Oleh: Hermansyah Kahir*
Judul : Kebudayaan dalam Politik: Kritik pada Demokrasi
Penulis : Radhar Panca Dahana
Penerbit : Bentang Pustaka
Terbit : Maret 2015
Tebal : xxiv+468 halaman
ISBN : 978-602-291-097-8
Pada tahun ini Radhar Panca Dahana telah menerbitkan beberapa buku salah satunya adalah Kebudayaan dalam Politik: Kritik pada Demokrasi. Dalam buku ini, Radhar Panca Dahana mengkritik dengan tajam berbagai persoalan yang menimpa Indonesia. Secara garis besar buku ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian pertama pembahas masalah kepemimpinan, bagian kedua kebangsaan dan terakhir membahas masalah kenegaraan.
Sebagai seorang budayawan, Radhar mengaitkan setiap karyanya pada nilai-nilai budaya. Di bagian awal buku ini ia mengatakan berbagai krisis yang terjadi di negeri ini diakibatkan oleh tidak menyatunya dunia politik dengan budaya. Dengan kata lain, pemimpin kita sudah jauh dari nilai-nilai kultural. Para pemimpin kita hanya memoles diri dengan politik pencitraan. Hal itu bertujuan agar membentuk anggapan positif terhadapnya, untuk bagaimana dapat memenangkan setiap ajang kontestasi politik. Para pemimpin yang terpilih lewat politik pencitraan cenderung hanya mementingkan kepentingan pribadi dan partainya. Ironisnya, banyak di antara mereka yang terjerat kasus korupsi.
Padahal di tengah kondisi bangsa yang dilanda krisis multidimensi saat ini kita membutuhkan seorang pemimpin yang taktis, tekun, cermat, dan adekuat dalam perhitungan kebijakan dan tindakan, sederhana tetapi mungkin kurang populis dalam pencitraan, tapi tegas dan teguh melawan elite yang konspiratif, bertahan walau dunia mengalami kesulitan (halaman 22).
Memang di zaman edan seperti sekarang ini kita sangat sulit menemukan pemimpin yang tegas dan memihak pada kepentingan rakyat. Justru yang terjadi malah sebaliknya, yaitu pemimpin yang hanya mengumbar janji belaka. Ketika kampanye mereka berjanji untuk berada di garda terdepan dalam pemberantasan korupsi. Faktanya, justru mereka menjadi aktor dalam kasus korupsi itu sendiri. Pada 2014 saja Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat adanya peningkatan jumlah kasus korupsi kepala daerah dan wakil rakyat. Kepala daerah dan anggota DPRD pun tercatat sebagai pelaku korupsi terbanyak sepanjang tahun lalu. Pada 2013 ada 560 kasus korupsi, pada 2014 ada 629 kasus.
Menurut Radhar, urusan korupsi yang merupakan kejahatan kemanusiaan, virus busuk yang membangkaikan bangsa ini secara perlahan, harus diatasi dengan ketegasan seorang kepala negara, yang wewenangnya dalam beberapa hal dapat melampaui otoritas apa pun di negeri ini, termasuk dirinya sendiri sebagai kepala pemerintahan (halaman 328).
Republik ini didirikan oleh orang-orang yang berintegritas. Integritas itu membuat mereka jadi pemberani dan tak gentar menghadapi apa pun terutama dalam hal pemberantasan korupsi. Di tengah kondisi rakyat yang hidup dalam kemiskinan, kelaparan, dan ketidakadilan, beberapa waktu lalu bahkan ada wacana pemberian fasilitas mewah berupa mobil untuk pejabat negara. Fenomena ini sangat tidak wajar mengingat rakyat hidupnya semkin sekarat akibat kenaikan BBM. Mobil mewah justru dianggap hal yang wajar bagi para pejabat di tengah kondisi ekonomi yang kurang membaik. Padahal jika kita perhatikan kinerja para pejabat belum begitu memuaskan.
Integritas, apalagi untuk sebuah bangsa, sungguh tidak dapat digadaikan atau diperjual-belikan demi saldo kekuasaan yang temporer saja (halaman 411). Jika menengok sejarah, republik ini dibangun oleh orang-orang yang bermoral dan berintengritas. Mereka memimpin tidak dengan kepura-puraan, tetapi integritas yang mereka suguhkan kepada rakyat. Para pendiri bangsa ini memberikan teladan yang baik bagi segenap rakyat.
Buku setebal 468 halaman ini, mengungkap dengan jelas ketidakberesan yang terjadi di tengah-tengah kita. Bangsa ini hanya diisi oleh pemimpin yang mengabaikan budaya. Mereka sudah tidak memiliki budaya malu demi memperkaya diri sendiri. Penulis juga mengingatkan jika kemajuan bangsa ini tanpa landasan kebudayaan maka yang terjadi hanya akan mendorong bangsa ini pada kekosongan dan kehancuran. Semoga buku Kebudayaan dalam Politik: Kritik pada Demokrasi bisa menjadi rujukan demi masa depan Indonesia yang lebih baik.
*Penulis dan pendiri Seribu Pena Indonesia
Â