Bulan September adalah bulan penuh “hantu PKI”. Ternyata tahun ini juga mulai muncul “hantu” yang lain. Oleh karenanya Bergelora.com merasa perlu memuat tulisan budayawan Gus Durian, Al-Zastrouw yang menyoroti para “hantu” itu. (Redaksi)
Oleh : Al-Zastrouw
BAGI musim buah yang panen setiap tahun sekali, issu kebangkitan PKI selalu muncul setiap tahun dibulan September, khususnya minggu terakhir menjelang awal Oktober bersamaan dengan peringatan tragedi kebangsaan tahun 1965.
Sebagaimana layaknya musim panen tiba, pasti ada yg bersuka cita nenikmati hasil panen: para tengkulak dan pedagang yang memasarkan hasil panen, para calo dan juru asak (pengais sisa-sisa hasil panen) yang menangguk rejeki di musim panen.
Tapi banyak juga yang sengsara dan menderita karena hanya menerima limbah dan sampah hasil panen.
Banyak yang berpendapat bahwa isu musiman kebangkitan PKI ini hanyalah hantu gentayangan. Meski banyak juga yang meyakini bahwa kebangkitan PKI adalah nyata, faktual dan kongkrit sehingga harus ditanggapi secara serius dan penuh kewaspadaan.
Jika dicermati isu PKI ini sebenarnya lebih mirip dengan hantu. Hantu itu makhluk abstrak yang digunakan untuk menakut-nakuti terutama dalam suasana gelap. Meski abstrak tapi hantu diyakini ada, bahkan beberapa orang ada yang pernah melihat wujudnya yang mengerikan. Dan orang-orang phobia biasanya lebih sering melihat sosok hantu yang menakutkan.
Sebenarnya tidak hanya hantu PKI yang bangkit dan bergentayangan di era reformasi. Dalam suasana yang penuh kebebasan dan terang benderang ini kita juga melihat bangkitnya hantu DI/TII, hantu PRRI/Permesta yang gentayangan di ruang kebangsaan Indonesia.
Sebagaimana kita ketahui DI/TII, PRRI/Permesta adalah gerakan pemberontakan terhadap NKRI, seperti halnya PKI. Karena dianggap melakukan pengkhianatan terhadap NKRI maka kelompok pemberontak itu diberangus, dimatikan dan jasadnya dikubur di bawah semangat kebangsaan Indonesia yang berdasar Pancasila.
Ketika usulan pencabutan tap MPRS XXV tentang pembubaran PKI dan pelarangan ajaran Komuniseme, Marxisme dan leninisme di Infonesia dan munculnya berbagai kelompok “kiri” dianggap sebagai indikasi kebangkitan PKI, maka munculnya usulan pembentukan khilafah, usulan kembali ke Piagam Jakarta dan munculnya berbagai kelompok intoleran yang menggunakan simbol dan mengatas namakan agama sebarannya bisa dilihat sebagai indikator dan bukti yang terang benderang bangkitnya hantu DI/TII dari liang kuburnya.
Dalam perspektif kebangsaan, munculnya kedua issu dan gerakan tersebut sama-sama membahayakan integritasi dan bangunan kebangsaan Indonesia karena sama-sama mengancam dan nenggerogoti fondasi dan Ideologi negara Pancasila
Yang menarik, meski sama-sama mengancam integritas bangsa, tapi hantu Komunisne lebih bayak menyedot perhatian dan menguras tenaga dibanding hantu DII/TII yang juga jelas dan nyata wujudnya. Ini terjadi karena kebangkitan hantu DII/TII dibungkus dengan simbol agama.
Bisa dikatakan, hiruk pikuk dan kegaduhan yang terjadi saat ini merupakan cermin pertarungan hantu dari jasad-jasad pemberontak NKRI yang sdh terkubur di masa lalu. Sebagai hantu tentunya mengalami transformasi bentuk dan tampilan sehingga tidak sama persis dari wujudnya asalnya. Tapi ruh dan spiritnya tetap sama, mengganti dasar negara.
Untuk melawan hantu-hantu masa lalu yang gentayangan maka cara paling efektif adalah menjadikan Pancasila sebagai pijakan dalam merespon dan mensikapi ulah hantu-hantu gentayangan serta para calo yang menanfaatkannya.
Ini artinya harus ada revitalisasi Pancasila melalui penyegaran (refreshment) terhadap pemahaman Pancasila yang lebih kontekstual dan fungsional. Harus diakui, diantara para hantu itu juga sedang melakukan perebutan makna dan pemahaman Pancasila sebagai legitimasi untuk menyembunyikan kepentingan masing-masing.
Melemahnya Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara merupakan titik masuk hantu-hantu dan membuat mereka bebas gentayangan merasuki kesadaran jiwa anak bangsa. Jika kondisi seperti ini diteruskan maka bangsa ini akan terseret dalam konflik yang bisa merobek keutuhan bangsa.
Dalam hal ini rasanya kita perlu belajar dan membuka kembali secara cermat dan mendalam tentang nilai-nilai dan kearifan yang dicontohkan oleh para pendiri bangsa dalam merawat keberagaman
Tanpa sikap ini, bangsa Indonesia akan terus disibukkan oleh perdebatan yang tanpa arti. Dan perdebatan seperti ini akan tetus terulang setiap musim hantu tiba.