JAKARTA- Masalah konflik pertanahan telah menjadi persoalan yang berkepanjangan. Selain itu permasalahan utama lainnya adalah ketidakpastian hukum atas penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah; ketimpangan penguasaan tanah; dan konflik tata ruang yang menghambat pembangunan. Hal ini disampaikan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/Kepala BPN) Sofyan Djalil dalam rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Gedung DPD, Jakarta, Selasa (6/12).
“Konflik pertanahan sudah mengganggu ekonomi, karena kepemilikan sertifikat tidak menjamin bebasnya gugatan, sehingga masyarakat tidak merasa aman. Presiden sudah menginstruksikan untuk jadi program prioritas, harus ada kepastian hukum,” ujar Sofyan.
Kepada Bergelora.com dilaporkan, Kementerian ATR/BPN juga membuat tim anti mafia tanah untuk membendung konflik pertanahan dan merekrut juru ukur berlisensi dalam jumlah yang besar.
“Walaupun konflik pertanahan itu persentasinya kecil hanya 2 persen dari 46 juta sertifikat yang kami keluarkan tapi tetap harus serius penanganannya”, tegas Sofyan.
Sofyan Djalil menambahkan program strategis kementerian ATR/Kepala BPN adalah percepatan legalisasi aset secara sistematik sebanyak 23,21 juta bidang. Program kedua yaitu Target Reforma Agraria sampai 2019 yaitu pelepasan kawasan hutan 4,1 juta Ha; tanah terlantar HGU 0,4 juta Ha; Tanah transmigrasi belum bersertifikat 0,6 juta Ha.
Program ketiga menurutnya adalah bank tanah untuk percepatan penyediaan tanah program strategis nasional. Program strategis yang dimaksud adalah listrik 35.000 MW, 7.388 km jalan tol, 24 bandar udara, 3.258 km jalur kereta api, 24 pelabuhan laut, 5 juta unit rumah MBR, 49 waduk, 1 juta hektar jaringan irigasi, 12 KEK dan 15 KI, 78 unit stasiun BBG dan 2 kilang minyak.
“Bank tanah ini penting, agar ketika kita akan membangun proyek strategis, tanah sudah tersedia, ” kata Sofyan.
Sementara itu Ketua Komite I, Akhmad Muqowam, senator dari Provinsi Jawa Tengah) dalam rapat kerja itu menegaskan perlu untuk membahas reforma agraria, soal tumpang tindih kepemilikan dan tanah terlantar.
Robiatul Adawiyah, senator dari Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) memberikan contoh mengenai kepemilikan 35 sertifikat hak milik (SHM) diatas hutan lindung Sekaroh di Lombok Timur. Padahal kawasan tersebut telah ditetapkan sebagai hutan lindung sejak tahun 1982.
“Daerah tersebut menarik investor. Sudah banyak mafia tanah yang menginginkan tanah tersebut. Harus segera diambil sikap seperti mencabut SHM tersebut,” ujar Robiatul.
Senator dari Provinsi Riau Intsiawati Ayus memberikan masukan untuk membatasi perpanjangan HGU perusahaan sebanyak dua kali, untuk selanjutnya diserahkan kepada pemerintah. Konflik soal HGU tersebut juga disampaikan oleh Syarif, Senator dari Provinsi Lampung yang mendapat aspirasi dari masyarakat yang akan menuntut PT di Lampung yang memperpanjang HGU tanpa izin masyarakat adat.
Komite I DPD RI sangat mengapresiasi dan mendukung upaya Kementerian ATR/Kepala BPN untuk menyelesaikan permasalahan sengketa, konflik, dan perkara pertanahan termasuk upaya melakukan pemberantasan mafia tanah. Komite I DPD RI juga meminta pemerintah melalui Kementerian ATR/Kepala BPN mempersiapkan pembentukan (revisi) Undang-Undang Kehutanan dan Undang-Undang Penataan Ruang.
“Kami juga mendukung percepatan pembentukan Bank Tanah untuk mewujudkan ketentuan UUD 1945 bahwa tanah dikuasai oleh negara dan menjamin pendistribusian tanah secara berkeadilan,” tutup Akhmad Muqowam. (Calvin G. Eben-Haezer)