1960-an. PLTS pertama kali digunakan pada satelit Vanguard I pada tahun 1958, diikuti oleh Vanguard II, Explorer III, dan Sputnik-3.
Pada tahun 1964, NASA kemudian meluncurkan satelit Nimbus, yang beroperasi sepenuhnya pada susunan panel surya fotovoltaik 470 watt. PLTS sudah banyak tersebar luas di berbagai daerah di Indonesia. Hal ini untuk memenuhi target pemerintah terhadap bauran energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 23% sampai di tahun 2025. Pasalnya, saat ini masih banyak potensi energi surya yang belum termanfaatkan.
Potensi pembangkit listrik yang berasal dari tenaga surya di Indonesia hanya sekitar 207,8 Giga Watt peak (GWp) dan serapannya baru sekitar 0,15 MWp atau setara dengan 0,23%. Oleh karena itu, pemerintah menargetkan penggunaan PLTS sebesar 908 Megawatt Peak (MWp) sampai tahun 2029. Dalam mencapai target PLTS tersebut, saat ini semakin banyak PLTS besar yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
Berikut ini empat lokasi PLTS terbesar di Indonesia yang yaitu:
1. PLTS Likupang. PLTS terbesar di Indonesia yang pertama dengan 64.620 panel surya yang tersusun di Desa Wineru, Kecamatan Likupang Timur, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara. Panel surya ini terbentang di ladang seluas 29 hektar. PLTS Likupang digunakan secara masif sebagai sumber energi listrik terbaru sejak 5 September 2019. Rata-rata panel surya ini mampu menyalurkan listrik sebesar 15 MW setiap harinya.
PLTS Likupang dapat dianggap menjadi salah satu PLTS terbesar di Indonesia karena mampu mendukung sistem jaringan listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) di kawasan Sulawesi Utara-Gorontalo.Sistem produksi listrik PLTS Likupang terhubung langsung jaringan listrik milik PLN secara online tanpa baterai.
PLTS Likupang dibangun sejak adanya Power Purchase Agreement (PPA) pada akhir 2017 dan memakan waktu pembangunan sekitar 1,5 tahun dengan total biaya investasi mencapai USD 29,2 juta. PLTS raksasa ini sudah dilengkapi dengan 120 buah arry box, 24 set inverter, serta 6 PV box dengan sistem kontrak jual-beli listrik yang berlaku hingga 20 tahun ke depan. Kontrak jual beli listrik tersebut diketahui menggunakan skema Build, Own, Operate, Transfer (BOOT);
2. PLTS Oelpuah. PLTS terbesar di Indonesia lainnya adalah PLTS Oelpuah, dengan kapasitas sebesar 5 MW. PLTS milik PT Lembaga Elektronik Nasional (LEN) tersebut membantu PLN mengatasi defisit di sistem Timor di mana terdapat pemadaman bergilir selama siang hari. Pemadaman bergilir tersebut bisa diatasi sejak akhir Desember 2016 lalu yang menjadi awal beroperasinya PLTS ini. Ribuan panel surya terbentang di atas lahan seluas 7,5 Ha di mana satu unit panel mampu menghasilkan listrik sekitar 230 watt. Energi ini bisa dijual kembali ke pihak PLN dengan harga US¢25 per kWh dengan waktu kontrak selama 20 tahun.
PLTS Oelpuah tidak memerlukan biaya operasional yang besar layaknya diesel yang membutuhkan ribuan liter solar untuk melistriki daerah NTT. PLTS Oelpuah beroperasi dari jam 07.30-17.00 WITA setiap harinya dengan rata-rata produksi sekitar 3-4 MW;
3. PLTS CCA (CocaCola Amatil). PLTS terbesar lainnya di Indonesia adalah PLTS Coca Cola Amatil. PLTS atap CCA memiliki area seluas 72.000 meter persegi di Cikarang Barat, Jawa Barat dan akan menghasilkan tenaga surya 7,13 megawatt peak (MWp) saat kapasitas puncak pada siang hari atau 9,6 juta kilowatt hour (kWh) per tahun. Investasi awalnya sebesar Rp.87M;
4. PLTS Waduk Cirata. Proyek pembangunan PLTS terapung Cirata merupakan hasil dari kerjasama dengan perusahaan asal Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA), Masdar dengan PT Pembangkit Jawa Bali (PT.PJB), anak perusahan PT PLN. Kerjasama tersebut ditandatangani tanggal 12 Januari 2020 lalu di Abu Dhabi. Nilai investasinya mencapai angka US$129 juta dengan harga jual beli listrik yang telah disepakati sebesar US¢5.82 untuk hitungan per kWh.
Selain nilai proyek yang besar, waduk ini bakalan dibangun di atas lahan hampir 240 hektare dan target konstruksi yang ditetapkan selama 16 bulan. PLTS Waduk Cirata adalah PLTS terapung terbesar di Asia Tenggara. Kapasitasnya 145 MW. Kapasitas itu lebih besar dari PLTS Cadiz Solar Powerplant Filipina dengan kapasitas 132,5 MW.
Disisi lain Perusahaan Pengembang PLTS, Quantum Power Asia, menyatakan kesediaannya untuk berinvestasi dalam proyek PLTS berskala besar di Ibu Kota Negara Nusantara (IKN), yang terletak di Kalimantan Timur. Adapun nilai investasi yang akan dikucurkan sebesar USD 7 miliar atau setara Rp 105 triliun (kurs Rp 15.000).
Kelebihan PLTS
Langkah memberdayakan Nusantara melalui energi bersih merupakan bentuk aksi kami sesuai prinsip utama Quantum yaitu Indonesia First, kata Simon G. Bell, Managing Director dan CEO Quantum, saat mengunjungi IKN 31 Mei 2023 bersama Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut B. Pandjaitan dan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono.
Berdasarkan Global Energy Monitor, kapasitas pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang beroperasi di dunia mencapai 365.997 MW hingga Januari 2023. Sementara, kapasitas PLTS yang masih dalam pembangunan sebesar 172.224 MW. China menjadi negara dengan kapasitas PLTS terbesar di dunia pada saat ini. mencapai 175.767 MW.
Amerika Serikat (AS) urutan kedua sebesar 50.147 MW. Urutan ke-3 ditempati India sebesar 37.820 MW, Vietnam sebesar 12.300 MW, Meksiko sebesar 12.119 MW, Jepang sebesar 8.434 MW, Sementara Australia dan Spanyol masing-masing sebesar 7.840 MW dan 6.220 MW
Kelebihan PLTS yang menjadi daya tariknya, adalah sebagai berikut:
1. Energi Melimpah. Kelebihan pembangkit listrik tenaga surya terpenting adalah energi yang dihasilkan didapat dari sumber yang berlimpah yaitu matahari.Matahari tidak akan ada habisnya, tidak seperti beberapa sumber energi lain meski matahari akan tersedia setidaknya selama 5 miliar tahun kedepan.
2. Mengurangi Tagihan. Tagihan listrik bulanan akan turun atau minimal hanya membayar biaya beban bulanan. Bahkan bisa tidak sama sekali jika menggunakan PLTS offgrid.
3. Tambahan Penghasilan. Ada kemungkinan untuk menerima pembayaran atas kelebihan energi yang dijual kembali ke jaringan PLN. Jika PLTS menghasilkan lebih banyak listrik daripada yang digunakan maka dapat diekspor ke PLN.
4. Beragam Keperluan. Energi matahari dapat digunakan untuk berbagai tujuan, baik untuk menghasilkan listrik atau panas, menghasilkan listrik di daerah yang tidak memiliki akses ke jaringan PLN, menyaring air dengan persediaan air bersih yang terbatas, dan untuk menggerakkan satelit di luar angkasa. Energi matahari juga dapat diintegrasikan ke dalam material yang digunakan untuk bangunan, seperti memasang panel surya di atap dan jendela.
5. Perawatan Mudah. Sistem tenaga surya umumnya tidak membutuhkan banyak perawatan, hanya perlu menjaganya tetap bersih dan membersihkannya beberapa kali dalam setahun. Selain itu, karena tidak ada bagian yang bergerak maka tidak akan ada keausan. Meskipun, ada inverter yang biasanya menjadi bagian yang perlu diganti setelah 5-10 tahun karena terus bekerja mengubah energi matahari menjadi listrik. Selain inverter, kabel juga perlu perawatan untuk memastikan sistem tenaga surya bekerja dengan efisiensi.
6. Teknologi Terbaru. Teknologi dalam industri tenaga surya terus berkembang dan peningkatannya akan semakin intensif di masa depan. Inovasi dalam fisika kuantum dan nanoteknologi berpotensi dapat meningkatkan efektivitas panel surya dan bahkan dapat menggandakannya hingga tiga kali lipat dari input listrik panel surya.
Kekurangan PLTS
Sebelum memutuskan memasang panel surya di rumah, ketahui beberapa kekurangan PLTS berikut ini:
1. Biaya Awal Tinggi. Biaya awal untuk membeli komponen tenaga surya yang masih cukup mahal, termasuk untuk membeli panel surya, rak, scc, inverter, baterai, dan kabel.
2. Ketergantungan Cuaca. Meskipun energi matahari masih dapat diperoleh saat mendung dan hujan, namun efisiensinya mengalami penurunan. Kelemahan PLTS saat cuaca mendung akan menghasilkan energi lebih sedikit dibanding cuaca cerah. Apabila beberapa hari mendung dan hujan, maka cadangan listrik bisa jadi tidak akan mencukupi untuk pasokan semua perangkat elektonik di rumah.
3. Baterai Mahal. Energi matahari dapat langsung digunakan atau disimpan ke baterai. Bank baterai dipakai pada PLTS sistem off grid dan hybrid, dimana pengisian baterai dapat dilakukan dari pagi hingga sore hari. Dengan begitu energi yang disimpan dapat digunakan saat malam tiba. Cara ini merupakan pilihan yang tepat agar dapat menggunakan energi matahari sepanjang hari. Hanya biaya yang harus dikeluarkan cukup mahal untuk mendapatkan baterai dalam jumlah yang banyak.
4. Butuh Ruangan. Semakin banyak listrik yang ingin dihasilkan, semakin banyak panel surya yang diperlukan, karena sinar matahari harus dikumpulkan sebanyak mungkin. Akibatnya butuh banyak ruang/lahan/atap yang besar untuk memuat sejumlah panel surya.
5. Limbah dan Polusi. Meskipun polusi yang terkait dengan sistem energi matahari jauh lebih sedikit dibandingkan dengan sumber energi lain. Ada beberapa bahan beracun dan berbahaya yang digunakan selama proses pembuatan panel surya. Secara tidak langsung bahan tersebut dapat menciptakan limbah di kemudian hari.
Namun demikian, polusi energi matahari jauh lebih sedikit dibandingkan dengan sumber energi alternatif lainnya. Perlu diketahui bahwa kelebihan dan kekurangan PLTS tersebut bersifat umum bagi semua sistem baik On Grid, Off Grid, dan Hybrid yang semuanya memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing.
Menghambat PLTN
Karena kebijakan Pemerintah saat ini memberi prioritas pada pembangunan PLTS, mengakibatkan pembangunan PLTN terus terhambat. Jika dibandingkan dengan negara-negara penghasil PLTS terbesar didunia seperti China, AS dan India dengan jumlah penduduk terbanyak didunia.(China No.1, India No.2, AS No.3), dimana mereka juga saat ini sedang membangun PLTN (Cina 21 unit, India 8 unit, AS 1 unit) disamping yang sedang beroperasi (AS-93 unit, Cina-55 unit, India-19 unit), maka sebaiknya Indonesia dengan jumlah penduduk No.4 didunia, perlu juga berikan prioritas pada pembangunan PLTN sebagai energi hijau, bukan terus dikorbankan karena kepentingan sepihak.
Prioritas pembangunan PLTN perlu diwujudkan karena Indonesia sudah siap dan telah memenuhi syarat. Jangan tunda lagi. Ada negara-negara yang bersedia membiayai pembangunan PLTN sampai 90%, sehingga tidak memberatkan APBN, seperti Rusia/ROSATOM yang sedang membangun PLTN di Turki(4 unit) dan Bangladesh(2 unit).
Pada tahap awal bisa membangun PLTN Terapung, dimana tongkangnya memiliki 2 unit dengan kapasitas kecil masing-masing 35MWe yang cocok untuk daerah-daerah kepulauan yang saat ini kebutuhan listriknya perlu prioritas. Pemerintah harus adil dan jujur bagi bangsa ini, dalam memanfaatkan potensi dan kemampuan bangsa, jangan pilih kasih,demi kepentingan rakyat banyak dan rakyat kebanyakan.
Jakarta, Juni 2023.
*Penulis Drs. Markus Wauran, Wakil Ketua Dewan Pendiri HIMNI