Minggu, 13 Juli 2025

Mimpi Itu Menjadi Kenyataan (Tulisan ke 11)

Oleh: Petrus Hari Haryanto*

Ada yang berubah di tubuh Tony setelah memperoleh  ginjal dari istrinya. Rambutnya terlihat lebih tebal dan hitam. “Tiga bulan yang lalu  seperti rambut  jagung, tipis berwarna kemerahan kusam. Terlihat rambutnya tidak sehat ,” ujar Bu Ngadiman mengomentari penampilan Tony saat ini. Wajahnya semakin cerah dan kulitnya menjadi mulus.

“Dulu  kulit di  wajahnya hitam dan muncul warna keputihan seperti jamur. Sekarang benar-benar menghilang,” ucap Eva.

Telapak tangan dan kakinya sudah kemerahan ketika  diperlihatkan ke aku, Bu Ngadiman dan Pak Ngadiman.

“Hb saya sudah 15,” ungkap Tony.

Tentu saja sangat jauh berbeda dengan kami yang masih cuci darah. Bagi kami, Hb sepuluh juga sudah bagus. Itupun harus dengan usaha keras, baik makan protein dan rutin suntik hemapo.

Perubahan yang  paling penting  adalah kemampuan dia untuk BAK (Buang Air Kecil). “Sekarang malah tidak nyaman karena  sering kebelet pipis dan harus bolak-balik ke kamar mandi. Sudah tujuh  tahun ini aku tidak pernah direpotkan dengan hal ini,” jelasnya.

Yang dikatakan Tony adalah hal positif. Dia mulai bisa BAK lagi. Sudah bebas minum air,  tidak perlu dibatasi. Dan itu salah satu mimpi terpenting penderita gagal ginjal. 

“Kalau  minumnya sedikit   urinnya langsung keruh. Kalau banyak minum air seninya menjadi jernih. Dan mulai muncul rasa malas meminum air. Aku sudah kehilangan selera minum es. Sudah tidak pernah lagi  tengak-tengok lemari es,” ujarnya dengan  matanya melirik ke aku.

Pernyataan Tony itu jelas untuk menyindir aku. Aku merupakan penggemar es. Dan bukan aku saja, hampir sebagian besar penderita gagal ginjal yang minumnya sudah dibatasi sangat mengemari es. Bagi kami minuman dingin itu adalah makanan terlezat di dunia. 

Kami bertiga yang mendengar penuturan Tony hanya terdiam dan terkagum-kagum. Aku sendiri bersyukur Tony telah memperoleh hidup baru.

Tiga bulan yang lalu dia masih cuci darah seminggu tiga kali. Dari rumahnya yang di jalan Puspistek Serpong, dia harus menempuh perjalanan yang cukup jauh menuju Klinik JKC (Jakarta Kidney Center) yang berada di jalan Mampang Prapatan. Bila naik angkutan umum  harus ganti tiga kali. Kalau macet bisa butuh waktu lebih dari satu jam.

“Tadi, sewaktu kita kemari,  rasanya tak sampai-sampai. Saya tidak bisa membayangkan bila sehabis  cuci darah kondisi tubuhnya  drop ?” tanya Bu Ngadiman dengan rasa heran.

“Ya berat. Bayangkan saya muntah-muntah  dan terduduk di tepi jalan. Saya harus  menunggu kondisi fisik membaik baru bisa melanjutkan pulang. Dan itu aku sendirian,” kenangnya.

Sekarang ini, tentu saja situasi yang buruk itu sudah tidak dia alami lagi. Sekarang dia tinggal menunggu waktu untuk menjadi manusia yang sehat. Dia harus sabar menunggu proses pemulihan. Dan berdisiplin menjalani proses isolasi.

“Sesekali saya pulang ke rumah untuk bertemu Feo,” ujarnya.

Selama proses isolasi ini, Tony tinggal di rumah adiknya. Dia sana dia tinggal bersama adiknya dan satu orang perawat. Letaknya satu komplek dengannya, di perumahan Panorama Serpong. Hari ini dia  ada di rumahnya karena kami bertiga mengunjunginya. Kami bertiga juga harus memakai masker. Tony  mencuci tangannya dengan  alkohol sehabis  bersalaman dengan kami bertiga.

Kesempatan ini digunakan Feo untuk mendekat ke papanya. Anak kecil itu dengan manjanya minta dipeluk papanya. Bagi Tony, Feo adalah salah satu mujizat yang hadir dalam kehidupan rumah tangganya. Feo lah yang membuat dorongan besar bagi Tony dan istrinya untuk melakukan transplantasi ginjal.

Perempuan Tangguh

Tubuhnya bisa dibilang lebih gemuk dari sebelumnya. Wajahnya begitu cerah. Senyumnya selalu muncul selama bercakap-cakap dengan kami bertiga.

“Kamu sehat Eva,” tanya Bu ngadiman.

“Sehat sekali,” jawab Eva 

Bu Ngadiman bertanya karena ingin memastikan kondisi Eva yang tiga bulan lalu memberikan satu ginjalnya buat sang suami.

Baru hari ini, Minggu 19 Juni2016 kami bertiga bersua dengan Eva. Tentu saja kami punya segudang pertayaan kepadanya.

“Hanya dua hari setelah ginjalku diambil, aku merasa pusing dan mual. Itupun karena pengaruh anestesi. Hari ketiga keluhan itu hilang. Pinggangku juga tidak ada rasa nyeri,” ungkap perempuan berusia 30 tahun itu  dengan mantap.

Eva hanya butuh waktu sebulan cuti dari kerjanya. Tanggal 13 April dia sudah masuk kerja. Sejak awal masuk kerja, volume tugasnya bertambah karena salah satu temannya mengundurkan diri.

 “Setiap hari saya baru pulang dari kantor pukul tujuh malam,” ujar sarjana ekonomi lulusan Universitas Sumatra Utara itu.

Kalau sudah begitu, sang suami akan ngomel kepadanya.

“Saya tidak boleh bekerja berlebihan. Harus pintar-pintar menjaga diri,” ujarnya.

Aku memperhatikan lebih teliti kondisi Eva. Berkali-kali mataku meneliti tubuhnya. Kuperhatikan lebih rinci  dari kepala sampai ke kaki. Tak ada yang berubah. Masih sama dengan Eva tiga bulan yang lalu. Menurutku jauh berbeda dengan apa yang ditayangkan televisi ketika menampilkan orang-orang yang menjual satu ginjalnya. Citra yang muncul mereka begitu terpuruk. Kesehatannya begitu merosot, mudah capek dan tidak bisa melakukan aktivitas secara  normal.

“Rasanya tidak ada yang hilang dari tubuhku. Kondisiku tidak berubah. Masih sama persis dengan dulu sebelum ginjalku diambil,” ujarnya menyakinkan diriku.

Ini kali ketiga  aku berjumpa dengan orang yang satu ginjalnya telah  didonorkan. Lima bulan yang lalu aku bertemu dengan seorang pendeta GKI (Gereja Kristen Indonesia) di jalan Ampera, Jakarta Selatan. Sama seperti Eva, sang pendeta kondisinya baik-baik saja. Tetap rutin melayani, bahkan  kegiatan fitness-nya  sama sekali tidak terganggu.

Sebulan yang lalu juga bertemu dengan dokter Dewi dan kakaknya bernama Neneng. Sang kakak bercerita di hadapan KPCDI (Komunitas Pasien Cuci Darah indonesia)  yang sedang kopi darat di Lembang. Dia bersaksi dengan mengatakan hidupnya normal-normal saja setelah dua tahun berjalan paska ginjalnya didonorkan ke sang adik. Aku menilai bahwa dia bugar-bugar saja dan terlihat cantik sekali.

Aku jadi berpikir tayangan berita yang ditampilkan media massa seperti didramatisir. Menjual ginjal memang perbuatan melanggar hukum, tapi efek darinya ditampilkan berlebihan.

Selama ini, sangatlah sulit penderita gagal ginjal memperoleh donor. Ditambah minimnya peran pemerintah dalam melakukan program donor organ termasuk ginjal. Bahkan bisa dikatakan zero.

Opini yang dikembangkan media itu semakin mempersempit masyarakat untuk berani mendonorkan ginjalnya. Di tengah situasi yang begini justru kami yang tergabung dalam  KPCDI bangkit dan melawan kondisi yang ada. Kami justru begitu bertenaga untuk mengkampanyekan  program donor ginjal. Menjadi pendonor ginjal adalah perbuatan mulia dan secara medis diperbolehkan. Kami sekuat tenaga berusaha memberi informasi tandingan, 

Apa yang dilakukan Eva Samosir menjadi inspirasi banyak orang. Dia menjadi figur  perempuan pemberani dan rela menyumbangkan satu ginjalnya demi sebuah cinta. Cinta kepada suami dan cinta kepada “malaikat kecil”-nya.

Kisahnya yang luar biasa ini banyak tersebar di media sosial dari berbagai komunitas penderita gagal ginjal. Respon dari publik sangat positif. Selain terharu, publik juga dibukakan mata bahwa menjadi donor adalah sesuatu yang mulia dan memberi kehidupan baru bagi orang yang hidupnya tergantung dari mesin cuci darah.

Nampaknya Pak Ngadiman tak tahan berdiam diri. Dia mulai membuka mulutnya. Walau bicaranya pelan, tapi kata-kata yang sering keluar dari mulutnya dirasakan tajam oleh teman-temannya.

“Aku itu penasaran, gimana rasanya mau diambil satu ginjalmu?,” tanya mantan penerbang helikopter Angkatan Darat ini kepada Eva.

Yang ditanya ketawa lebar. Eva dan Tony memang sudah menganggap Pak Ngadiman dan istrinya adalah orang tua mereka. Pria berusia 65 tahun ini sangat kangen sekali ingin bertemu dengan Tony. Setiap cuci darah dia selalu menannyakan kondisi Tony kepadaku. Kebetulan dua bulan lebih Tony sakit batuk dan tidak bisa dihubungi lewat telpon.

Semasa Tony cuci darah, mereka berdua akrab sekali. Yang satu dari generasi tua, yang satu dari generasi melek sosmed.

“Tony kan anak angkatnya Pak Ngadiman,” ucap Pak Amir.

Sepulang dari cuci darah Tony sering numpang ke mobil Pak Ngadiman. Biasanya dia istirahat dan ngobrol sejenak di rumah Pak Ngadiman.

“Dia mencas hp-nya dan minum air hangat. Bila badan sudah segar dia pamit pulang. Di depan gapura dia menunggu datangnya Bus Agra Mas jurusan Serpong,” ujar Bu Ngadiman.

Dengan lancar Eva menjawab pertanyaan Pak Ngadiman. Bahkan dia menceritakan panjang lebar saat-saat ginjalnya akan diambil dan dipindahkan dalam tubuh suaminya.

Kata Eva, dirinya masuk hari Sabtu (12/3/2016), satu ruangan dengan Tony. Hari itu Eva sudah harus berpuasa. Pada hari Minggu dia diambil darahnya untuk diperiksa di laboratorium.

Hari yang paling sibuk  di hari Senin.  Dokter – dokter Tim Tranplantasi silih berganti memeriksa kondisi Eva. Dari dokter jantung, kandungan, paru, psikiatri, dan anastesi.  

“Mereka tidak memberiku waktu istirahat,” ungkapnya.

Bila malam tiba Eva berusaha memejamkan matanya. Tetapi entah kenapa dia tidak dapat terlelap. Walau satu ruangan  dengan suaminya tetapi mereka berdua jarang berbicara.

“Seperti biasanya, Papa Tony lebih asyik dengan gadget-nya,” ujarnya dengan bercanda.

Saat mendebarkan pun tiba. Tanggal 15 Maret 2016, pagi hari, Pukul 05.00 WIB mereka berdua mendapat obat pencuci perut. Karena kamar mandinya satu, mereka berebutan masuk.

“Kami jadi tertawa lepas, karena saling berebutan ke WC. Akhirnya rasa takut yang sempat hinggap di pagi  itu  mencair,” ucapnya sambil tertawa.

Eva sendiri semakin mantap melangkah, saat itu di luar kamarnya sudah menunggu saudara-saudaranya. Ia terharu karena keluarga besarnya  berkumpul semua untuk memberi dukungan. Sebelum menuju kamar operasi. Mereka berdua mendapat doa pemberkatan dari Pendeta Benget. Sang pendeta tidak lain adalah seorang pendonor ginjal bagi istrinya.

Ketakutan kembali menghinggapi Eva ketika dibawa menuju ruang operasi. Dia berusaha menenangkan diri.

“Aku berdoa semoga tensiku tidak tinggi. Aku semakin ketakutan ketika benar-benar berada di ruang operasi. Untungnya, salah satu dokter menyalakan radio dan terdengar lagu anak muda yang biasa ditirukan Feo. Seketika aku teringat dia. Dan itu memberi energi buatku. Dan bila ginjalku sebentar lagi pergi dari tubuhku,  itu juga kupersembahkan untuk Feo,” sampainya dengan lirih.

Tepat pukul 08.00 WIB, dokter anestesi mulai membius Eva. Yang dia ingat ketika kesadarannya pulih.

“Saat berada di Ruang Pemulihan Operasi, ada perawat yang membangunkan saya. Saat mereka melihat saya sadar, mereka membuka oksigen di mulut saya dan bertanya nama, tanggal lahir. Mereka  menyuruh saya mengangkat kaki  dan tangan. Tidak lama setelah itu mereka membawa saya ke ruang pemulihan,” kenangnya.

Kini situasi-situasi yang mendebarkan dan membuat  sport jantung itu sudah berlalu. Suaminya tercinta juga sudah berangsur-angsur membaik. Sebentar lagi Tony akan bisa menjalani kehidupan yang normal kembali. Bisa berpergian dan mungkin bisa kembali bekerja di Kantornya yang lama. 

“Saya ingin melihat Papa Tony bisa menggendong dan menemani Feo. Bisa mengajak kemana Feo ingin pergi. Dia bisa menjadi bapak bagi Feo seperti bapak-bapak yang lainnya,”

“Saya ingin melihat Papa Tony pergi ke tempat di mana dia ingin  kunjungi. Selama 7 tahun ini dia “terpenjara” dengan rutinitas  cuci darahnya. Saya ingin melihat Papa Tony mengembangkan bakat terpendamnya  di KPCDI,”

Harapan-harapan yang disampaikan Eva kita jawab dengan kata Amin. Bu Ngadiman lalu beranjak dari tempatnya duduk. Dia hampiri Eva. Dirangkulnya Eva. Ia membisikan kata ke Eva.

“Keluargamu penuh berkat dan anugerah dari. Tuhan,” bisik Bu Ngadiman

Kami bertiga pun segera berpamitan. Pak Ngadiman terlihat bahagia karena sudah bisa berjumpa dengan anak angkatnya. Kerinduannya sudah terobati. Dia merasa lega kalau Tony kondisinya baik-baik saja.

*Penulis adalah Sekretaris Jenderal Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI).

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru