Rabu, 2 Juli 2025

Migas: Masalah Utama Di Produksi, Bukan Di Subsidi

Oleh: Dr. Kurtubi *

KITA ketahui bersama bahwa Negara mengalokasi APBN memberikan subsidi BBM dan LPG yang sangat besar disaat harga minyak dunia tinggi, sekitar $100/bbls. Inflasi yang terjadi di Indonesia relatif sangat rendah, hanya sekitar 4.9%. Kita berterima kasih atas capaian inflasi yang rendah ini, terutama disebabkan oleh selain kebijakan subsidi BBM juga oleh capaian produksi beras nasional yang mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri tanpa harus import beras.

Tingkat inflasi di negara kita jauh lebih rendah dari tingkat inflasi yang melanda sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk dinegara-negara industri maju di Eropah, Amerika dan lainnya.

Dampak kumulatif dari pandemi covid-19 ditambah dengan dampak gejolak politik dan ekonomi dari invasi Rusia terhadap Ukraina sangatlah besar.

Terjadi krisis pangan dan energi melanda seluruh dunia. Secara bersamaan telah nenimbulkan kelangkaan dan kenaikan harga pangan dan energi yang menjadi pemicu utama atas kenaikan harga barang dan jasa yg berujung dengan tingkat inflasi yang tinggi diseluruh dunia.

Meskipun Bank Sentral di semua negara industri maju sudah menerapkan kebijakan Ekonomi Moneter yang standard dengan utak-atik menaikkan tingkat suku bunga setiap bulan/periode tertentu. Namun faktanya hingga kini inflasi di negara-negara industri maju dan dinegara berkembang, masih tinggi

Walau demikian harus juga diakui bahwa rendahnya tingkat inflasi yang hanya 4.9% ini harus dibayar oleh Negara/APBN dengan jumlah subsidi dan konpensasi BBM dan LPG hingga melebihi Rp500 triliun.

Pemerintah belakangan ini menganggap jumlah subsidi ini terlalu besar dan sangat memberatkan APBN yang konon bisa menyebabkan negara sampai pailit.

Pemerintah sebenarnya tidak perlu terkesan “panik” atau terkesan ” gagal faham” bahwa yang dihadapi oleh Sektor Migas nasional sebenarnya adalah masalah PRODUKSI YG SANGAT RENDAH, bukan soal subsidi.

Ditengah keberhasilan pengendalian inflasi, Pemerintah tiba-tiba berencana untuk segera menaikkan harga BBM bersubsidi. Padahal tingginya besaran subsidi hingga melebih Rp500 triliun, sudah terbukti berhasil mengendalikan inflasi.

Sebenarnya masalah tingginya beban subsidi migas/ energi dalam APBN saat ini, bisa dicarikan solusi untuk “nomboki” APBN dengan Kebijakan yang efektif effsien sesuai konstitusi dengan cara menyempurnakan pengelolaan Sumber Daya Energi Batubara agar lebih sesuai dengan Pasal 33 Konstitusi.

Menaikkan harga BBM dan LPG bersubsidi saat ini masih belum tepat, karena sangat berresiko untuk menjadi kontraproduktif. Karena akan menurunkan daya beli rakyat, menaikkan inflasi dan menurunkan pertumbuhan ekonomi yang sudah mulai bangkit.

Inti masalah yang dihadapi oleh Sektor Migas Nasional selama DUA DEKADE ini bukanlah soal subsidi melainkan soal PRODUKSI yang sangat rendah yang seharusnya perlu dicarikan jalan keluar oleh Pemerintah agar PRODUKSI Migas bisa ditingkatkan dan dipulihkan kembali hingga mencapai level sebelum berlakunya UU Migas No.22/2001 yang sudah terbukti menjadi penyebab terus anjloknya produksi selama dua dekade terakhir ini.

Adapun solusi atas tingginya subsidi BBM dan LPG saat ini, bisa dilakukan dengan jalan Presiden menerbitkan Perpres tentang Kenaikkan Prosentase Pajak dan Royalti dari kegiatan usaha penambangan SDA energi Batubara sedemikian rupa sehingga Pajak dan Royalti yang dibayar oleh penambang batubara ke Negara/APBN menjadi lebih besar dari keuntungan bersih yang diperoleh oleh penambang batubara.

Misalnya dengan mengacu praktek Kontrak Bagi Hasil di sektor migas yang sudah berjalan lebih dari 50 tahun yang memberikan kepastian Negara/APBN memperoleh bagian lebih besar, sebesar 65% dan Investor/penambang Migas memperoleh keuntungan bersih sebesar 35% setelah pengembalian semua biaya eksplorasi dan produksi berupa Cost Recovery.

Bahkan pernah terjadi pada saat “oil boom” harga minyak dunia melejit tinggi, Presiden RI mengeluarkan kebijakan merubah porsi bagi hasil menjadi 85% untuk Negara/APBN dan 15% untuk Investor/penambang migas pada saat terjadi kenaikan harga ninyak dunia pertama kali secara signifikan dalam sejarah perminyakan. Saat itu harga minyak dunia melejit pertama kali dari sekitar harga $3/bbls yang terjadi selama hampir 1 Abad, kemudian naik ke level diatas $30/bbls akibat Perang Arab Israel dan Revolusi Iran.

Kesimpulan

1). Tingginya subsidi BBM dan LPG yang sangat memberatkan APBN, bisa ditanggulangi ditomboki dengan menaikkan prosentase pajak dan royalti Penambangan Batubara.

2). Rendah dan terus turunnya produksi migas yamg telah berlangsung dua dekade, solusinya dengan mencabut SUMBER PENYAKITNYA, yaitu mencabut UU Migas No.22/2001 lewat PERPPU. Kembali ke UU No.44/Prp/1960 dan UU No 8/1971

Jakarta, 26 Agustus 2022.

* Penulis, Dr. Kurtubi, pengamat energiKetua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus CSM, IFP dan UI

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru