Kamis, 3 Juli 2025

Menolak Pembangunan Smelter Di Wilayah Adat Kamoro

JAKARTA- Smelter PT. Freeport Indonesia akan dibangun di tanah Papua. Terdengar menarik di tengah ketertinggalan provinsi ini dari wilayah lain. Bahkan, bukan hanya smelter, tapi juga sebuah kawasan industri besar seperti pabrik semen, pupuk, pembangkit listik, pelabuhan dan industri perikanan. Sejumlah LSM, lembaga adat dan organisasi menolak pembangunan Smelter, Pabrik Semen, Pupuk dan Kawasan Industri Di Wilayah Adat Suku Kamoro, Papua.

 

“Kami dari berbagai elemen masyarakat sipil dan perwakilan Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamoro menyatakan menolak pembangunan Smelter PT. Freeport Indonesia dan kawasan industri lainnya di Wilayah Adat Kamoro. Menuntut Pemerintah untuk melindungi dan mengakui hak wilayah adat Suku Kamoro,” demikian Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Iwan Nurdin kepada Bergelora.com di Jakarta, Minggu (7/6).

Ia mempertanyakan mengapa lagi-lagi pembangunan tersebut berada di tanah Suku Kamoro. Suku yang selama puluhan tahun telah menderita akibat tailing PT. Freport dan sekarang, atas nama pembangunan tanah adat mereka harus diambil untuk pembangunan yang bisa jadi tak akan dirasakan manfaatnya oleh Suku Kamoro, yang masih hidup dalam tradisi meramu.

“Wilayah adat Kamoro yang sebagaian besar merupakan area pesisir, kaya dengan sumber kehidupan alam seperti hutan mangrove, sagu dan ikan yang merupakan sumber kehidupan utama bagi masyarakat adat suku Kamoro, yang selama ini hidup meramu dari alam. Jika rencana pembangunan ini diteruskan,  tentu saja dampaknya terhadap lingkungan dan sosial ekonomi akan sangat merugikan bagi proses kelangsungan hidup masyarakat adat Kamoro,” jelasnya.

Iwan mengatakan, upaya penolakan pembangunan smelter PT Freeport  oleh masyarakat  suku Kamoro telah dilakukan berkali-kali. Namun rencana tersebut masih berlangsung. Rencana pembangunan smelter di wilayah adat Kamoro yang penuh rekayasa itu terus berjalan, tanpa adanya proses sosialisasi yang utuh atas dampak dan manfaatnya kepada masyarakat serta lembaga musyawarah adat Kamoro.

“Saat ini Suku Kamoro telah melakukan sasi, ritual adat yang menunjukkan agar tanah, hutan mangrove dan pantai mereka tidak boleh dijamah,” ujarnya.

Ia mengutip Ketua Lemasko, Robertus Waraopea yang mengatakan rencana pemerintah membangun Smelter di wilayah Poumako tidak dengan cara “mengetuk pintu” terlebih dahulu kepada masyarakat maupun lembaga adat. Padahal wilayah tersebut secara keseluruhan merupakan wilayah yang diklaim oleh masyarakat Kamoro.  

“Apalagi di sekitar lokasi itu terdapat pemukiman masyarakat adat Kamoro yang selama ini menggantungkan hidup dari mencari makanan di sungai-sungai wilayah adat mereka,” jelasnya.

Artinya menurutnya, secara prinsip melanggar hak masyarakat adat Suku Kamoro dan wilayahnya. Tentu secara perundang-undangan rencana ini pun bertentangan dengan Undang-undang Kehutanan No.41/1999 Pasal 2 tentang Mangrove, Keputusan MK 35/PUU-X/2012 tentang penegasan Hutan Adat adalah Hutan yang berada di wilayah adat,  serta Undang-undang No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua.

“Padahal jelas dalam UU No. 4/2009 tentang Minerba dan kewajiban bagi perusahaan untuk membangun smelter wajib memperhatikan peraturan perundang-undangan lainnya seperti Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5/1960, UU No.1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk menjamin keberadaan masyarakat dan ekosistem yang ada,” ujarnya.

Penolakan ini dilakukan oleh Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamoro (Lemasko) Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), PUSAKA, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Aliansi Petani Indonesia (API), Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dan PIL-NET (Calvin G. Eben-Haezer)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru