Oleh: Dr Kurtubi
UNTUK masa jauh ke depan, agar energi nuklir (PLTN – Pembangkit Listrik Yenaga Nuklir), bisa mensupply listrik bersih dalam jumlah yang cukup dimana sumber energinya bersifat non-intermitten listriknya bisa nyala non stop 24 jam tanpa harus disimpan di baterai storage yang mahal. Sehingga biayai listrik dari energi nuklir disisi konsumen menjadi lebih murah. Dengan Teknologi PLTN generasi ke 4 yang mutakhir listriknya menjadi lebih aman. PLTN bisa menjamin kegiatan usaha skala rumah tangga, skala kecil, skala UMKM dan.skala besar termasuk untuk menggerakkan HILIRISASASI SDA agar bisa beroperasi 24 jam non stop mulai dari kegiatan di hulu hingga di hilir.
Listrik dari PLTN dibutuhkan untuk MEMPERCEPAT pertumbuhan dan pemerataan ekonomi nasional diseluruh Indonesia. PLTN Generasi ke 4 bisa dalam bentuk PLTN terapung. Sehingga negeri besar ini bisa TERBEBAS dari Jebakan pertumbuhan ekonomi yg selama ini hanya berputar2 di angka 5 persen.
Melahirkan Industri nuklir hulu hilir mendesak dilakukan guna MENCAPAI cita2 seluruh rakyat Indonesia untuk menjadi Negara Industri Maju berpendapatan tinggi di Tahun 2045, yg hanya tinggal 21 tahun dari sekarang.
Saya berpendapat bahwa KEBIJAKAN ENERGI model Pemerintahan selama ini, harus DIRUBAH dan DIGANTI dengan Kebijakan energi yang menempatkan ENERGI NUKLIR (PLTN) sebagai PRIORITAS untuk dibangun, siapapun Presiden RI ke 8 yang terpilih dalam pilpres ditahun 2024 ini. Amerika Serikat yang merupakan negara industri maju dengan 95 PLTN, merencankan untuk membangun banyak PLTN baru dilokasi bekas PLTU Batubara yang akan disuntik mati.
Terlebih jika yang terpilih dalam pilpres 2024 adalah pasangan capres dan cawapres yang mengusung PERUBAHAN. Maka pemerintahan Presiden RI ke 8 semestinya tidak bercita2 melanjutkan Kebijakan Energi (dan Sumber Daya Alam) yang hanya menghasilkan pertumbuhan ekonomi berputar2 di angka 5 persen seperti yang terjadi selama ini. Untuk diketahui, pertumbuhan ekonomi 9,8 persen pernah terjadi ditahun 1980an. Ketika perolehan devisa export migas dan penerimaan APBN didominasi oleh Sektor Migas Nasional, disaat Indonesia menjadi Net Oil Exporter anggota OPEC sekaligus sebagai Exporter LNG terbesar didunia dibawah UU No.44/Prp/1960 dan UU No.8/1971.
Melanjutkan model Kebijakan Energi (dan Sumber Daya Alam) Pemerintah seperti yg terjadi dalam dua dekade terakhir ini adalah tidak tepat, harus dikoreksi dan dirubah !. Data Statistik menunjukkan produksi migas dibiarkan terus turun dibawah UU Migas No.22/2001 yang sangat buruk tidak disukai investor dan belasan pasalnya sudah ducabut oleh Mahkamah Konstitusi. Tetapi anehnya UU Migas ini tetap berlaku sampai sekarang.
Kebijakan energi, khususnya energi nuklirselama lebih dari 60 tahun, mengabaikan cita2 Presiden RI Pertama Dr Ir Soekarno yang mencita2kan PLTN dibangun di Indonesia sejak tahun 1950an ketika presiden menyaksikan PLTN pertama Rusia dipinggir kita Moskow. Cita2 hebat ini dibiarkan sebatas menjadi mimpi, hingga saat ini PLTN yang listriknya untuk mensejahterakan rakyat tidak pernah dibangun satu biji pun oleh pemerintah.
Terus terus terang, secara rational akan sangat mustahil untuk mencapai TARGET menjadi Negara Industri Maju Berpendapatan Tinggi di Tahun 2045, manakala ekonomi dibiarkan tumbuh hanya disekitar 5 persen. KEDEPAN, Kebijakan Energi nuklir harus dirubah dan diarahkan untuk dapat terwujudnya INDUSTRI NUKLIR yang TERINTEGRASI DARI HULU SAMPAI HILIR di tanah air. Selain untuk mendukung terbangunnya PLTN dalam jumlah besar baik oleh Investor Asing maupun oleh Investor dalam negeri. Guna memastikan dimanfaatkannya kekayaan SDA NUKLIR Uranium dan Thorium yg ada di tanah air, industri Nuklir harus hadir di tanah air, tidak tergantung dari Bahan Bakar Nuklir import.
Untuk itu, Proses Investasi PLTN dan Management penanganan limbah nuklir harus disederhanakan sehingga menjadi lebih effisien. Cukup misalnya, dengan menyempurnakan organisasi dan cukup misalnya, dengan menyempurnakan organisasi dan meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM dari Lembaga Nuklir Negara yang sudah ada untuk menghindari sistem yang ribet ruwet tidak investor friendly dan ineffisiensi. Yaitu memanfaatkan Lembaga Negara bidang nuklir yang sudah ada, Badan Pengawas Tenaga Nuklir Nasional ( Bapeten) yang ada sekarang ini posisinya dirubah menjadi berada dibawah Presiden tidak lagi dibawah Kementerian. Diatur dengan UU atau dengan Keppres.
Dengan Kebijakan energi nuklir sistem SATU PINTU, Semua investor PLTN hanya berhubungan dengan BAPETEN yg bertanggung jawab kepada Presiden.
*Penulis Dr Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019. Putra Lombok. Alumni : SDN1 Kediri Lobar, SMPN2 Mataram, SMAN1 Mataram, UI Jakarta, CSM Amerika, dan IFP Perancis