Kamis, 3 Juli 2025

Menuntut Pengadilan Internasional Terhadap Pemerintah Asing Yang Terlibat Kejahatan HAM Berat 1965/1966 Di Indonesia

Oleh: Toga Tambunan *

“Lebih banyak manusia mati di Indonesia dalam waktu lima bulan daripada yang telah mati selama lima tahun perang Vietnam”

“Tetapi pembasmian komunis luput dari dunia internasional karena koresponden asing dilarang atau tidak disambut”  tulis Varindra Tarzie Vittachi, Wartawan asal Sri Lanka, dalam kata pengantar bukunya , “The Fall of Sukarno” atau “Kejatuhan Sukarno” pada Agustus 1966 yang baru terbit 1967 di London, Inggris.

Dari beberapa publikasi peristiwa tragedi 65, yang ditulis pihak luar Indonesia, sesungguhnya bukunya ini yang pertama menurut Tempo, karena ditulis tahun 1966 (yang terbit 1967), selisih satu tahun lebih dari peristiwa Gerakan 30 September 1965. Berikutnya menyusul buku yang ditulis oleh Ben Anderson, Ruth McVey dan FP. Bunnell yang resmi terbit tahun 1971 terkenal sebutannya “Cornell Paper” dengan tandas menggelar temuan bahwa G30S atau kudeta atas Presiden Soekarno itu sebagai persoalan internal Angkatan Darat.

Publikasi asing ketiga muncul tahun 1968 berjudul “The Coup Attempt of September 30 Movement in Indonesia” dengan tujuan menolak “Cornell Paper”. Buku inilah kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tahun 1989 dengan judul “Tragedi Nasional, Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia.”

Varindra Tarzie Vittachi, sekitar 1958 mengalami persona non grata oleh pemerintah Ceylon dan pernah menduduki posisi di Perserikatan Bangsa-Bangsa selama hampir dua puluh tahun, sebelumnya pensiun dari posisi Deputi Direktur Eksekutif di Unicef pada 1988.

Riwayat hidupnya dan posisi internasional bergengsi dipangkunya, sebelum tutup usia pada September 1993 dalam usia 69 tahun, cerminan kredibilitasnya prima terpercaya, yang sangat tajam menyorot korban mati dibunuh terjadi 5 bulan di Indonesia lebih banyak berbanding yang mati selama 5 tahun perang di Vietnam, saat itu A.S mengerahkan alutsistanya tercanggih sehingga dapat terbayang berapa sulit temukan padanan kengerian genosida 65/66 di Indonesia selain kebengisan genosida Nazi Hitler di Jerman atas orang Yahudi.

Yess Melvin menemukan bukti kongkrit yakni dokumen AD untuk kesimpulannya dalam The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder yang makin membenar-kuatkan analisa Cornel Papers yang tandas menyimpulkan G30S itu persoalan internal AD dan sekaligus menjadi tambahan bukti bagi John Rossa untuk kesimpulannya yang tajam : “Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto”.

Berhubung nihil kepentingan selain berdedikasi kebenaran, para peneliti beragam sudut pandang itu tentu saja jujur mengurai temuannya, walau pihak orbais Soeharto di semua lininya terus menerus bebal membantah dengan argumentasi hoaks.

Stigma hoaks pihak orbais yang selama 56 tahun terhadap pencinta Bung Karno, dihalau pernyataan gamblang Presiden Joko Widodo dalam jabatan Kepala Negara RI dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Rabu 11/1/2023, sebagai antitesis, mengatakan: “Dengan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara RI mengakui bahwa pelanggaran HAM berat memang terjadi di berbagai peristiwa.” dengan menyebutkan 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu. Diantaranya peristiwa yang ditulis jurnalis Varindra Tarzie, yang diurai para peneliti Cornell Paper, John Rossa, Yess Melvin.

Dapatkah akal sehat menyebut kasus HAM berat masa lalu itu, tragedi kemanusiaan 65/66 itu, kategori pelanggaran, sedang jumlah korban lebih dari 5 tahun perang di Vietnam? Saat itu menyembur hoaks produk akal busuk, kosakata pelanggaran dari orbais yang masih kuat genggam kekuasaan memeteraikan kosakata itu dalam dokumen Komnas HAM itu, menjadi bukti otentik hoaks oleh orbais. Sedang akal sehat pasti memverifikasi kejadian tragedi itu sebagai kejahatan bengis atas kemanusiaan.

Pelaku kejahatan bengis itu di dalam negeri, sudah pasti kita tahu persis. Sesuai antitesis Kepala Negara RI, Presiden Joko Widodo. Meski pengadilan yang akan membuka kotak pandora bermuat para penjahat bengis pelaku tragedi 65/66 di dalam negeri, masih berupa janji tidak bisa dihentikan, berhubung kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Amerika Serikat mengaku dirinya penegakkan Hak asasi manusia di bumi, maka telah memprakarsai tindakan dan bertindak terhadap pelaku genosida pada PD II atas tokoh Nazi di Jerman dengan meluncurkan forum pengadilan atas penjahat perang. Forum pengadilan itu dilakukan di Nuremberg. Juga di Tokio, meski kaisar Hirohito, dan Pangeran Asaka samasekali tak disentuh.

Juga forum pengadilan atas Pol Pot di Kamboja, selaku penjahat perang dengan dalih tuduhan melakukan genosida warganya.

Dengan dalih pemerintah Presiden Irak, Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal, pemerintah AS, Presiden Bush invasi Irak hingga porak-poranda dan Presiden Saddam Husein di eksekusi gantung mati. Dan kini warga Irak menyesali.

Sama alasannya terhadap presiden Saddam Hussein, pemerintah AS, saat itu berkuasa Barack Obama, menuduh Presiden Libya Muamer Khadafi memiliki senjata pemusnah massal. Libya diluluh lantak oleh NATO. Hingga sekarang kacau balau. Dan kini warga Libya jatuh menyesalinya.

Penguasa AS, makin merajalela mengoperasikan prototipe berdalih hoaks sejak prakteknya di Chili dengan metode “Jacarta Operation” seperti terjadi di Jakarta 1965 dengan berdalih G30S, dapat memperalat jendral Augosti Pinochet tipikal jendral Soeharto di Indonesia, pada 1973 mengkudeta presiden Salvador Allende tipikal presiden Soekarno di Indonesia.

Terhadap genosida di Indonesia yang terjadi dengan tindakan sangat kejam, bengis, Amerika Serikat ternyata tidak peduli. Tetapi tetap memalu genderang pengaku penegak Hak asasi manusia.

Sebaliknya di Kamboja Amerika Serikat gencar prakarsai sehingga dilakukan pengadilan atas Pol Pot dengan dakwaan penjahat perang yang dituduh melakukan genosida warganya.

Juga terhadap Myanmar dewasa ini, atas nama hak asasi manusia menekan sanksi atas pemerintah sah Myanmar seakan bela warga Rohingya. Sebenarnya Amerika Serikat hanya berdalih saja, bukan demi menegakkan HAM untuk warga Rohingya, melainkan persaingan bisnis menyedot minyak bumi di kawasan tinggalnya warga Rohingya.

Pengadilan Internasional pun tidak peduli keganasan penguasa AS, di Vietnam, Irak, Libya, Siria, dll negara di dunia.

Keberpihakan pemerintah Amerika Serikat menegakkan HAM atas PD II, di Kamboja, di Myanmar, ternyata pemerintah AS tidak demikian terhadap kejadian menggemparkan dunia termasuk di AS, berhubung pembantaian manusia terutama sekitar 1965 -1966 di Indonesia.

Pemerintah AS sebagaimana pers dunia tahu, pengakuan Letjen Sarwo Edhie Wibowo, panglima pasukan RPKAD, berbangga telah membunuh sekitar 3 juta warga Indonesia.

Presiden AS, LB Jonson justru terlibat kejadian itu. Dokumen pemerintah AS membuktikan keterlibatannya setelah sebagian arsip dokumen itu dibuka.

Dari berbagai sumber dapat kita tahu pengakuan Senator Tom Udall.

Dalam rancangan resolusi AS 2014, Senator Tom Udall menekan pemerintahan Obama untuk segera melakukan deklasifikasi dokumen AS terkait tragedi 1965.

Senator Amerika Serikat (AS) dari Komisi Hubungan Luar Negeri itu (Tom Udall) mengatakan bahwa pemerintah AS harus mengakui peran dan keterlibatannya dalam tragedi berdarah tahun 1965-1966 di Indonesia dimana diperkirakan 500 ribu hingga 1 juta warga Indonesia dibunuh menyusul terjadinya peristiwa yang disebut sebagai Gerakan 30 September (G30S).

Dalam pernyataan yang disampaikan pada Kamis (1/10/2015) lalu bertepatan dengan peringatan 50 tahun G30S, Udall mengajukan rancangan resolusi guna menyelesaikan kasus-kasus pembunuhan massal yang mayoritas terjadi di Pualu Jawa dan Bali. “Lima puluh tahun yang lalu, pada tanggal 1 Oktober tahun 1965, salah satu kekejaman massal paling buruk di Indonesia dimulai. Sebanyak 500.000 sampai 1 juta orang, kebanyakan warga sipil, mati dalam pembantaian yang didukung oleh Pemerintah Indonesia. Dalam masa yang sama, Pemerintah Amerika Serikat terus memberikan bantuan militer dan keuangan kepada Indonesia,” kata Senator Udall.

Udall mengatakan, Pemerintah AS dan Indonesia harus berusaha menutup babak gelap dalam sejarah ini dengan mengumumkan semua dokumen rahasia dan secara resmi mengakui terjadinya aksi-aksi kekejaman itu.

Udall menambahkan bahwa banyak dari para pembunuh itu kini masih hidup dan bebas, sementara para korban serta keluarga mereka masih terus dipinggirkan. “Hari ini, dalam Kongres Amerika, saya mengajukan rancangan resolusi baru yang akan menekan Pemerintah Amerika supaya mengakui perannya dalam pembantaian di Indonesia dan mengumumkan semua dokumen yang berisi informasi tentang peristiwa itu dan para pelakunya.”

Tom Udall menguraikan
temuan para sarjana, perihal Partai Komunis Indonesia [PKI] disalahkan atas kematian 6 jendral oleh G30S, yang kemudian digunakan untuk “dalih pembunuhan massal,” ujar Udall.

Udall mengakui bahwa Amerika Serikat terlibat dalam Tragedi 1965 yang berakibat terhadinys pembantaian massal atau pemenjaraan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI tanpa proses pengadilan.

“Amerika Serikat memberikan bantuan keuangan dan militer selama periode itu dan periode selanjutnya, menurut dokumen yang dirilis oleh Departemen Luar Negeri, dan Jenderal Soeharto mengkonsolidasikan kekuasaannya, memerintah pada tahun 1967-1998,” demikian Senator Udall mencatat. Ia menambahkan, CIA juga melakukan operasi rahasia di Indonesia selama periode ini, meskipun catatan aktivitas mereka mungkin tidak termasuk dalam file Kedutaan.

Sementara Senator Patrick Leahy—yang pernah menentang kebijakan peningkatan bantuan militer AS ke Indonesia— pada 2015 mengatakan sejak kepemimpinan Soeharto, Indonesia telah membuat langkah ekonomi dan politik penting terhadap AS. Namun Soeharto, kata Leahy, meninggalkan jejak “impunitas atas kejahatan mengerikan dari tahun 1960-an dan selama tahun-tahun akhir kemerdekaan di Timor Timur.”

“Kita perlu mengakui peran pemerintah kita sendiri dalam sejarah ini, menyingkap dokumen yang relevan, dan mendesak Pemerintah Indonesia untuk mengakui pembantaian dan membangun kebenaran dan keadilan mekanisme yang kredibel,” kata Lehay.

Pengakuan Tom Udall itu, yang sejak Juni 2021 sampai sekarang menjadi duta besar AS untuk Selandia Baru dan Samoa, dapat jadi rujukan setidaknya sebagai awal menggugat peran Pemerintah AS dalam G30S dan terjadinya pembunuhan warga Indonesia yang disebut tragedi kemanusiaan 1965/1966, atau oleh Komnas HAM disebut pelanggaran HAM berat masa lalu 1965/1966.

Sebelum pandangan Tom Udall dan Lehay itu, sudah lebih dulu National Declassification Center, sebuah divisi dari lembaga pemerintah AS National Archives and Records Administration (NARA) membuka dokumen rahasia AS terlibat G30S di Jakarta dan dalam pembunuhan tragedi kemanusiaan di Indonesia dinyatakan tidak lagi rahasia (deklasifikasi).

Saatnya bagi yang berakal sehat, di seluruh dunia, tertantang bergerak serentak membentuk forum penyidik dan pengadilan terhadap pemerintah AS mempertanggung-jawaban keterlibatan jahatnya pada peristiwa G30S dan pembunuhan massal di Indonesia tahun 1965-1966.

Belakangan hari pers Jerman telah mengekspose pengakuan keterlibatan dinas rahasia Jerman Bundesnachrichtendisenst, disingkat BND, di antaranya menugaskan kol. O.G. Roeder, yang kemudian menulis riwayat Soeharto “The Smiling Generale”

Mantan Direktur BND Reinhard Gehlen, yang memimpin BND dari 1956 sampai 1968, dalam sebuah wawancara televisi tahuny 1996 menanggapi kudeta politik di Indonesia tahun 1965/66 dengan komentar: “Keberhasilan Angkatan Darat Indonesia, yang melaksanakan penumpasan seluruh Partai Komunis dengan segala konsekuensi dan kekerasan, menurut keyakinan saya punya peran yang tidak terkatakan pentingnya.”

Keterlibatan Inggris tersebut juga ditulis The Guardian, yang dijelaskan bahwa pejabat Inggris diam-diam membuat propaganda hitam untuk mendesak orang di Indonesia menghancurkan komunis.

Andrew Gilchrist, seorang agen Special Operations Executive, menjabat sebagai Duta Besar Britania Raya untuk Indonesia di Jakarta (1962–1966). Namanya dia ini terekam pada dokumen Gilchrist yang boleh dikata fondasi operasi intelligent asing berikutnya hingga terjadi G39S.

The Guardian menjelaskan adanya kantor intelijen Inggris di Singapura yang digunakan sebagai pusat operasi di Indonesia.

Selain itu, Inggris juga memberikan bantuan penyadapan pesan suara yang dapat digunakan oleh orang-orang anti-komunis dalam membaca dan mencegat komunikasi pemerintah Indonesia.

Dalam situs Affair Internasional, asisten peneliti Monash University di Australia, Millot membuka tulisannya dengan dokumen di Badan Arsip Nasional Australia yang menyatakan bahwa Kedutaan Besar Australia dan Departemen Luar Negeri saat itu berkaitan erat dengan militer Indonesia. Mereka menawarkan dukungan untuk menggulingkan Sukarno dan menyingkirkan PKI.

Sama terhadap pemerintah AS, dunia patut menuntut pertanggungjawaban pemerintah Inggris, Jerman dan Australia, dalam forum Pengadilan Internasional atas kejahatan negara-negara itu terlibat dengan berbagai cara dalam G30S dan peristiwa turunannya di Indonesia.

Lembaga-lembaga independen di Indonesia diantaranya parpol, ormas, LSM, paguyuban atau organisasi keagamaan, dll di Indonesia karena berakal sehat dan mengajak lembaga sejenis di berbagai negara lain, tertantang serentak mendesak Pengadilan Internasional menyelenggarakan forum sidang mengadili pemerintah negara-negara asing yang berperan terlibat dalam G30S dan dalam peristiwa yang terjadi kemudiannya, yang penyebabnya selama ini misterius. Forum pengadilan itu tidak diniatkan balas dendam atau kebencian melainkan supaya para penguasa pengambil keputusan politik pemerintahan itu berakal- pikir sehat menanggalkan konspirasi sombong jahat terhadap negara lebih lemah atau yang sengaja dilemahkan. Penyebab yang misterius sebelumnya akan diketahui masyarakat internasional sehingga dapat mencegah hal sama, (agar) tidak terulang lagi.

Bekasi 26.01.2023.

* Penulis Toga Tambunan, pengamat sosial politik

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru