Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM ,CPARB *
PULAU Sangihe adalah sebuah pulau kecil di wilayah perbatasan utara Indonesia yang memiliki kekayaan hayati luar biasa dan merupakan rumah bagi ribuan masyarakat adat dan nelayan tradisional. Dalam konteks hukum nasional dan perlindungan lingkungan hidup, pulau kecil seperti Sangihe seharusnya tidak dijadikan lokasi pertambangan skala besar. Namun, kenyataannya, kehadiran PT Tambang Mas Sangihe (TMS) telah mengancam keselamatan ekologis dan eksistensi masyarakat di pulau ini.

Penolakan terhadap pertambangan di Sangihe bukan sekadar sentimen lokal, melainkan seruan konstitusional, moral, dan ekologis untuk menjaga kedaulatan negara atas wilayah yang rentan dan strategis.
Pulau Sangihe Adalah Pulau Kecil yang Harus Dilindungi
Dalam Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Pasal 23 secara tegas menyatakan:
“Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diutamakan untuk kegiatan konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budidaya laut, pariwisata, serta perikanan dan pertanian.”

Berdasarkan definisi hukum, pulau kecil adalah pulau dengan luas kurang dari 2.000 km². Pulau Sangihe, dengan luas hanya sekitar 736 km², jelas tergolong sebagai pulau kecil. Maka, seluruh kegiatan pertambangan yang merusak ekosistem di pulau ini bertentangan langsung dengan UU tersebut.
Alasan Kuat Menolak Pertambangan di Pulau Kecil seperti Sangihe adalah:
1. Mengancam Kelangsungan Hidup Ekologis dan Sosial
Pulau kecil bersifat rentan terhadap gangguan ekosistem. Kegiatan pertambangan akan mempercepat degradasi hutan, mencemari sumber air tawar, merusak laut sebagai ruang hidup utama masyarakat, serta memusnahkan spesies langka yang hanya ditemukan di pulau ini, seperti Tarsius sangirensis.

2. Menghilangkan Akses Rakyat terhadap Ruang Hidup
Sebagian besar masyarakat Sangihe bergantung pada laut dan hutan. Pertambangan emas skala besar, yang sempat mencakup 57% luas pulau, telah mengambil alih ruang hidup rakyat, menjadikan mereka asing di tanah sendiri. Ini adalah bentuk perampasan wilayah adat secara terselubung.
3. Melanggar Prinsip Keadilan dan Konstitusi
Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menjamin bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Operasi pertambangan di pulau kecil seperti Sangihe, apalagi setelah izin dibatalkan oleh pengadilan, merupakan pengingkaran terhadap konstitusi dan prinsip negara hukum.
4. Berpotensi Menimbulkan Bencana Sosial dan Ekologis
Tambang di pulau kecil berisiko tinggi menyebabkan longsor, banjir lumpur, keracunan logam berat, hingga hilangnya pasokan air bersih. Dengan luas daratan yang terbatas, kerusakan sekecil apapun akan berdampak luas dan tak terpulihkan.

Putusan Hukum Harus Dihormati
Mahkamah Agung melalui Putusan No. 650 K/TUN/2022 telah menyatakan pembatalan izin operasi produksi PT TMS.
Kementerian ESDM juga telah mencabut izin tersebut. Namun ironisnya, kegiatan pertambangan terus berlangsung secara ilegal. Ini adalah bentuk pembangkangan terhadap hukum dan ancaman serius terhadap prinsip negara hukum (rechtsstaat).
Penambangan di Pulau Kecil Adalah Pelanggaran HAM Ekologis
Konsep hak asasi ekologis (ecological human rights) menyatakan bahwa manusia memiliki hak untuk hidup dalam lingkungan yang sehat, bersih, dan berkelanjutan. Menambang di pulau kecil bukan hanya kejahatan terhadap alam, tapi juga terhadap manusia yang hidup bersamanya.
Dalam konteks Pulau Sangihe, tambang emas adalah bentuk kekerasan struktural terhadap masyarakat adat dan perempuan penjaga tanah air.

Tuntutan Kami: Lindungi Pulau Kecil, Stop Tambang Emas di Sangihe
Sebagai ahli hukum dan lingkungan, saya menyatakan bahwa pertambangan emas di Pulau Sangihe harus dihentikan secara total dan permanen. Pemerintah harus:
- Menetapkan Pulau Sangihe sebagai pulau kecil lindung, bebas tambang.
- Menindak tegas semua aktivitas penambangan ilegal.
- Mengembalikan ruang hidup rakyat kepada masyarakat adat dan lokal.
- Membangun ekonomi lokal berbasis kelautan, pertanian, dan ekowisata.
- Menghormati putusan pengadilan sebagai pilar supremasi hukum.
Pulau kecil seperti Sangihe adalah anugerah Tuhan dan aset strategis bangsa. Jika negara gagal melindungi pulau kecil dari tambang, maka negara sedang merintis jalan menuju kehancuran ekologis dan kemiskinan struktural.
Menolak tambang emas di Sangihe bukan berarti menolak pembangunan. Justru inilah pembangunan sejati—yang berpihak pada alam, rakyat, dan masa depan.
—-
*Penulis Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM ,CPARB adalah mantan Kepala Badan Intelejen Strategis (BAIS) TNI