Jumat, 4 Juli 2025

MK Sahkan Kawin Paksa Pada Anak Perempuan

JAKARTA- Selain melegitimasikan diskriminasi pada perkawinan beda agama, Mahkamah Konstitusi (MK) juga bisa dianggap mensahkan perkawinan usia dini dan perkawinan paksa pada anak-anak perempuan. Hal ini disampaikan oleh aktivis Hak Azasi Manusia (HAM) Nursjahbani Katjasungkana kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin (22/6).

 

“MK kan juga menolak gugatan judicial review terhadap Pasal 7 Undang-undang Perkawinan tentang usia perkawinan anak perempuan 16 tahun. Ini artinya mensahkan praktek kawin dini dan kawin paksa pada anak perempuan,” jelasnya.

Menurutnya perkawinan usia dini dan perkawinan paksa pada anak perempuan dapat berakibat jauh pada kesehatan berupa kematian ibu saat melahirkan. Kemampuan ekonomi anak perempuan yang menikah pada usia dini akan merosot karena pendidikan pendidikan yang rendah karena perkawinan.

“MK menolak gugatan pada pasal tersebut dengan alasan bahwa mengenai usia perkawinan bukan wewenang MK melainkan wewenang DPR,” ujarnya.

Anehnya menurut aktivis gerakan perempuan ini, MK merasa bukan wewenangnya, tapi dalam pertimbangannya memakai pendapat Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahwa perempuan yang sudah menstruasi dianggap aqilbaliq, artinya siap kawin dan sudah bisa hamil dan punya anak.

“Dus MK melegitimasi pendapat MUI yang sangat konservatif dan tidak mempertimbangkan dampak kesehatan fisik dan mental si anak,” jelasnya.

Dengan demikian menurutnya MK tidak melihat jauh ke depan untuk kepentingan pengembangan dan kemajuan bangsa teruta jika dilihat dari Human Development Index (HDI).

“Dari sisi pertimbangan tersebut, MK hanya mempertimbangkan segi ‘kewibawaan MUI’. Dengan kata lain mungkin ada perasaan tersubordinasi kepada lembaga yang dianggap punya otoritas agama itu,” ujarnya.

Mahkamah Konstitusi menurutnya juga tidak konsisten karena sebelumnya ada putusan MK yang membatalkan pasal yang menetapkan anak usia 8 tahun  untuk bisa dipidanakan menjadi 12 tahun.

Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Kamis (18/6) lalu menolak gugatan Yayasan Kesehatan Perempuan dalam perkara 30/PUU-XII/2014 dan Yayasan Pemantauan Hak Anak dalam perkara 74/PUU-XII/2014 yang meminta batas usia perkawinan ditingkatkan dari 16 jadi 18 tahun.

MK menyatakan batas usia perkawinan merupakan kebijakan negara yang bersifat terbuka dan tidak terkait konstitusionalitas. MK menyatakan bahwa pemerintah dan legislatif lebih berhak merevisi karena lebih bisa menyerap aspirasi masyarakat tentang batas minimal perkawinan.

Dari 9 hakim konstitusi, hanya Maria Farida Indarti semata yang setuju batasan usia anak menikah dinaikkan menjadi 18 tahun. Kedelapan hakim lainnya berpikir sebaliknya.
Menurut data Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) sebanyak 20 persen pernikahan yang terjadi dilakukan perempuan dengan jarak usia 13-15 tahun atau di bawah usia minimal yang diatur Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jumlah perempuan yang menikah pada usia 15-17 tahun juga sangat tinggi yaitu sekitar 39 persen. Syekh Puji merupakan orang dewasa di Semarang yang menjadi berita karena mengawini anak lulus SD berusia 12 tahun pada tahun 2008 lalu. (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru