JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan pembatalan kewenangan Kemendagri dalam membatalkan peraturan daerah (perda). Mendagri menerima dan taat pada keputusan MK, lantaran keputusan MK adalah mengikat. Namun, ada beberapa proses yang harus dicermati dengan adanya keputusan tersebut. Pertama, Kemendagri akan memperketat proses rancangan perda yang diajukan oleh pemerintah daerah. Kedua, Mendagri akan meminta pemda untuk cermat dalam membuat perda.
“Kami juga minta pemda jangan asal buat perda, harus berdampak pada kemaslahatan masyarakat di daerah dan tidak bertentangan dengan UU diatasnya,” ungkap Mendagri di Jakarta, Jumat (7/4).
Mendagri juga menyebutkan salah satu permasalahan yang pernah terjadi, masih adanya pemda yang tidak mengkonsultasikan rancangan perda ke Kemendagri.
“Tidak semua dikonsultasikan ke Kemendagri meskipun ada bimtek DPRD dari pemda ke Kemendagri,tapi tumpang tindih permasalahan ini belum ada “sign” tapi sudah diberlakukan di daerah,ujar Tjahjo.
Maka dari itu, dengan adanya pembatalan kewenangan Kemendagri dalam membatalkan perda, Tjahjo mengatakan akan melakukan langkah preventif untuk mencegah tak sinkronnya perda dengan peraturan yang lebih tinggi dan kebijakan pemerintah pusat.
“Kami akan melakukan koreksi sedini mungkin sebelum perda itu disahkan,” kata Tjahjo.
Pengendalian perda tersebut berdasarkan ketentuan dalam Pasal 243 UU 23 Tahun 2014.
“Sesuai putusan MK, maka Kemendagri dapat memanfaatkan batas waktu tujuh hari untuk membuat permendagri. Batas waktu itu dihitung sejak rancangan perda (raperda) dinyatakan lengkap formil dan lengkap materiil oleh Kemendagri,” ujar Tjahjo dalam keterangan tertulisnya pada Jumat (7/4).
Mekanisme ini, katanya, sesuai aturan dalam pasal 243 UU Nomor 23 Tahun 2014. Dengan mekanisme ini, Kemendagri dapat mengontrol penerbitan perda yang menghambat pertumbuhan ekonomi.
Lewat mekanisme itu, Kemendagri sudah sejak dini dapat mengetahui kelemahan-kelemahan dalam perda yang akan dibatalkan. Memang pasal 251 sebagai post control sudah dibatalkan oleh MK. Namun, masih ada ketentuan pra control yang masih bisa digunakan.
Perlu Sinergi
Kepada Bergelora.com dilaporkan terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 137/PUU-XIII/2015 atas uji materi Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menekannya perlunya sinergi antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah.
“Apapun tafsirnya (putusan MK), pemerintah ini satu. Pusat sampai Daerah harus ada sinergi kebijakan. Itu saja intinya yang saya laksanakan,” kata Mendagri Tjahjo, Jumat (7/4).
Menurut dia, Kemendagri pada akhirnya perlu tegas terhadap langkah-langkah pengendalian permendagri dan perda untuk menjamin ketaatan dan kepatuhan dengan peraturan di atasnya. Ini juga dinilainya untuk kepentingan masyarakat umum.
Mendagri Tjahjo membenarkan kalau putusan MK ini juga mencabut kewenangan Kemendagri dalam membatalkan perda-perda. Namun, kata dia pihaknya masih berwenang memberikan kontrol terhadap pemerintah daerah dalam menyusun rancangan peraturan daerah (perda).
“Bahwa Pasal 251 (yang dibatalkan MK) sebagai ‘post-control’ sudah dibatalkan oleh MK. Namun masih ada ketentuan yang ‘pra-control’nya,” kata Mendagri Tjahjo di Jakarta, Jumat (7/4).
Dalam Pasal 243 UU Pemerintahan Daerah berbunyi:
(1) Rancangan Perda yang belum mendapatkan nomor register sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 ayat (5) belum dapat ditetapkan kepala Daerah dan belum dapat diundangkan dalam lembaran daerah.
(2) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat secara berkala menyampaikan laporan Perda Kabupaten/Kota yang telah mendapatkan nomor register kepada Menteri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian nomor register Perda diatur dengan Peraturan Menteri.
Menurut Tjahjo, sesuai dengan putusan MK, Mendagri dapat memanfaatkan batas waktu 7 hari sebelum perda tersebut terbit. Dengan demikian, bisa dibuat Permendagri untuk memperhitungkan waktu sejak Raperda ini dinyatakan lengkap secara formil dan materil.
Dalam kajiannya, Mendagri juga menyampaikan, putusan MK tidak membatalkan kewenangan pemerintah pusat melakukan ‘executive abstract preview’.
“Dengan demikian sejatinya Kemendagri sudah sejak dini mengetahui kelemahan-kelemahan dalam perda yang akan dibatalkan,” tambah dia.
Namun, cara ini, kata dia menyebabkan kesulitan bagi kemendagri sendiri karena banyaknya ranperda dalam pembahasan seluruh indonesia yang harus di’review’ Kemendagri. Solusi lain adalah mempermudah pengujian perda di MA sehingga tidak berlangsung lama. (Web Warouw)