Oleh: Dr. Kurtubi *
PEMERINTAH perlu segera mencabut UU Migas No.22/2001 karena Undang-undang telah ini menciptakan sistem tata kelola migas yang ribet ruwet birokratik, proses ijin usahanya panjang hingga melewati sekitar 100 meja.
Pasal 31 Undang-undang ini mewajibkan investor membayar pajak dan pungutan semasa eksplorasi/belum berproduksi, meskipun beberapa tahun kemudian pasal 31 ini dibatalkan/dianulir oleh Peraturan Menteri Keuangan yang kemudian dipertanyakan keabsahannya mengingat secara hirearki perundang-undangan, letak Peraturan Menteri (Permen) berada dibawah Undan-undang.
Akibatnya UU Migas No.22/2001 ini menimbulkan ketidak pastian hukum yang diperparah oleh banyaknya pasal-pasal yang dicabut Mahkamah Konstitisi, sehingga Undang-undang Migas ini sangat tidak disukai oleh investor.
@jokowi pic.twitter.com/FsWWLVBWEM
— Bergelora.com (@bergeloralah) August 27, 2022
Dengan Undang-undang Migas ini pemerintah/Kementerian ESDM sebagai pemegang kuasa pertambangan harus menunjuk pihak ketiga karena pemerintah tidak eligible untuk melakukan kegiatan bisnis. Seperti mengembangkan cadangan gas besar menjadi LNG dan LPG karena Kementerian ESDM tidak bisa melaksanakan sendiri secara langsung untuk menambang migas, membangun dan mengoperasikan kilang migas termasuk kilang LNG.
Faktanya cadangan gas besar di Papua, oleh pemerintah/Kementerian ESDM menunjuk British Petroleum untuk membangun dan mengoperasikan kilang LNG di Tangguh Papua, kemudian produksi LNG nya dijual dengan harga yang sangat murah karena menggunakan Kontrak Jangka Panjang ke Fujian Tiongkok dengan memakai formula harga jual yaitu harga minyak mentah yang menjadi patokan harga jual LNG ke Fujian dibatasi/ dikunci mati tidak boleh naik dengan menggunakan patokan harga minyak yang sangat rendah maksimal $ 38/bbls dengan alasan “buyer market”, padahal kondisi buyer market itu bersifat sangat sementara. Karena naik turunnya harga minyak adalah hal yang biasa dan sering terjadi. Meskipun beberapa tahun kemudian, pihak buyer di Fujian setuju untuk mengoreksi formula harga jual.
Pengembangan cadangan gas besar di Maluku Tenggara diserahkan ke INPEX yang hingga kini belum juga berproduksi karena perubahan lokasi kilang LNG nya.
Untuk diketahui, yang sudah terbukti berhasil mengembangkan dan membangun Industri LNG Nasional dengan membangun kilang LNG di Arun dan Bontang tanpa memakai dana APBN, serta berhasil memasarkan LNG ke Jepang dan Korea adalah Perusahaan Negara PERTAMINA dan berhasil menggunakan formula harga jual jangka panjang yang win-win antara penjual dan pembeli.
Selain cadangan gas besar di Natuna Utara yang sudah ditemukan puluhan tahun, dan berada diwilayah ZEE Indonesia yang sudah diakui oleh PBB berdasarkan Hukum Laut International (UNCLOS 1982) hingga hari ini BELUM juga dikembangkan oleh Kementerian ESDM sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan.
Cadangan gas di Natuna terbukti mangandung cadangan gas untuk LNG (C1 dan C2) dan cadangan gas untuk LPG (C3 dan C4) serta CO2 yang besar yang perlu inovasi teknologi untuk bisa dikonversi menjadi petrokimia atau dialirkan ke Sumatera untuk diinjeksikan dalam proses EOR untuk menaikkan produksi minyak mentah di lapangan-lapangan yang sudah tua.
Asset/harta Negara yang berupa cadangan gas besar di Natuna Utara, kalau tidak segera dimanfaatkan/ dikembangkan dengan mengundang investor yang menguasai teknologinya, nanti keburu direbut/diinvasi oleh Tiongkok yang sudah punya senjata nuklirk Karena hingga hari ini Tiongkok masih tetap mengklaim Natuna Utara sebagai wilayahnya meskipun PBB jelas-jelas menolak klaim Tiongkok tersebut.
Dengan UU Migas No.22/2001, Kem ESDM harus menunjuk pihak ketiga untuk menjual migas milik negara yang berasal dari investor/kontraktor selain harus juga menunjuk kilang pihak ketiga untuk mengolah minyak mentah dan kondensat bagian negara yang berasal dari investor/kontraktor.
Mantan Kepala BP Migas dan mantan Kepala SKK Migas tersandung kasus hukum akibat Kuasa Pertambangan dipegang oleh pemerintah/ESDM yang sebenarnya tidak eligible dan melanggar konstitusi !
Sistem yang berbelit-belit karena Pemerintah/ESDM harus menunjuk pihak ketiga, sudah terbukti sangat merugikan negara.
Padahal negara atas dasar UU No.44/Prp/ 1960 dan UU No.8/1971 sudah membentuk Perusahaan Negara dibidang Migas bernama PERTAMINA dan sudah terbukti berhasil menjadikan Sektor Migas sebagai sumber perolehan devisa dan Penerimaan APBN yg dominan.
Dari segi Konstitusi, UU Migas No.22/2001 sudah terbukti melanggar konstitusi dimana 17 pasalnya sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi termasuk membubarkan lembaga BP Migas yg kemudian diganti nama menjadi SKK Migas namun statusnya tetap sebagai lembaga Pemerintah yg menandatangani Kontrak “B to G” dengan investor.
DPR-RI sudah dua periode gagal melahirkan UU Perubahan atas UU Migas No.22/2001. Jika untuk ke 3 kalinya diserahkan ke DPR-RI untuk membuat UU Migas yang baru, akan berpotensi melahirkan bentuk Eksperimen Kelembagaan Baru yang butuh waktu puluhan tahun untuk membuktikan hasilnya.
Cara yang paling bijaksana, efisien dan konstitusional adalah Presiden sesuai kewenangannya mencabut UU Migas No.22/2001 yang sudah terbukti sangat merugikan negara, dan melanggar Konstitusi, dengan menggunakan Peraturan Pemerintah Pengganti UU ( PERPPU). Hal ini seperti yang pernah dilakukan oleh PM Juanda pada tahun 1960 ketika mencabut berlakunya UU Pertambangan Jaman Kolonial (Indische Mijnwet 1890) dengan menggunakan PERPPU yang kemudian menjadi UU No.44/Prp/1960. Undang-undang ini dilengkapi dengan terbitnya Undang-undang No.8/1971. Dengan undang-undang ini Negara membentuk Perusahaan Negara PERTAMINA dan sekaligus diberi amanah sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan untuk sektor migas.
Jakarta, 26 Agustus 2022.
* Penulis, Dr. Kurtubi, pengamat energiKetua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus CSM, IFP dan UI