Tidak ada pilihan lain bagi Indonesia selain menjadi negara Industri maju dengan energi yang bersih dan aman bagi rakyat. Dr Kurtubi. Alumnus Colorado School of Mines, Amerika Serikat dan Institut Francaise du Petrole, Prancis serta Universitas Indonesia menuliskannya untuk pembaca Bergelora.com. (Redaksi).
Oleh: Dr. Kurtubi
MENJADI Negara Industri Maju ditahun 2045, mustahil dicapai kalau pertumbuhan ekonomi mubeng-mubeng disekitar 5% seperti yang terjadi selama puluhan tahun pasca OIL BOOM tahun 1970 – 1990.
Data pertumbuhan ekonomi terbaru menunjukkan bahwa pertumbuhan yang muter-muter di angka 5% ternyata terus berlangsung hingga hari ini.
Kalau ekonomi Indonesia hanya tumbuh sekitar 5%, dapat dipastikan bahwa pada tahun 2045 Indonesia belum bisa masuk menjadi Negara Industri Maju seperti yang dicita-citakan oleh Presiden Jokowi dan rakyat Indonesia.
Sehingga strategi pembangunan yang berjalan selama ini, khususnya yang tekait dengan Kebijakan Energi, harus disempurnakan, dirubah dan diarahkan agar proses penciptaan nilai tambah (value added) terus tumbuh dengan peningkatan yang lebih tinggi.
Kegiatan ekonomi untuk merubah BAHAN BAKU menjadi intermediate dan finish products harus dilipatgandakan dalam wujud INDUSTRIALISASI secara masif. Baik industri dalam skala rumah tangga/UMKM, skala menengah maupun skala/industri besar. Mengarahkan semua potensi Sumber Daya Alam (SDA) menjadi Industri Terintegrasi Hulu Hilir sebagsi Pusat Pertumbuhan Ekonomi Baru.
Untuk tujuan ini, dari segi Kebijakan Energi, negara tidak cukup dengan kebijakan seperti selama ini, yang lebih berkonsentrasi membangun Pembangkit Listrik kapasitas besar dari PLTU Batubara terutama di Pulau Jawa.
Kedepan negara harus menyiapkan Energi Listrik Bersih dalam jumlah besar dan stabil agar cukup untuk menopang proses industrialisasi yang berjalan secara massif sekaligus mengikuti trend energy global menuju zero emisi Gas Ramah Kaca seperti yan dicanangkan oleh Paris Agreement on Climate Change.
Sehingga pertumbuhan GDP yang merupakan total penjumlahan selama satu tahun atau satu kuartal dari Nilai Tambah (value added) Ekonomi yang tercipta dari seluruh Sektor, bisa tumbuh lebih tinggi, tidak muter-muter di angka 5% seperti yang terjadi selama ini.
Kalau value added dari setiap sektor pertumbuhannya terus meningkat, maka otomatis pertumbuhan ekonomi secara nasional akan tinggi, bisa diatas 7% hingga tumbuh double digit sebagai syarat menjadi negara industri maju di tahun 2045.
Listrik yang dibutuhkan adalah listrik yang bisa menopang Industrialisasi dengan ciri :
1). Listrik yang dominan berasal dari Energi bersih dan stabil NON-INTERMITTEN, bisa nyala 24 jam sehari semalam dan 365 hari dalam setahun. Pembangkit yang memenuhi kriteria ini adalah: PLTU Batubara tetapi kotor, PLTPanas bumi meski masih mahal karena biaya pengeboran yang relatif mahal dan masalah lokasi, tapi listriknya bersih . Yang terakhir PLTNuklir selain bersih dan aman kini juga lebih murah dari listrik batubara
2). Listrik yang bebas Emisi Gas Rumah Kaca sudah menjadi trend kemauan dunia, dan kita sudah meratifikasi Paris Agreement on Climate Change menjadi UU No.16/2016.
Listrik dari EBT memenuhi kriteria untuk listrik masa depan terutama yg bersifat non-intermitten seperti energi nuklir dan geothermal.
Sedangkan Energi Terbarukan yang bersifat intermitten seperti PLTMikrohidro, PLTSurya, PLTBayu, PLT Biomas, PLTNabati dan lain lain meski energinya bersih tapi tidak bisa menghasilkan listrik 24 jam. Jika energi jenis intermitten masuk ke Sistem jaringan transmisi grid PLN, harus dibantu oleh Pembangkit yang Non-Intermitten dan bebas emisi GRK, bukan dengan menggunakan pembangkit dari fossil seperti PLTD, PLTMG dan PLTU.
Hal ini dimaksudkan agar Stabilitas dan Fleksibilatas operasi transmisi grid tidak mengganggu BASE LOAD yang handal dan reliable yang sangat dibutuhkan oleh industri dan sekaligus tidak menambah Emisi GRK.
3). Belajar dari pengalaman Jerman.
Selama ini pembangkit listrik yang dipakai untuk menolong ET masuk transmisi grid agar transmisi gridnya bisa stabil dan fleksibel adalah listrik dari fossil. Ini dilakukan oleh Jerman yang sangat mendorong energi terbarukan tetapi anti PLTN. Sehingga dengan tambahnya PLTSurya, PLTBayu, PLT Biomas dan lain lain yang masuk ke Sistem transmisi grid Kelistrikan Jerman , selalu diikuti oleh kenaikan emisi GRK.
PLTN yang bersih dan non-intermitten yang bisa masuk ke transmisi grid dengan efisien, justru ditutup di Jerman. Akibatnya ET Intermitten yang masuk Sistem transmisi grid nya Jerman, sebagian besar menggunakan bantuan listrik dari fossil (Studi dari Joshua Goldstein dan Staffan Qvist). Sehingga meskipun Jerman merupakan negara dengan pemakaian energi hijau terbarukan (surya, angin, biomas, hidro) yang besar, ternyata fakta menunjukkan bahwa saat ini Intensitas Kandungan Karbon (carbon intencity) dari setiap kwh listrik yang dikonsumsi di Jerman menunjukkan angka yang sangat tinngi. Sekitar 357 gram CO2/kwh listrik yang dikonsumsi, jauh lebih tinggi dari carbon intencity Perancis yang tercatat hanya sekitar 49 gram CO2/kwh.
Dengan kata lain, Emisi karbon di Jerman 8 kali lebih tinggi dari Emisi karbon di Perancis. Kebijakan Energi Perancis bertolak belakang dengan Jerman dimana 70% dari listrik di Perancis berasal dari energi nuklir.
Sementara Jerman merupakan Pelopor Anti PLTN. Faktanya juga, Jerman saat ini menjadi negara dengan listrik yang paling kotor sekaligus menjadi negara dengan tarif listrik termahal di Uni Eropah.
Belajar dari kegagalan Kebijakan Energi Jerman yang anti PLTN, Indonesia kedepan perlu memastikan Base load yang handal/reliable untuk mendukung industrialisasi. Listriknya berasal dari sumber energi bersih bebas karbon dan pollutant serta Non-Intermitten. Ini artinya untuk jangka panjang PLTU tidak bisa lagi menjadi andalan Base Load sistem kelistrikan nasional.
PLTN Generasi terbaru, Gen IV yang masa pembangunannya lebih singkat, teknologinya lebih effisien dan lebih aman. Seyogyanya PLTN Gen IV segera menjadi bagian dalam Sistem Kelistrikan Nasional.
Tentu saja syarat listrik yang kita butuhkan kedepan adalah pembangkit listrik bersih yang dibangun oleh dana investasi tanpa menunggu dana APBN. Listrik yang aman dan MURAH lebih murah dari listrik batubara yang selama ini menjadi andalan base load. Agar hasil produksi industri bisa bersaing di Pasar International dan disukai oleh rakyat/ konsumen dlm negeri karena harga produknya terjangkau yang didukung oleh harga listrik yang murah tanpa subsidi !
4). Berapa sih Biaya Pokok Produksi Listrik (LCOE = Levelized Cost of Electricity) dari setiap jenis pembangkit ?. Selama ini yang dikenal murah adalah listrik dari PLTU Batubara dengan BPP sekitar 6 – 7cent$/kwh yang dipakai sebagai acuan dalam pembangunan Pembangkit dari ET terutams di Pulau Jawa. Tapi rendahnya BPP PLTU Batubara tersebut dikarenakan BELUM menginternalkan Externality Costs yang berupa biaya yang harus dikeluarkan sebagai akibat adanya emisi, pollutan, penyakit dan kematian dari adanya listrik batubara. Sedangkan BPP Listrik dari ET menjadi lebih mahal karena Faktor Kapasitas yang relatif rendah akibat tidak bisa menghasilkan listrik 24 jam. Menurut data EIA, PLTSurya dan PLTBayu misalnya mempunyai Factor Capasity masing-masing sebesar 24.9% dan. 35.4 %. Sementara PLTN yang tidak bergantung pada musim, cuaca dan angin, Factor Capicitynya sebesar. 92.5 %. Demikian juga dengan tingkat kematian (death rate) per Terra Watt Hours (TWH ) dari listrik yang diproduksikan oleh setiap jenis pembangkit. PLTU Batubara, PLTMigas dan PLTN mempunyai Tingkat Kematian (Death Rate /TWH ) masing-masing sebesar : 25; 20 dan 1 death.
Terlebih PLTNuklir dengan teknologi terbaru yang semakin canggih (Gen IV) saat ini BPP relatif sangat murah sekitar 5 cent$/kwh, lebih murah/bersaing dengan listrik PLTU Batubara, dan sangat aman. Bahkan PLTN Gen IV Type MSR (Molten Salt Reactor) berbasis Thorium menjamin kecelakaan seperti yang dialami oleh PLTN Fukushima tidak akan pernah terjadi.
Sedangkan energi intermitten, BPP nya dapat diturunkan dengan jalan menggratiskan biaya lahannya dan terus meningkatkan effisiensi teknologinya. Tapi tetap ada Biaya yg timbul jika ET ini masuk ke Sistem transmisi Grid PLN.
KESIMPULAN
1). Karena Indonesia negara besar dalam luas wilaysh dan jumlah penduduk yang saat ini sekitar 270 juta, dan berkeinginan menjadi Negara Industri Maju di tahun 2045 sekaligus dengan Udara dan Lingkungan Hidup yang bersih dan Sehat maka, kita membutuhkan Tambahan Pembangkit listrik yang banyak/besar sekitar 4 X total kapasitas saat ini.
2). Semua jenis EBT harus dikembangkan, sementara Listrik dari fossil harus dikurangi untuk akhirnya dihilangkan jika pembangkitnya telah mencapai usia life-cycle nya dan tidak dibangun lagi.
3). Pembangunan Pembangkit Listrik harus dengan perencanaan yang tepat dan cerdas menyangkut lokasi, jenis dan kapasitas pembangkit.
4). Dalam jangka panjang, semua SDA Fossil tidak boleh lagi dipakai untuk menghasilkan listrik. SDA Fossil bisa dikonversi menjadi INDUSTRI PETROKIMA Berbasis Batubara dan Berbasis Migas.